Naik dan Turun Ketika Peristiwa Isra’ Mi’raj

isra miraj
Sarkub Share:
Share

isra mirajMereka masih saja bersikeras bahwa Allah Azza wa Jalla berada atau bertempat di atas ‘Arsy atau di atas langit. Mereka berkeyakinan bahwa Allah Azza wa Jalla berbatas atau dibatasi dengan ‘Arsy atau dengan langit.Mereka katakan dengan peristiwa Mi’raj membuktikan bahwa Rasulullah mi’raj ketempat Allah Azza wa Jalla berada dan mereka mempertanyakan kami, apakah kami mengingkari mi’raj Rasulullah dengan tubuhnya

Tentulah tubuh Sayyidina Muhammad Shallallahu alaihi wasallam sampai kepada tempat Beliau bermunajat kepada Allah ta’ala ketika peristiwa Mi’raj namun bukan berarti Allah Azza wa Jalla berada atau bertempat pada tempat Beliau bermunajat.

Begitupula memaknai hadits Rasulullah berikut

Rasulullah bersabda yang artinya, “Saat yang paling dekat antara seorang hamba dan Rabb-nya adalah ketika ia sujud, maka perbanyaklah doa ketika itu.” (HR Muslim dari Abu Hurairah)

Janganlah dimaknai bahwa Allah Azza wa Jalla berada atau bertempat di tempat sujud kita

Jadi dalam kisah mi’raj yang kita dengar terdapat keterangan mengenai naik-turunnya Rasulullah, seorang muslim tidak boleh menyangka bahwa antara hamba dan Tuhannya terdapat jarak tertentu, karena hal itu termasuk perbuatan kufur. Na’udzu billah min dzalik.

Naik dan turun itu hanya dinisbahkan kepada hamba, bukan kepada Tuhan. Meskipun Nabi shallallahu alaihi wasallam pada malam Isra’ sampai pada jarak dua busur atau lebih pendek lagi dari itu, tetapi Beliau tidak melewati maqam ubudiyah (kedudukan sebagai seorang hamba).

Nabi Muhammad shallallahu alaihi wasallam dan Nabi Yunus bin Matta alaihissalam, ketika ditelan hiu dan dibawa ke samudera lepas ke dasar laut adalah sama hal ketiadaan jarak Allah ta’ala dengan ciptaan-Nya, ketiadaan arahNya, ketiadaan menempati ruang, ketidakterbatasannya dan ketidaktertangkapnya.

Menurut suatu pendapat ikan hiu itu membawa Nabi Yunus alaihissalam sejauh perjalanan enam ribu tahun. Hal ini disebutkan oleh al Baghawi dan yang lainnya.

Apabila kita telah mengetahui hal itu, maka yang dimaksud bahwa Nabi Shallallahu walaihi wasallam naik dan menempuh jarak sejauh ini adalah untuk menunjukkan kedudukan Beliau di hadapan penduduk langit dan Beliau adalah makhluk Allah yang paling utama.

Pengertian ini dikuatkan dengan dinaikkannya Beliau diatas Buraq oleh Allah ta’ala dan dijadikan sebagai penghulu para Nabi dan Malaikat, walaupun Allah Mahakuasa untuk mengangkat Beliau tanpa menggunakan buraq.

Ketahuilah bahwa bolak-baliknya Nabi Muhammad shallallahu alaihi wasallam antara Nabi Musa alaihissalam dengan Allah subhanahu wa ta’ala pada malam yang diberkahi itu tidak berarti adanya arah bagi Allah subhanahu wa ta’ala. Mahasuci Allah dari hal itu dengan sesuci-sucinya.

Ucapan Nabi Musa alaihissalam kepada Beliau, “Kembalilah kepada Tuhanmu,” artinya: “kembalilah ke tempat engkau bermunajat kepada Tuhanmu. Maka kembalinya Beliau adalah dari tempat Beliau berjumpa dengan Nabi Musa alaihissalam ke tempat Beliau bermunajat dan bermohon kepada Tuhannya.

Tempat memohon tidak berarti bahwa yang diminta ada di tempat itu atau menempati tempat itu karena Allah Subhanahu wa ta’ala suci dari arah dan tempat. Maka kembalinya Nabi Muhammad Shallallahu alaihi wasallam kepadaNya adalah kembali Beliau meminta di tempat itu karena mulianya tempat itu dibandingkan dengan yang lain. Sebagaimana lembah Thursina adalah tempat permohonan Nabi Musa alaihissalam di bumi. Kita pun mengenal tempat yang mulia untuk bermunajat kepada Allah Azza wa Jalla seperti Makkah Al Mukarohmah, Masjid Nabawi, multazam, raudhoh, maqam Ibrahim, hijr Ismal, rukun Yamani, hajar aswad , dll

Walaupun Beliau pada malam ketika mi’rajkan sampai menempati suatu tempat di mana Beliau mendengar gerak qalam, tetapi Beliau shallallahu alaihi wasallam dan Nabi Yunus alaihissalam ketika ditelan oleh ikan dan dibawa keliling laut hingga samapai ke dasarnya adalah sama dalam kedekatan dengan Allah ta’ala, karena Allah Azza wa Jalla suci dari arah, suci dari tempat, dan suci dari menempati ruang.

