Tuanku Imam Bonjol Bukan Wahabi

Sarkub Share:
Share

Kaum Padri tidak menentang praktek-praktek ziarah ke kubur seperti yang dilakukan gerakan Wahabi. Kemudian, kaum Padri pun dalam prakteknya masih ikut merayakan peringatan Maulid Nabi SAW

Secara umum, para pemerhati sejarah Islam di Indonesia menyebut gerakan Padri itu sebagai gerakan Wahabi atau—kalau tidak—sebagai “kegiatan ikut-ikutan” gerakan Wahabi—seperti yang diistilahkan Mangaradja Onggang Palindungan dan Hamka. Akan tetapi, jarang orang mengetahui bahwa yang pertama kali menduga—tetapi kemudian justru diikuti banyak orang untuk mengecap—gerakan Padri itu sebagai gerakan Wahabi adalah Pieter Johannes Veth (1814 – 1895).

Veth dikenal sebagai seorang ahli bahasa dan kebudayaan Timur. Ia menguasai bahasa Ibrani (Yahudi dan Arab), Latin-Yunani, Melayu-Jawa. Meski belum pernah satu kali pun datang ke kepulauan Nusantara waktu itu, Veth telah dipercaya mengajar calon-calon pegawai pemerintah kolonial yang akan ditempatkan di Sumatera, Jawa dan pulau-pulau taklukan Belanda di Nusantara. Karya besarnya adalah Java: Geograpisch, Etnologisch, Historisch yang terdiri dari empat jilid.

Veth melihat ada kesamaan antara gerakan Padri itu dan gerakan Wahabi di Jazirah Arab. Menurutnya, kesamaan itu berupa penggunaan metode kekerasan untuk mencapai tujuan. Dugaan seperti ini dikemukakan Veth dalam “Kata Pengantar” buku yang dikarang H.J.J. Ridder de Stuers, seorang pensiunan pejabat militer yang pernah diangkat pemerintah Hindia Belanda sebagai residen di Sumatera Barat pada 1825 – 1830.

Dugaan Veth itu kemudian ditolak tegas-tegas oleh Bertran Johannes Otto Schrieke (1890 – 1945), penulis Indonesian Sociological Studies. Menurut Schrieke, ada beberapa alasan yang membuat gerakan Padri tidak bisa disamakan dengan gerakan Wahabi. Pertama, kaum Padri tidak menentang praktek-praktek ziarah ke kubur seperti yang dilakukan gerakan Wahabi. Kemudian, kaum Padri pun dalam prakteknya masih ikut merayakan peringatan Maulid Nabi, sebuah bid’ah yang sangat ditentang oleh Muhammad bin Abdil Wahhab dan para pengikutnya.

Berbeda dengan gerakan Wahabi di Jazirah Arab yang berada di bawah satu kepemimpinan, Schrieke mencatat, gerakan Padri di Sumatera Barat terpecah-pecah di bawah banyak pimpinan. Ironisnya, antara satu pemimpin dan pemimpin yang lain sering terjadi pertikaian. Salah seorang pegawai pemerintah Hindia Belanda yang pernah tahu hal itu sempat mengeluhkan akibat pertikaian itu. Jika satu perjanjian telah diteken oleh salah seorang pemimpin Padri, katanya, bukan berarti persetujuan itu juga persetujuan pemimpin-pemimpin Padri yang lain.

Sanggahan Schrieke itu bukan omong kosong belaka. Dalam buku-buku sejarah yang umum kita temui, akan tampak bagi kita bahwa gerakan Padri tidak sama sekali konsisten dengan cara beragama yang didakwahkan oleh Muhammad bin Abdil Wahhab dan para pengikutnya. Bahkan, deskripsi tentang gerakan Padri sebelum tahun 1833 adalah sebuah deskripsi tentang kebrutalan segerombolan orang berjubah dan bersorban dalam memaksakan satu prinsip agama.

Dalam Sejarah Nasional Indonesia: Jilid IV, misalnya, salah seorang di antara tiga haji itu, Haji Miskin, diceritakan membakar balai sabung ayam milik warga setempat sebagai balasan atas tindakan mereka yang tidak menggubris nasehatnya agar tidak melakukan perjudian lagi. Tindakan itu segera menjadi bumerang buatnya. Masyarakat pun marah dan berusaha menangkapnya

Misal yang lain, pada 1815 kaum Padri mengumpulkan keluarga kerajaan Pagaruyung di tempat yang bernama Batu Sangka. Di tempat itu, kaum Padri menghabisi hampir semua anggota kerajaan itu. Di sini, kaum Padri pun tampak semacam kelompok yang mudah menghalalkan darah kaum muslimin lain hanya karena berbeda pendapat.

Harus diakui bahwa selama ini penulisan sejarah tentang gerakan kaum Padri banyak didasarkan pada catatan-catatan pejabat pemerintah Hindia Belanda yang pernah bertugas di Sumatera Barat, baik ketika masih terjadi Perang Padri maupun setelahnya. Sebagai misal adalah catatan H.J.J.L. de Stuers yang diterbitkan sebagai De Vestiging en Uitbreiding der Nederlanders ter Westkust van Sumatra di Amsterdam pada 1849 – 1850.

