Semangat Perdamaian dalam Beragama

Sarkub Share:
Share

Manusia diciptakan sebagai makhluk yang mengusung nilai harmoni. Perbedaan yang mewujud secara fisik sebenarnya merupakan ‘kehendak’ Tuhan yang seharusnya dijadikan sebuah potensi untuk menciptakan kehidupan yang menjunjung tinggi toleransi. Beragam suku, ras, budaya, dan lainnya tak ubahnya sebuah kekayaan untuk bersama-sama membangun dan mengembangkan visi kehidupan yang harmonis. Keragaman formal agama-agama di dunia juga tak luput dari ‘rekayasa Tuhan’ untuk umat manusia. Pertanyaannya, bagaimana membangun kehidupan yang rukun dan harmonis di tengah-tengah keragaman agama-agama tersebut?

Mengusung nilai harmoni di tengah kehidupan yang beragam tentu membutuhkan ‘energi’ tersendiri. Bahkan, dalam altar kehidupan sosial, nilai harmoni sering menjauh, malahan berbalik memosisi menjadi kehidupan yang bengis, culas, dan antikedamaian. Maka jika demikian, kodrat kemanusiaan sebagai makhluk ‘harmoni’ bukanlah jaminan bagi terwujudnya sebuah kehidupan yang rukun dan damai.

Kasus umat beragama di Indonesia tidak jauh dari kenyataan di atas. Kerusuhan yang ‘diatasnamakan’ agama mudah mencuat di tengah masyarakat Indonesia yang beragam agama. Padahal, di sisi lain, masyarakat Indonesia sangat menyadari bahwa agama tidak mengajarkan kekacauan dan kekejaman. Maka, dalam konteks menumbuhkan kesadaran kerukunan hidup antarumat beragama di Indonesia, perlu ditanamkan semangat religius. Maksudnya, seseorang dalam beragama perlu memahami agamanya secara benar dan komprehensif. Hal ini mengingat tidak semua orang yang beragama telah memahami keberagamaannya secara benar. Memupuk semangat religius (ruh al-tadayyun) adalah mengembalikan umat manusia kepada substansi ajaran agama. Di antara tanda seseorang yang telah berhasil memahami agamanya secara benar adalah perilaku kehidupannya yang diwarnai oleh ajaran agama. Bagi umat Islam, semangat religiusitas bermakna visi beragama dengan mengusung tema-tema kedamaian (Islam). Contoh ketika umat Islam salat, dianjurkan untuk mengawalinya dengan takbir, Allahu Akbar, yaitu sebuah pengakuan bahwa hanya Allah yang mahabesar, sedangkan makhluknya berstatus sama. Kemudian membaca surah al-Fatihah yaitu ungkapan pujian terhadap Tuhan. Otomatis ketika memuji Tuhan maka kita juga harus memuji ciptaan-Nya. Salat juga disarankan untuk berjemaah. Maksudnya anjuran untuk membangun komunitas dengan menjunjung tinggi nilai egalitarian serta kesamaan hak dan kewajiban. Pada saat akan mengakhiri salat, diharuskan mengucapkan salam, keharusan umat Islam untuk menyebarkan perdamaian (salam) di atas bumi.

Membangun kerukunan di Indonesia yang heterogen ini juga dapat diupayakan dengan menumbuhkan semangat nasionalisme (ruh al-wathaniyyah), bukan sebatas mencintai tanah air. Lebih dari itu, kita memahami bahwa Allah menciptakan manusia di muka bumi sebagai wujud dari kepercayaan Allah atas peran manusia untuk mengelola alam semesta. Kecintaan atas negerinya tentu didasari oleh rasa tanggung jawab atas perannya dengan mengesampingkan segala perbedaan dan keragaman. Mengkhianati negerinya sendiri berarti mengkhianati kepercayaan Tuhan. Dalam tataran realitas, ruh al-wathaniyyah diwujudkan dengan upaya melestarikan budaya. Maka, otomatis nasionalisme dalam formulasi ini menafikan bumi hangus kebudayaan dan tradisi lokal dalam rangka menyelamatkan identitas individu dan komunitas. Tema-tema besarnya adalah pelestarian tradisi, cinta, pengorbanan, dan community.

