Para Pembajak Makna Jihad

Sarkub Share:
Share

 Fenomena semakin mendiasporanya para ”pembajak” makna jihad, termasuk Al Qaidah dan komunitas suicide bombers (para pelaku bom bunuh diri). Mereka berhadap-hadapan dengan G-WOT (Global War on Terrorism) atau perang global melawan terorisme.

Historisitasnya, para ”jihadist” dan penggagas G-WOT ini mulanya berkawan mesra ketika harus menghadapi musuh bersama: Uni Soviet, pada 80-90-an. Detail kemesraan itu bisa dibaca dalam buku Negara Tuhan yang penulis launching empat tahun lalu (Oktober, 2004).

Fenomena ”jihad yang dimanipulasi” (al-jihâd al-muftarâ) ini sangat menggelisahkan umat Islam internasional dan umat manusia. Sebab, dampaknya akan memberangus nilai-nilai kemanusiaan dan peradaban.

Tugas berat bagi para ulama dan intelektual untuk menjelaskan kepada masyarakat tentang konsep jihad yang mengedepankan nilai-nilai kemanusiaan (al-insaniyyah) dan mengedepankan ”ayat-ayat perdamaian” ketimbang ”ayat-ayat perang”. Atau, meminjam bahasa Yusuf al-Qaradawi, perlu adanya i’âdatu qirâ’atil jihâd (membaca ulang makna jihad), sehingga jihad menjadi ”poros kedamaian-axis of peace” untuk semua komunitas bumi.

Barat-Religious Extremist
Untuk melengkapi data kemesraan dan perselingkuhan kaum ”jihadist” dengan penggagas G-WOT, pada 2006 penulis pernah mengikuti forum internasional ”Transnational Islamic Movements; Networks, Structures, and Threat Assessment” dan bertemu para peneliti gerakan ideologi transnasional.

Mereka adalah Mateen Siddiqui, wakil presiden ISCA (The Islamic Supreme Council of America); Dr Rohan Gunaratna, penulis buku Inside Al-Qaeda; Prof Dr Greg Fealy dari ANU (Australian National University) Canberra; Prof Dr Zachary Abuza dari Simmon College Boston, ahli terrorist fundraising; dan mantan Dubes Pakistan untuk Sri Lanka Prof Dr Hussein Haqqani yang pada 2005 meluncurkan buku berjudul Pakistan between Mosque and Military.

Penulis menyempatkan berbincang khusus dengan Hussein Haqqani tentang ”perselingkuhan internasional” dalam mengembangbiakkan virus religious extremist. Dia pernah menjadi penasihat tiga perdana menteri Pakistan, yaitu Ghulam Musthofa Jatoi, Nawaz Syarif, dan Benazir Bhutto. Dalam keyakinan penulis, dia sangat tahu dan merupakan saksi penting dari sebuah perselingkuhan politik-agama yang didesain bersama oleh AS, Pakistan, Inggris, serta Saudi Arabia (Wahhabism provider).

Hussein menjadi penasihat PM Pakistan bersamaan dengan terjadinya mobilisasi mujahidin internasional, termasuk dari Indonesia, di Kota Peshawar yang menjadi embrio dari The Virtual University for Future Islamic Radicalism yang sampai saat ini mendiaspora ke mana-mana dengan mempertontonkan orkestra kekerasan mengatasnamakan ”jihad”.

Penulis bertanya kepada Hussein tentang bagaimana sebenarnya desain Jenderal Hamed Gull (kepala intelijen Pakistan / ISI) yang menginginkan sebuah international Islamic front untuk mengimbangi kekuatan NATO dan Pakta Warsawa?

Profesor di Boston University itu terlihat sangat kaget atas pertanyaan tersebut, terutama ketika penulis menyebut nama Hameed Gull (ISI) yang punya hubungan dekat dengan W.J. Casey (CIA). Dia hanya menjawab dengan ”bahasa tertawa” membenarkan proyek yang juga melibatkan intelijen Saudi Arabia pimpinan Pangeran Turki al-Faisal (sahabat karib Usamah bin Laden), CIA yang dimotori William Joseph Casey dan MI-6 (Military Intelligence Section Six) Inggris, serta ISI (Interservice Intelligence) Pakistan di bawah komando Jenderal Hamed Gull dan kemudian Jenderal Akhtar Abdurrahman.


Pengakuan Staf Gedung Putih

Richard A. Clarke, ”orang dalam” Gedung Putih dengan jabatan penasihat US National Security, dalam sebuah karya monumentalnya yang bertitel Against All Enemies; Inside America’s War on Terror yang juga diterjemahkan ke dalam bahasa Arab dengan judul Fi Muwâjahati Jamî’i al-A’dâ; Min Dâkhil Kharbi Amerika ala al-Irhâb membeberkan bagaimana operasi rahasia dalam pemerintahan Presiden Reagan. Ketika itu, CIA dikomandani oleh Casey menggelontorkan berjuta-juta dolar untuk menumbuhsuburkan jejaring radikalisme militan internasional untuk mengakhiri sejarah ”the Red Peril” Uni Soviet.

Fundamentalisme Islam dan radikalisme gereja sama-sama meyakini adanya ”God sovereignty” serta persatuan antara agama dan negara yang tidak terpisahkan. Keyakinan itulah yang bisa mendorong Direktur CIA William Joseph Casey untuk menjadikan Islam politik dan gereja Katolik sebagai sekutu serta partner alami untuk meluluhlantakkan komunisme ateistik Uni Soviet.


Jihad Hijackers

Jejaring Peshawar yang ahli dalam ”membajak” makna jihad inilah yang sekarang menebar teror ke mana-mana dengan satu prinsip Mahwu ad- Daulah al-Kafirah ‘an al-Kharithah (menghapus negara kafir dari peta dunia), termasuk Indonesia, untuk diganti dengan sistem Daulah Islamiyyah menuju Khilafah Islamiyah yang mengglobal. Itu juga merupakan prinsip ke-10 al-Jama’ah al-Islamiyyah.

Penembakan Densus 88 terhadap gembong gembong teroris seperti Dr Azhari Husin cs tidak akan menghentikan diaspora ideologi kekerasan ini, selama tidak dibentuk sebuah badan ideological surveillance yang mengawasi ideologi yang anti kemanusiaan dan membahayakan NKRI.

Pertarungan ”jihadist” versus G-WOT masih akan terus berlangsung. Untuk menghentikannya, harus ditampilkan genuine jihad (konsep jihad yang sebenarnya) kepada masyarakat. Dengan harapan, mereka tidak terjerumus dalam jurang jihadist (radikalisme Islam) dan crusades (radikalisme Kristen) sebagaimana dikhawatirkan oleh Tariq Ali dalam bukunya The Clash of Fundamentalism; Crusades, Jihad and Modernity. (*)

(Disunting dari tulisan Agus Maftuh Abegebriel,  peneliti terorisme dan ideologi gerakan transnasional)

Subscribe

Thanks for read our article for update information please subscriber our newslatter below

No Responses

Tinggalkan Balasan