Selain itu, penulisan sejarah gerakan Padri juga banyak bersandar pada “Surat Keterangan dari pada Saya Fakih Saghir ‘Ulamiah Tuanku Samiang Syekh Jalaluddin Ahmad Koto Tuo,” sebuah catatan otobiografis yang ditulis oleh Syekh Jalaluddin. Terkait dengan gerakan Padri, Jalaluddin menjadi salah satu pihak yang menentang dan mengkritik kaum Padri. Sebagai misal adalah ketika menulis,

“Adapun yang baik sebalah Tuanku2 Pedari ialah mendirikan sembahyang dan mendatangkan zakat dan puasa pada bulan Ramadan, dan naik haji atas kuasa, dan berbaiki mesjid dan berbaiki labuh tepian, dan memakai rupa pakaian yang halal, dan menyuruhkan orang menuntub ilmu, dan berniaga. Adapun sekalian yang jahat daripada Tuanku Paderi menyiar membakar, dan menyahkan orang dalam kampungnya, dan memunuh orang dengan tidak hak, yaitu memunuh segala ulama, dan memunuh orang yang berani2, dan memunuh orang yang cerdik cendaki, sebab ber’udu atau khianat, dan merabut dan merampas, dan mengambil perempuan yang bersuami, dan menikahkan perempuan yang tidak sekupu (sederajat) dengan tidak relanya, dan menawan orang dan berjual dia, dan bepergundi’ (mempergundik) tawanan, dan menghinakan orang yang mulia2, dan menghinakan orang tuha, dan mengatakan kafir orang beriman, dan mencala dia.”

Hanya Naskah Tuanku Imam Bonjol yang dapat menjadi pembanding buat kita. Naskah yang dimaksud berisi ringkasan sejarah Minangkabau pada abad ke-19 M dan hampir menjadi satu-satunya catatan sejarah yang ditulis orang pribumi. Bagian pertama naskah itu berisi memoar Tuanku Imam Bonjol yang dibawa pulang dari tanah pembuangan oleh putranya, Sutan Saidi. Bagian kedua berisi memoar salah seorang putra Imam Bonjol yang lain, Naali Sutan Caniago, yang pernah berperang di samping ayahnya. Bagian ketiga hanya berisi dua notulen rapat yang diadakan di dataran tinggi Minangkabau pada 1865 dan 1875.

Dalam salah satu bagian naskah itu, Tuanku Imam Bonjol (1772 – 1864) menyadari sebuah kekeliruan fatal dalam gerakan Padri.  Ketika itu, memang, sudah banyak korban yang jatuh di tengah penduduk pribumi.  Dalam perenungannya, ia akhirnya menyimpulkan dan kemudian menyampaikannya di depan para penasehatnya, “Adapun hukum kitabullah banyaklah nan terlampau dek (baca: terabaikan) oleh kita. Itu pun bagaimana pikiran kita?”

Sebagai buntut penyesalan itu, Imam Bonjol membekali Tuanku Tambusai, Fakih Muhammad dan dua orang pengikutnya yang lain untuk pergi berhaji ke Makkah sekaligus mencari kejelasan di sana. Pada 1832, empat orang utusan itu kembali dan membawa kabar tentang penyerbuan Nejed oleh pasukan Mesir yang diutus Sultan Turki Utsmani. Para pengikut Muhammad bin Abdil Wahhab telah ditaklukkan secara brutal oleh Turki Utsmani.

Mengetahui kabar seperti itu, Imam Bonjol mengadakan pertemuan penting, masih pada 1832 itu juga. Di tengah para tuanku, hakim-hakim syariat dan penghulu-penghulu, Imam Bonjol mengumumkan semacam gencatan senjata. Semua harta rampasan turut dikembalikan.

Lebih dari itu, Imam Bonjol menarik diri dari segala bentuk keyakinan yang pernah ia pegang. Ia juga menginsafi segala keinginannya untuk ikut-campur dalam wewenang adat dan meminta maaf kepada para pemuka adat yang telah banyak dirugikan. Kepada pemerintah Hindia Belanda, ia menawarkan keinginan untuk berdamai.

Semua itu terjadi jauh sebelum penangkapannya. Imam Bonjol sendiri baru ditangkap pemerintah Hindia Belanda pada 1838, setelah terjadi perang besar-besaran antara pasukan Belanda dan rakyat Minangkabau. Setahun kemudian Imam Bonjol dibuang ke Ambon dan pada 1841 dipindahkan ke Manado. Ia meninggal-dunia di pembuangan pada 1864 sebagai seorang laki-laki tua yang bercocok-tanam di sebidang tanah kecil.

Sebelum meninggal-dunia, Imam Bonjol sempat berwasiat kepada putranya. “Akui hak para penghulu adat,” pesannya. Taati mereka. Kalau ini tidak bisa ditaati, maka ia bukan penghulu yang benar dan hanya memiliki gelar saja. Sedapat mungkin, setialah pada adat. Dan kalau pengetahuannya belum cukup, pelajarilah dua puluh sifat-sifat Allah”.

(sumber: http://sejarah.kompasiana.com)

Subscribe

Thanks for read our article for update information please subscriber our newslatter below

3 Responses

  1. HAZ02/04/2013 at 20:10Reply

    SUMBER KOMPASIANA????

  2. Buyung Hazairin25/12/2014 at 07:26Reply

    Masih banyak yg perlu dipelajari. Umpamanya sejarah dari ungkapan "Adat Basandi Sarak dan Sarak Basandi Kitabullah". Apakah ini tidak mempersempit ajaran Adat Minang: Alam Takambang Jadi Guru, krn Kitab itu baru sebagian saja dari alam?

Tinggalkan Balasan