Pahala Menanti Waktu Shalat

Sarkub Share:
Share

قَالَ رسول الله صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ : لا يَزَالُ الْعَبْدُ، فِي صَلاةٍ، مَا كَانَ، فِي الْمَسْجِدِ، يَنْتَظِرُ الصَّلاةَ، مَا لَمْ يُحْدِثْ.

(صحيح البخاري)

“ِSabda Rasulullah saw : Tiada hentinya hamba dalam pahala shalat (walau ia diam) selama ia masih tetap dimasjid dalam keadaan suci menanti waktu shalat” (Shahih Bukhari)

Dalam hadits diatas beliau shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda bahwa seseorang yang duduk menanti waktu shalat dan dalam keadaan suci maka ia mendapatkan pahala shalat selamat waktu menanti shalat tersebut, misalkan seseorang menunggu waktu shalat Asar sejak selesai shalat Dzuhur, maka selama waktu menunggu itu ia terhitung melakukan shalat meskipun dalam keadaan tidur (tidur dengan keadaan duduk), tidur yang tidak membatalkan wudhu, karena dalam madzhab Syafi’i seseorang yang tidur dalam keadaan duduk tidak bergerak maka hal itu tidak membatalkan wudhu’. Maka seseorang yang selama berjam-jam menunggu waktu shalat, ia terhitung mendapatkan pahala shalat sebagaimana sabda nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wasallam dalam hadits tadi. Diriwayatkan di dalam Shahih Al Bukhari di hari-hari terakhir dalam kehidupan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam dan dalam keadaan sakit, suatu waktu beliau terbangun di tengah malam setelah sebelumnya beliau tidak sadarkan diri (pingsan), dan ketika itu para sahabat ada yang dalam keadaan berdzikir, ada pula yang tertidur dalam keadaan duduk di dalam masjid dan keadaan belum melakukan shalat Isya’ dan tidak ada yang bergerak dari tempatnya karena menunggu Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam untuk melakukan shalat berjamaah bersama beliau shallallahu ‘alaihi wasallam. Maka ketika Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam meminta kepada sayyidah Aisyah untuk membawa beliau ke tempat berwudhu lalu, dan setelah itu beliau kembali roboh dan tidak sadarkan diri, kemudian terbangun di sepertiga malam dan berkata kepada sayyidah Aisyah RA : “Wahai Aisyah, apakah orang-orang sudah melakukan shalat ‘isya?”, sayyidah Aisyah berkata: “Belum, karena mereka menunggumu wahai Rasulullah “, demikian keadaan para pecinta sayyidina Muhammad shallallahu ‘alaihi wasallam, mereka para sahabat tidak ingin catatan shalat mereka ditulis kecuali dengan tulisan : Fulan bin Fulan bermakmum pada sang imam Muhammad shallallahu ‘alaihi wasallam. Dalam hal ini manakah yang lebih utama antara melakukan shalat di awal waktunya atau melakukan shalat bersama Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam namun tidak di awal waktu?, padahal dalam hadits yang lain Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda bahwa amal yang paling utama adalah mengerjakan shalat di awal waktunya, namun ketika itu justru para sahabat menunggu Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam hingga sepertiga malam untuk mengerjakan shalat isya’ bersama Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam, hal ini menunjukkan bahwa melakukan shalat bersama beliau shallallahu ‘alaihi wasallam jauh lebih utama dari melakukan shalat tepat pada waktunya dan tidak bersama dengan beliau shallallahu ‘alaihi wasallam. Dalam hal ini para ulama’ mengatakan diperbolehkan mengakhirkan waktu shalat jika dalam keadaan ada ta’lim atau dars (pelajaran), yaitu ketika tiba waktu shalat maka kumandangkan adzan kemudian melanjutkan ta’lim atau dars hingga selesai, karena duduk (dalam hal-hal yang baik) dalam keadaan menunggu waktu shalat termasuk ibadah, lain halnya jika mengundur waktu shalat dikarenakan sesuatu atau hal yang bersifat duniawi maka hal itu tidak diperbolehkan, akan tetapi jika mengakhirkan waktu shalat karena Ilmu maka yang lebih utama adalah menunggu hingga pembahasan ilmu selesai dan semua yang dipelajari dapat difahami barulah setelah itu melakukan shalat, karena Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam dan para sahabat dahulu memperbuat hal itu yaitu melakukan shalat Isya’ hingga tengah malam, dan juga dikhawatirkan jika pembahasan ilmu itu dihentikan seketika dan orang yang belajar belum memahami ilmu tersebut maka dikhawatirkan ia keluar dari majelis ilmu itu tanpa ada pemahaman dan menyampaikan sesuatu atau ilmu kepada yang lainnya dengan tidak ada pemahaman akan ilmu yang ia sampaikan.

