Kontrak Syahwat Jalur Puncak

Sarkub Share:
Share

Kalau nikah hanya urusan alat kelamin, apa bedanya dengan hewan?

Sebagian pelancong muslim mancanegara (arab saudi, red.) punya trik menyiasati larangan berzina. Sebelum menyalurkan hasrat seksual, mereka menikahi pasangannya, dengan memenuhi syarat-rukun nikah. Ada wali, dua saksi, mas kawin sesuai negosiasi, plus prosesi ijab kabul.

Perempuannya lajang tak bersuami. Bisa janda, tapi kebanyakan pelancong memesan perawan. Bunyi ijab kabul mirip nikah biasa. Tanpa penyebutan batas waktu seperti nikah mut’ah –nikah yang diharamkan kalangan Sunni, mayoritas muslim Indonesia.

Pasangan pun merasa aman-nyaman berasyik masyuk, karena berkeyakinan sebagai suami-istri sah. Bedanya dengan nikah biasa, perkawinan ini tidak berumur panjang. Bisa sebulan, sepekan, kadang cuma dua hari. Begitu jadwal liburan berakhir, pasangan pun bercerai.

Agendanya memang sekadar pemuasan berahi. Bila si wanita melahirkan anak, tak ada lagi urusan dengan sang pria. Akad nikah dilakukan secara lisan, tanpa dicatat Kantor Urusan Agama. Perceraian pun diselesaikan secara lisan, tanpa pernyataan di depan pengadilan agama.

Praktek ini sudah lama berlangsung di Indonesia. Salah satu daerah subur nikah model ini adalah kawasan sejuk Puncak, Bogor-Cianjur, Jawa Barat. Pelancongnya kebanyakan asal Timur Tengah.

Investigasi Gatra tahun 2006 di Puncak mengungkapkan, kesediaan pihak perempuan dinikahi model ini cenderung didorong motivasi finansial. Mahar yang diberikan berkisar Rp 2 juta sampai Rp 10 juta. Ada yang kawin hanya dua hari, dengan “tarif” Rp 2 juta.

Bila beruntung, selain terima mahar, si wanita juga diberi nafkah harian Rp 500.000 sehari. Tapi, mas kawin itu bukan milik penuh si istri, sebagaimana ketentuan lazim tentang mahar. Pihak perempuan hanya memperoleh separuh. Sisanya dibagi pada calo, saksi, dan wali nikah (lihat: Kontrak Syahwat Jalur Puncak, Gatra, 16 Agustus 2006).

 

Musyawarah Nasional VIII MUI di Hotel Twin Plaza, Jakarta, Minggu sampai Rabu pekan lalu, merumuskan fatwa hukum perkawinan ini. Model ini, oleh Komisi Fatwa MUI, dinamakan “nikah wisata”, untuk menggambarkan praktek yang kerap terjadi di lokasi wisata.

Dalam paper bahan pembahasan fatwa yang disiapkan Wakil Ketua Komisi Fatwa, Dr. Masyhuri Na’im, dan Sekretaris Komisi Fatwa, Dr. Hasanuddin, dipaparkan dua alternatif kategori untuk mengupas status hukum nikah wisata ini. Pertama, dikategorikan sebagai nikah mut’ah. Kedua, dikelompokkan dalam “nikah dengan niat cerai” (al-zawaj bi niyat al-thalaq).

Dalam literatur fikih, akad nikah mut’ah harus menggunakan kata “mut’ah” dan “waktu tertentu”. Sedangkan “nikah dengan niat cerai”, didefinisikan oleh Wahbah Zuhaili, profesor hukum Islam asal Syiria, sebagai nikah yang memenuhi rukun nikah, tapi sang suami memendam niat bercerai pada jangka waktu tertentu.

Bila dikategorikan nikah mut’ah, ada dua opsi hukum: boleh dan haram. Bila dikategorikan nikah dengan niat cerai, terdapat dua pendapat ulama. Pertama, sebagian besar ahli fikih, dari kalangan madzhab Hanafi, Syafi’i, Maliki, dan satu pendapat di kalangan Hanbali, memandang nikah demikian sah.

