Antara Jujur dan Dusta

Sarkub Share:
Share

Sadarkah kita, apa yang hilang dari negeri ini? Kejujuran. Ya. Kejujuran sepertinya punah di negeri ini. Ia telah menjadi semacam fosil yang terkubur jauh di lubuk gunung karang nun di dasar samudera sana, sulit untuk dicari.

Kini, negeri ini riuh dengan dusta. Di pasar, di kantor-kantor, di lapak-lapak pertokoan, di layar-layar televisi, dusta mewabah begitu dahsyatnya. Nyaris tak sejengkal perilaku dan ucapan pun terselamatkan dari kuman-kuman dusta. Walhasil, seperti kita rasakan sekarang, negeri tercinta ini pun ambruk ke kubangan krisis. Dan, sulit rasanya untuk bangun kembali bila tetap bertumpu pada pilar-pilar dusta itu.

Untuk itu, mari kita coba berdiri dengan energi kejujuran. Kita lazimkan kejujuran di setiap perbuatan dan perkataan kita. Insya Allah, bukan tidak mungkin, kita segera bangkit. Kita kembali kokoh seperti dahulu lagi. Yakinlah, dengan bekal kejujuran, kita dilingkupi berkah dan ‘inayah yang melimpah dari Allah jalla jalaaluhu. Camkan nasehat Habib Muhammad bin Abdullah bin Syekh al-Aydrus berikut ini,

“Saudaraku, ketahuilah, manakala dirimu berlaku jujur dalam mengejar cita-cita, dan setia menjaga perilaku dengan muamalah yang baik, maka Sang Kuasa bakal mengarahkan pertolongan-Nya padamu, Ia SWT takkan segan menaburkan berkah padamu, dan membuatmu merasakan manisnya pergaulan, hingga hatimu pun menjadi lapang.”

“Sudah sepatutnya, saudaraku,” lanjut Habib Muhammad. “letakkanlah kejujuran di pelupuk mata, selalu. Jadikanlah ia sebagai landasan atas tujuan-tujuanmu. Sebutir petuah berkata penuh kearifan, “Kejujuran adalah pedang Allah SWT di persada bumi ini. Tidaklah ia diletakkan pada sesuatu, kecuali ia akan memotongnya.”

Maksud petuah diatas kurang lebih sebagai berikut; kejujuran adalah senjata pamungkas bagi setiap individu untuk meraup kesuksesan. Sebab, dengan jujur ia bisa dipercaya orang. Dengan kepercayaan itu, seorang pegawai akan mudah menapaki tangga karir. Bermodal kepercayaan, seorang saudagar akan lebih lancar memutar roda niaganya.

Selanjutnya Habib Muhammad menguarai lebih dalam lagi soal kejujuran, “Ketahuilah, kejujuran ada dua definisi. Kejujuran lisan dan kejujuran hati. Kejujuran hati adalah akar kejujuran lisan. Ia adalah sandaran manusia. Kejujuran lisan amatlah baik. Tapi kejujuran hati adalah sumber kebaikan itu. Hati yang jujur adalah lambang keelokan batin dan jiwa seseorang.

“Adapun dusta, ia adalah perilaku buruk. Dan dusta yang mengerak di hati lebihlah buruk. Itu adalah tengara keroposnya batin seseorang. Hati yang berlumuran dusta adalah hati dari sebuah jiwa yang bermatabat rendah. Dari hati ragam inilah, praktek-praktek lancung senantiasa tumbuh. Perbuatan-perbuatan itu senyatanya lebih menjijikkan dari dusta berwujud kata-kata. Kebohongan akan selalu mewarnai tindak-tanduk orang yang berbatin rusak itu.”

“Manusia, manakala hidup dengan kualitas jiwa rendah, serta tak peduli lagi dengan pandangan-pandangan negatif atas dirinya, maka, tingkah lakunya senantiasa merefleksikan kebusukan dan kehinadinaan di dalam pribadinya. Sedang manusia mulia, ia senantiasa menyadari segala kekurangannya, kemudian segera membenahinya, sekalipun orang sekitar tak pernah memerhatikannya.”

“Akan halnya seorang pendusta, ia adalah tipikal manusia yang menganggap remeh segala aib dan kekurangan yang menempel pada dirinya. Sekalipun semua itu telah diketahui khalayak banyak. Sebuah ungkapan bijak bertutur, “Tidaklah seorang pendusta gemar berdusta, kecuali karena ia memang telah meremehkan segala perangai buruk.”

Dari sini kita bisa mafhum, sosok pendusta adalah orang yang acuh akan kebobrokan pekertinya. Baginya, akhlak tak perlu diperbaiki, tapi harus ditutupi dengan kalimat-kalimat bohong yang sedap. Berhasil membohongi orang-orang adalah suatu prestasi tersediri bagi orang macam ini. Al’Iyadzu Billah min Dzalik.

“Maklumilah, batin yang jujur takkan pernah membelokkan seseorang dari jalan kebenaran. Sebaliknya, ia senantiasa meluruskan. Manakala seseorang menghidupkan jiwanya dengan kebiasaan-kebiasaan baik dan jujur, maka lisannya sulit untuk mengucapkan kebohongan. Sebab, sejatinya, lisan adalah penerjemah hati. Ia tak mungkin melafalkan kata-kata yang tak pernah terbesik di hati. Jika hati jujur, bagaimana mungkin lisan berkata dusta. Ini sebuah musykil-mustahil.”

“Telah dijelaskan (dalam kitab—kitab para salaf), jika batin seseorang terlatih pada kebaikan, maka kebaikan itu lambat laun mendarah daging dalam karakternya. Hingga seumpama ia dibujuk-atau dipaksa-untuk berbuat dusta, ia akan menampik secara spontan. Sebab, jiwa, dengan karakter baik, sangat jauh dari sifat-sifat dusta.”

Memang, tak bisa disangkal, hati, lisan dan tubuh saling kait mengkait. Segala tutur yang diucapkan lisan hakikatnya bermuara dari hati. Jikalau hati itu baik, yang keluar dari lisan adalah kata-kata yang baik. Jika buruk, yang terucap adalah kata-kata keji dan dusta. Pun demikian seluruh kosa gerak tubuh kita. Semua itu adalah cermin tabiat yang mengendap di hati. Habib Muhammad meneruskan,

“Begitu pula segala perilaku tak elok yang dikerjakan manusia, berupa ucapan maupun perbuatan. Semua itu disebabkan rusaknya batin seseorang. Batin itu bisa menjadi rusak dikarenakan lemahnya akal budi orang seorang atau godaan hawa nafsu yang terlalu kencang mendera.”

“Yang jelas, batin setiap manusia senantiasa berkecamuk kala melakukan perbuatan nista. Jika ia adalah manusia pandai, namun tak kuasa menahan nafsu, ia akan menyesal di tengah maupun seusai perbuatan itu. Akan tetapi, bila ia adalah manusia yang berakal budi lemah, ia akan terus menikmati kenistaan itu. Tak ada kata sesal dalam batin orang model ini.”

Mari kita mengoreksi diri, termasuk model manakah kita ini? Yang pertama, atau yang kedua. Atau yang lebih dari kedua-duanya. Semoga tidak. (Kalam Habib Muhammad bin Abdullah al-Aydrus, Diterjemah dari Idhah Asrar Ulumil Muqarrabin; wangsit via kalamsalaf.blogspot.com)

Subscribe

Thanks for read our article for update information please subscriber our newslatter below

2 Responses

  1. Ierhaz Setiaqw Citahame16/12/2013 at 03:53Reply

    Share bang . . .

Tinggalkan Balasan