Kemenangan dari Berkah Perayaan Maulid

Sarkub Share:
Share

Shalahuddin Al-Ayyubi adalah sebuah nama yang identik dengan kisah heroik. Sepanjang episode panjang Perang Salib, ia bersama pasukannya menunjukkan satu episode patriotisme yang utuh, dengan mengobarkan romantisme kecintaan kepada sosok Nabi Muhammad SAW.

Apakah romantisme yang dimaksud? Tidak lain adalah merayakan hari kelahiran Nabi Muhammad SAW dan masa-masa kebesaran yang telah berlalu, guna membangkitkan kembali ruh jihad atau semangat di kalangan muslimin. Saat itu kaum muslimin tertidur nyenyak dan melupakan tongkat estafet perjuangan yang diwariskan Nabi Muhammad SAW.

Salahuddin-lah yang mencetuskan ide dirayakannya kelahiran Rasulullah SAW. Melalui media peringatan itu dibeberkanlah sikap ksatria dan kepahlawanan pantang menyerah yang ditunjukkan Baginda Rasul SAW. Lantaran hajatan itu, ia menuai berkah kemenangan bagi kaum muslimin. Bahkan, lantaran langkahnya itu, hingga kini peringatan Maulid menjadi tradisi dan membudaya di kalangan umat Islam.

Sikap patriotis dan heroik menyatu dengan sifat perikemanusian seperti yang dilakukan pejuang besar itu. Rasa tanggung jawab terhadap Islam ia baktikan dan buktikan dalam menghadapi serbuan tentara Salib Eropa ke tanah suci Palestina selama dua puluh tahun. Dengan kegigihannya beserta semangat Maulid Nabi yang terpatri di lubuk hatinya, ia dan ribuan pasukannya berhasil memukul mundur tentara Salib Eropa di bawah pimpinan Richard The Lion Heart dari Inggris.

Perang Salib adalah peperangan yang paling panjang dan dahsyat penuh kekejaman dan kebuasan bangsa Eropa dalam sejarah umat manusia, memakan korban jutaan jiwa, akibat kefanatikan membabi buta Kristen Eropa untuk menguasai daerah Asia Barat yang mayoritas Islam.

John Stuart Mill, ahli sejarah Inggris kenamaan, mengakui pembunuhan- pembunuhan massal penduduk Muslim ini oleh pasukan Salib sebelum kemunculan Shalahuddin pada waktu jatuhnya kota Antiochia (Antiokia, Turki sekarang). Mill menulis, “Keluruhan usia lanjut, ketidakberdayaan anak-anak, dan kelemahan kaum wanita tidak dihiraukan sama sekali oleh tentara Latin yang fanatik itu. Rumah kediaman tidak diakui sebagai tempat berlindung, dan pandangan sebuah masjid merupakan pembangkit nafsu angkara untuk melakukan keke­jaman. Tentara Salib menghancurleburkan kota-kota Syria, membunuh penduduknya dengan tangan dingin, dan membakar habis perbendaharaan kesenian dan ilmu pengetahuan yang sangat berharga, termasuk ‘Kutub Khanah’ (Perpustakaan) Tripolis yang termasyhur itu. Jalan raya penuh aliran darah, sehingga keganasan itu kehabisan tenaga.”

Mereka yang cantik rupawan disisihkan untuk pasaran budak belian di Antioch. Tetapi yang tua dan yang lemah dikorbankan di atas panggung pembunuhan.

Eropa Bersekutu vs Ruh Maulid

Lewat pertengahan abad ke-12 M, tentara Salib mencapai puncak kemenangannya. Kaisar Jerman, Prancis, dan Richard The Lion Heart, raja Inggris, turun ke medan pertempuran untuk turut merebut tanah suci Baitul Maqdis.

Gabungan kekuatan tentara Salib ini disambut Shalahuddin Al-Ayyubi. Shalahuddin berhasil menghalau gelombang serbuan kaum Salibis itu. Gencatan senjata disepakati Sultan Shalahuddin dengan pasukan Salib Prancis di Palestina.

Tetapi menurut ahli sejarah Prancis, Michaud, kelompok Salib memberi isyarat untuk memulai lagi peperangan. Bahkan, berlawanan dengan syarat-syarat gencatan senjata, Jenderal Reginald dari Castillon menyerang suatu kafilah muslim yang lewat di dekat istananya, membunuh dan merampas harta benda kafilah tersebut.