Hal ini banyak belum difahami oleh sebagian orang, dimana mereka berpendapat jika adzan telah dikumandangkan maka harus segera dilaksanakan shalat dalam keadaan apapun, akan tetapi dalam hal ini jika dalam keadaan dalam pembahasan suatu ilmu dan tiba waktu shalat maka sebaiknya menyelesaikan pembahasan ilmu tersebut, kemudian baru melakukan shalat, dan hal demikian adalah ijma’ para ulama.

Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda bahwa seseorang yang duduk di masjid dalam keadaan suci untuk menunggu shalat maka selama itu ia berada dalam pahala shalat sampai tiba waktu shalat tersebut. Hadits yang semakna dengan hadits ini juga diriwayatkan dalam Shahih Al Bukhari, namun ditambahkan dengan ucapan sayyidina Hasan bin Ali Kw, yaitu bahwa seseorang tetap dalam kebaikan selama menanti kebaikan, seperti saat ini kita dalam keadaan menanti dzikir, menanti doa penutup maka pahalanya terus mengalir selama waktu menanti itu, dalam hal ini bagaimana kemuliaan orang yang senantiasa menanti untuk berjumpa dengan Allah, hari-hari terlewatkan, musibah berganti dengan kenikmatan, perubahan demi perubahan terjadi namun ia tetap menanti perjumpaan dengan Allah subhanahu wata’ala. Allah subhanahu wata’ala berfirman :

يَا أَيُّهَا الْإِنْسَانُ إِنَّكَ كَادِحٌ إِلَى رَبِّكَ كَدْحًا فَمُلَاقِيهِ

(الإنشقاق : 6 )

“Wahai manusia, sesungguhnya kamu telah bekerja dengan sungguh-sungguh menuju Tuhanmu, maka pasti kamu akan menemui-Nya.” ( QS. Al Insyiqaaq : 6 )

Sungguh keberuntungan besar bagi orang yang menunggu untuk berjumpa dengan Allah subhanahu wata’ala. Hamba- hamba yang merindukanNya maka Allah pun merindukannya, sebagaimana firmanNya dalam hadits qudsi :

مَنْ أَحَبَّ لِقَائِيْ أَحْبَبْتُ لِقَاءَهُ

“ Barangsiapa yang rindu ingin berjumpa dengan-Ku maka Aku pun ingin berjumpa dengannya”

Ya Allah pantaskah dengan segala dosa dan kesalahan inikah Engkau merindukan kami, sangatlah tidak pantas seorang budak hina seperti kami mengatakan hal itu, namun di malam ini dengan izin Mu Engkau perdengarkan hadits itu kepada kami. Sebagai contoh jika seorang raja yang sangat mulia mengumpulakn sepuluh ribu orang budaknya dan setiap budak mengutarakan keinginannya dari segala kenikmatan dunia lantas ia kabulkan keinginan mereka, namun satu dari mereka hanya terdiam dan ketika ditanya : “Apa yang engkau inginkan?”, si budak menjawab : “Aku menginginkanmu”, sungguh sangatlah tidak pantas seorang budak mengucapkan hal demikian, namun Allah subhabahu wata’ala senantiasa memberikan harapan dan membuka kesempatan untuk hamba yang menginginkan cintaNya..

Ditulis Oleh: Habib Munzir Almusawa

 

Subscribe

Thanks for read our article for update information please subscriber our newslatter below

No Responses

Tinggalkan Balasan