Al Qurthubi di dalam kitab at-Tadzkirah, mengutip bahwa Al Qadhi Abu Bakar bin al-’Arabi al Maliki mengatakan, ‘Telah mengabarkan kepadaku banyak dari sahabat-sahabat kami dari Imam al-Haramain Abu al Ma’ali Abdul Malik bin Abdullah bin Yusuf al Juwaini bahwa ia ditanya, “Apakah Allah berada di suatu arah?” Ia menjawab, “Tidak, Dia Mahasuci dari hal itu”

Ia ditanya lagi, “Apa yang ditunjukkan oelh hadits ini?” Ia menjawab, “Sesungguhnya Yunus bin Matta alaihissalam menghempaskan dirinya kedalam lautan lalu ia ditelan oleh ikan dan menjadi berada di dasar laut dalam kegelapan yang tiga. Dan ia menyeru, “Tidak ada Tuhan selain Engkau. Mahasuci Engkau, Sesungguhnya aku termasuk orang-orang yang zhalim,” sebagaimana Allah ta’ala memberitakan tentang dia. Dan ketika Nabi Muhammad shallallahu alaihi wasallam duduk di atas rak-rak yang hijau dan naik hingga sampai ke suatu tempat di mana Beliau dapat mendengar gerak Qalam dan bermunajat kepada Tuhannya lalu Tuhan mewahyukan apa yang Ia wahyukan kepadanya, tidaklah Beliau shallallahu alaihi wasallam lebih dekat kepada Allah dibandingkan Nabi Yunus alaihissalam yang berada dikegelapan lautan. Karena Allah Subhanahu wa t a’ala dekat dengan para hambaNya, Ia mendengar doa mereka, dan tak ada yang tersembunyi atasNya, keadaan mereka bagaimanapun mereka bertindak, tanpa ada jarak antara Dia dengan mereka.

Jadi, Ia mendengar dan melihat merangkaknya semut hitam di atas batu yang hitam pada malam yang gelap di bumi yang paling rendah sebagaimana Ia mendengar dan melihat tasbih para pengemban ‘Arsy di atas langit yang tujuh. Tidak ada Tuhan selain Dia, yang mengetahui yang gaib dan yang nyata. Ia mengetahui segala sesuatu dan dapat membilang segala sesuatu.

Kami (penulis) mengingatkan kembali bahwa Allah Azza wa Jalla adalah dekat, Dia ada sebagaimana sebelum diciptakan ‘Arsy, sebagaimana sebelum diciptakan langit, sebagaimana sebelum diciptakan ciptaanNya. Dia tidak berubah dan tidak berpindah. Dia sebagaimana awalnya dan sebagaimana akhirnya. Dia dekat tidak bersentuh dan jauh tidak berjarak. Tidak ada atas, bawah, kanan, kiri, depan, belakang bagiNya karena tidak ada satupun yang sanggup membatasiNya. Dia ada tanpa batas. Yang berubah maupun berpindah adalah ciptaanNya. Setiap yang berpindah mempunyai bentuk dan batas.

Oleh karenanya kita sebaiknya mengingat peringatan yang disampaikan oleh Rasulullah yang artinya, ” Berfikirlah tentang nikmat-nikmat Allah, dan jangan sekali-kali engkau berfikir tentang Dzat Allah”

Wassalam
Zon di Jonggol, Kab Bogor

Subscribe

Thanks for read our article for update information please subscriber our newslatter below

4 Responses

  1. Ganjur06/06/2013 at 06:16Reply

    Pencerahan yg sangat bagus, terima kasih.

  2. Usep Sholahudin18/07/2013 at 05:46Reply

    Alhamdulillah, terimakasih atas pencerahannya.

  3. Abu Faraqna05/08/2013 at 08:24Reply

    Tim Sarkub telah bangga menunjukkan jati dirinya / kekufurannya dengan terang2an menolak ayat-ayat Qur’an mengenai istiwa’ Nya Allah di ‘Arsy karena mengikuti hawa nafsunya yang telah jauh kesesatnya. Kasihanilah dirimu……

    • Usep Sholahudin22/08/2013 at 09:15Reply

      ah model model kayak kamu gini wawasan sempit, udah sana belajar dulu, baru ngasih koment

Tinggalkan Balasan