Lantaran peristiwa itu, Shalahuddin menyatakan diri bahwa ia dan pasukannya bebas untuk bertindak. Dengan siasat perang yang tangkas, Shalahuddin mengurung pasukan musuh yang kuat itu di dekat Bukit Hittin dan berhasil menghancurkannya. Pertempuran gemilang tersebut terjadi di kawasan Tiberias di kaki Bukit Hittin.

Tepat pada 24 Rabiul Akhir 583 H/15 Juli 1187 M, tentara Salib di bawah pimpinan Raja Christian bertekuk lutut. Sang raja, beserta adiknya, Reginald dari Chatillon, pun kemudian ditawan. Pembesar- pembesar lain yang dapat ditawan antara lain Joscelin dari Courtenay dan Hum­phrey dari Toron. Belum lagi para pang­lima dan petinggi-petinggi militer tentara Salib.

Stanley Lane-Poole menceritakan, usai Peperangan Hittin tersebut bisa dikatakan setiap pejuang Islam membawa 30 orang tawanan Kristen yang diikat sendiri dengan tali kemah. Diperkirakan, 30.000 tentara Kristen tewas dalam perang tersebut.

Dari kemenangan ini, Shalahuddin melanjutkan serangannya dan berhasil merebut kembali sejumlah kota yang di­duduki kaum Nasrani, seperti Nablus, Jericho, Ramallah, Caosorea, Arsuf, Jaffa, Beirut, dan Askalon.

Shalahuddin pun menghadapkan perhatian sepenuhnya terhadap kota Yerusalem, yang diduduki tentara Salib, dengan kekuatan melebihi enarn puluh ribu prajurit. Pasukan Salib tidak sanggup menahan semangat jihad dan ruh Maulid Nabi yang terpatri dalam sanubari pasukan Shalahuddin, hingga mereka menyerah pada tahun 589 H/1193 M.

Perikemariusiaan Shalahuddin

Sikap penuh perikemanusiaan Sha­lahuddin dalam memperlakukan tentara Nasrani merupakan suatu gambaran yang berbeda, seperti langit dan bumi, dengan perlakuan dan pembunuhan secara besar-besaran dan teramat keji yang dialami kaum muslimin ketika dikalahkan oleh ten­tara Salib sekitar satu abad sebelumnya.

la memberi pengampunan umum kepada penduduk Nasrani untuk tinggal di kota itu. Hanya para prajurit Salib yang diharuskan meninggalkan kota dengan pembayaran uang tebusan yang ringan. Bahkan sering terjadi Sultan Shalahuddin yang mengeluarkan uang tebusan itu dari kantungnya sendiri, dan kemudian diberikannya pula alat pengangkutan bagi mereka. Mereka yang berangkat me­ninggalkan kota diperkenankan membawa seluruh harta bendanya.

Dari Yerusalem, Shalahuddin mengarahkan pasukannya ke kota Tyre. Di sana tentara Salib yang tidak tahu berterima kasih terhadapnya, yang telah mengampuninya di Yerusalem, menyusun kekuatan kembali untuk melawan Shalahuddin di kota itu. Tanpa kesulitan berarti, pasukannya berhasil menaklukkan sejumlah kota yang diduduki oleh tentara Salib di pinggir pantai Tyre, termasuk kota Laodicea, Jabala, Saihun, Becas, dan Debersak, Shalahuddin juga melepas Guy de Lusignon, panglima Prancis, untuk pulang ke Eropa.

Shalahuddin mengakhiri sisa hidupnya dengan kegiatan-kegiatan sosial bagi masyarakatnya dengan membangun rumah sakit, sekolah-sekolah, perguruan- perguruan tinggi, serta masjid-masjid di seluruh daerah yang diperintahnya.

Beberapa bulan kemudian, tepatnya 4 Maret 1193 M/15 Shafar 589 H, belum lama perdamaian terasa di bumi Yeru­salem, ia berpulang ke rahmatullah. Seorang utusan yang menyampaikan berita wafatnya ke Baghdad membawa baju perangnya, kuda, dan uang miliknya sebanyak satu dinar 36 dirham, yang menunjukkan keluhuran dan kesederhanaan sosok pencinta Rasulullah SAW yang satu ini.

(Disadur dari Majalah Alkisah No. 06/ Tahun IX hal. 104-106)

Subscribe

Thanks for read our article for update information please subscriber our newslatter below

No Responses

Tinggalkan Balasan