Upaya lain yang juga harus terus dilakukan adalah memupuk semangat pluralitas (ruh al-ta’addudiyyah). Menurut Harold Coward, pluralisme keagamaan merupakan tantangan khusus yang dihadapi agama-agama dewasa ini. Semangat pluralitas adalah spirit pencarian kebenaran manusia atas agama-agama sehingga tercipta suatu kehidupan yang kompetitif di tengah keragaman bangsa. Nilai pluralitas akan mengantarkan umat beragama kepada pamahaman bahwa setiap agama memiliki kesamaan dengan agama lainnya sekaligus kekhasan sehingga berbeda dengan yang lainnya. Puncaknya, bahwa agama-agama mempunyai kesamaan esensial. Semangat pluralitas perlu diusung mengingat ‘kebenaran’ itu sering tampil dalam wujudnya yang plural, meskipun kebenaran sejati itu hanya satu, bersumber dari dan bermuara pada Yang Mahabesar. Allah berfirman: ”Seandainya Allah tidak menghendaki wujudnya keseimbangan, niscaya biara-biara Nasrani, gereja-gereja, sinagog, dan masjid-masjid, yang di dalamnya banyak disebut nama Allah, telah dihancurkan.” (QS al-Hajj 40).

Hal yang penting adalah semangat pluralitas beragama harus tetap berada pada koridor yang benar. Kenyataan pluralitas agama dan berbagai tawaran jalan keselamatan eskatologis juga tetap mengharuskan setiap umat beragama untuk menerima, mengakui, dan meyakini bahwa hanya jalan keselamatan miliknya yang paling besar. Semangat pluralitas tetap harus diusung di atas keyakinan absolut sebuah kebenaran keimanan seseorang. Tanpa adanya keyakinan absolut atas kebenaran agamanya, semangat pluralitas agama tidak akan mampu menjadikan umat beragama sebagai umat yang memahami keberagamaannya secara benar dan kemprehensif. Umat beragama pun akan terjebak pada pusaran kebingungan keyakinan. Akibatnya, baragama sebagai jalan lurus menuju Tuhan tidak berhasil menghadirkan kekhusyukan dan pencerahan spiritual.

Menjaga semangat humanitas, kemanusiaan (ruh al-insaniyyah) juga menimbulkan kerukunan kehidupan antarumat beragama. Misi dakwah Rasulullah yang sukses melewati periode Madinah merupakan potret nyata pentingya nilai humanitas. Bahkan saat mendekati masa ajalnya, Rasulullah menyempatkan memberikan pidato sejuk: ”Wahai manusia, sesungguhnya nyawa, harta, dan kehormatan kalian sangat dimuliakan sebagaimana mulianya hari ini (hari Arafah), bulan ini (Zulhijah) dan negeri ini (Mekah).”

Teks pidato yang sangat menjunjung tinggi nilai kemanusiaan di atas, pada tataran aplikatif adalah penghormatan Islam terhadap hak-hak asasi manusia. Jadi, jauh sebelum ada Declaration of Human Rights, Rasulullah telah menegaskan tiga hak dasar manusia yang harus dijunjung tinggi dan dihormati yaitu hak untuk hidup, hak perlindungan atas hak milik, serta perlindungan harkat dan martabat sebagai manusia.

Semangat religiusitas, nasionalisme, pluralitas, serta humanitas adalah suatu keniscayaan bagi sebuah komunitas yang beragam agama sebagaimana Indonesia. Hal ini akan mendukung upaya menumbuhkan kerukunan kehidupan antarumat beragama. Nilai-nilai luhur tersebut juga dapat mempermudah kalangan agama-agama untuk membudayakan kegairahan melakukan redefinisi, reformasi, dan reinterpretasi tentang agama. Sehingga agama selalu up to date bagi masanya dan relevan dengan kehidupan dan tantangan yang dihadapi manusia di masanya.

(Sumber: KH.Said Aqil Siroj ~ Ketua Umum PBNU)

Subscribe

Thanks for read our article for update information please subscriber our newslatter below

One Response

Tinggalkan Balasan