Setiap manusia yang diciptakan oleh Allah Ta’ala mempunyai nafsu. Nafsu yang terdapat pada manusia adalah ujian Allah Ta’ala. Jika manusia mampu menguasai atau mengendalikan nafsunya bermakna dia sedang berusaha mengatasi salah satu ujian dari Allah Ta’ala yang cukup berat ini.
Sekiranya nafsu dididik ke arah kejahatan, maka nafsu akan menjadi jahat dan liar. Maka akan lahirlah orang yang pandai tetapi jahat, orang bodoh yang jahat, pemimpin yang jahat, dan pendidik yang jahat.
Ini sangat membahayakan kepada kehidupan manusia. Sebab itu nafsu perlu dikenali tahap-tahapnya dan tingkatannya. Nafsu secara fitrahnya berwatak jahat, kalau dibiarkan maka nafsu akan tetap jahat.
Sebab itu Allah ta’ala mengingatkan kita tentang hal ini di dalam firman-Nya,
وَالَّذِينَ جَاهَدُوا فِينَا لَنَهْدِيَنَّهُمْ سُبُلَنَا ۚ وَإِنَّ اللَّهَ لَمَعَ الْمُحْسِنِينَ
“Mereka yang berjuang ke jalan Kami, niscaya Kami akan tunjukkan jalan jalan Kami. Sesungguhnya Allah berserta dengan orang-orang yang berbuat baik.” (QS. Al- Ankabut : 69)
1. Nafsul Muthma’innah
Apabila nafsu tenang kepada Alloh ‘azza wa jalla, tenang dengan mengingat-Nya, berserah diri kepada-Nya, rindu berjumpa dengan-Nya, senang karena dekat dengan-Nya, ia dinamakan Nafsul Muthma’innah.
Ibnu Abbas rodhiyallohu ‘anhu berkata, ”Al-Muthma’innah artinya yang membenarkan.”
Qatadah rohimahulloh menuturkan, ”Orang mukmin ialah orang yang jiwanya tenang kepada apa yang dijanjikan Allah.”
Pemilik nafsu ini merasa tenang dengan pemberitaan dari Allah dan Rasul-Nya tentang diri-Nya. Kemudian, ia juga merasa tenang dengan pemberitaan-Nya mengenai apa yang akan terjadi setelah kematiannya, yaitu berupa urusan-urusan alam barzakh dan peristiwa yang mengiringinya. Misalnya, huru-hara kiamat, hingga seolah-olah ia menyaksikannya dengan jelas.
Ia tenang terhadap ketetapan Allah Subhanahu wa Ta’ala. Sehingga ia pun pasrah dan ridho dengan ketetapan-Nya, tidak marah, dan tidak merusak keimanannya. Karena itu ia tidak berputus asa terhadap apa yang tidak ia peroleh dan tidak merasa terlalu senang terhadap apa yang telah diberikannya kepadanya.
يَا أَيَّتُهَا النَّفْسُ الْمُطْمَئِنَّةُ ارْجِعِي إِلَى رَبِّكِ رَاضِيَةً مَرْضِيَّةً فَادْخُلِي فِي عِبَادِي وَادْخُلِي جَنَّتِي
“Wahai jiwa yang tenang!, Kembalilah kepada Tuhanmu dengan hati yang ridha dan diridhai-Nya. Maka masuklah ke dalam golongan hamba-hambak-Ku, dan masuklah ke dalam surga-Ku.” (QS. Al-Fajr : 27-30)
2. Nafsul Lawwamah
Ada ulama yang berpendapat, An Nafsul Lawwamah ialah jiwa yang tidak konsisten pada satu keadaan. Ia adalah hati yang banyak berbolak-balik dan berwarna-warni. Terkadang ia ingat dan lalai, menghadap dan berpaling, cinta dan benci, bahagia dan sedih, ridho dan marah, ikhlas dan menyesal, serta patuh dan takut.
Al Hasan Al basri mengatakan, ”Anda akan melihat seorang mukmin selalu menyesali dirinya sendiri, sembari berkata, ’Aku tidak mau ini? Mengapa aku melakukannya? Padahal, yang ini lebih utama daripada yang itu’.”
Lawwamah (yang sangat menyesali diri) ada dua macam:
1. Yang mencela lagi dicela ialah nafsu yang bodoh dan zholim. Allah ‘Azza wa Jalla dan para malaikat-Nya pun mencelanya.
2. Yang mencela tapi tidak dicela ialah jiwa yang suka mencela karena menyesal. Jiwa yang selalu mencela pemiliknya atas kekurang optimalan dalam menta’ati Allah, sambil ia kerahkan segala daya upayanya.
3. Nafsul Ammaroh bis Suu’
Ia adala nafsu yang tercela. Ia selalu menyuruh berbuat keburukan.
Allah berfirman,
وَمَا أُبَرِّئُ نَفْسِي إِنَّ النَّفْسَ لأمَّارَةٌ بِالسُّوءِ إِلا مَا رَحِمَ رَبِّي إِنَّ رَبِّي غَفُورٌ رَحِيمٌ
“Dan aku tidak membebaskan diriku (dari kesalahan), karena Sesungguhnya nafsu itu selalu menyuruh kepada kejahatan, kecuali nafsu yang diberi rahmat oleh Tuhanku. Sesungguhnya Tuhanku Maha Pengampun lagi Maha Penyanyang.” (Yunus : 53)
Ammaroh adalah lawan kata dari muthma’innah. Setiap kali nafsu muthma’innah datang dengan membawa kebaikan, nafsu ammaarah menyainginya dengan membawa kejahatan yang menyelisihinya untuk merusaknya.
Sehingga, hakikat jihad seperti bunuh diri, menyebabkan istri dinikahi orang lain, anak-anak menjadi yatim, dan harta benda dibagikan. Hakikat zakat dan sedekah terlihat sekedar membuang dan mengurangi harta, menyebabkan miskin, butuh kepada manusia dan berstatus sama dengan orang faqir.
Semoga Alloh selalu menjaga hati kita untuk selalu tunduk kepada-Nya. Wallahu a’lam dan semoga bermanfa’at. Aamiin
??????
Sumber : Dr Asimun Mas’ud, MKub
No Responses