Dalam pada itu, minoritas ulama, antara lain di kalangan madzhab Syafi’i, berpendapat, nikah itu makruh, dengan alasan mura’atan lil khilaf (menghindarkan ketidaksesuaian dengan panduan syariat). Tapi Al-Auza’i dan Bahram dari Madzhab Maliki menyatakan nikah tersebut batal.

 

Dalam pembahasan, perdebatan bergerak antara dua pendulum: aspek prosedur dan aspek tujuan filosofis nikah. Dilemanya, dari sisi prosedur, nikah ini memenuhi syarat dan rukun, karena itu tak bisa serta merta dinyatakan batal.

Saat ijab kabul, tidak dinyatakan, misalnya, ini nikah mut’ah atau nikah dengan jangka waktu (mu’aqqat). Maka tidak bisa begitu saja dihukumi nikah mut’ah atau nikah mu’aqqat. Tapi, dari segi tujuan filosofis, disyariatkannya nikah (maqashid syariah), nikah ini tidak sejalan.

Seorang peserta mengutip pandangan Imam Al-Syatibi, ahli ushul fikih, yang luas mengupas konsep maqashid al-syariah. Dikatakan Syatibi, maqashid syariah ada dua, yaitu maqashid ashliyah (tujuan pokok) dan maqashid tabi’iyah (tujuan ikutan). Tujuan pokok pernikahan untuk menghalalkan persetubuhan. Sedangkan tujuan ikutannya membentuk keluarga sakinah.

Nikah wisata, dikatakan, hanya memenuhi tujuan pokok, dan tidak mencapai tujuan ikutan. “Kata Syatibi, segala hal yang tidak sesuai maqashid syariah, baik ashliyah maupun tabi’iyah, jadi haram,” kata peserta itu. Peserta lain memperkuat dengan pertimbangan akhlak. Dikatakan, nikah seperti ini tidak sepantasnya dibolehkan.

“Nikah bukan hanya untuk bersenang-senang, tapi untuk membina keluarga. Nikah wisata bisa berdampak penelantaran,” katanya. Pimpinan Sidang, Dr. Masyhuri Na’im, mengingatkan kaedah “mencegah kerusakan harus didahulukan ketimbang melaksanakan kebaikan“.

Cara pandang tersebut dikritisi Ketua Komisi Fatwa MUI Sumatera Barat, Gusrizal Gazahar, yang memandang secara legal-formal. Dikatakan, dampak penzaliman pada perempuan tidak kuat dijadikan pijakan membatalkan akad. Keabsahan nikah ditentukan terpenuhinya syarat dan rukun.

Dikatakan pula, adanya niat bercerai juga tidak bisa dijadikan argumen batalnya nikah, karena niat terpendam di hati. Sementara ada kaedah, “kami menghukumi apa yang tampak muka, karena hanya Allah yang tahu di balik permukaan”. Maka kata Gusrizal, secara hukum, sejauh tidak ada pernyataan batasan waktu, nikah itu sah.

Untuk mengantisipasi dampak buruk nikah ini, kata Gusrizal, bukan dengan mengubah konstruksi hukum pernikahan. Misalnya, dengan menjadikan niat atau dampak buruk sebagai elemen pembatal akad. Tapi, dengan membuat rekomendasi agar regulasi mewajibkan pencatatan nikah, sehingga nikah wisata bisa dikenai sanksi lewat hukum positif.

Tapi Gusrizal memberi peluang penyelesaian lain, bahwa niat yang terpendam sebenarnya bisa dibuktikan secara faktual dengan indikasi (amarat) yang kuat. Maraknya kebiasaan menceraikan istri tiap kali suami hendak pulang ke negerinya bisa dijadikan indikasi bahwa mereka memang meniatkan pernikahan untuk jangka pendek.

Dari berbagai diskusi, dicapai kesepakatan bahwa maraknya kebiasaan bercerai saat hendak meninggalkan Indonesia sudah cukup kuat sebagai pijakan bahwa nikah wisata hakikatnya nikah berjangka waktu (muaqqat). Walaupun dalam akadnya, janga waktu itu tidak dinyatakan.

Maka, kata Sekretaris Sidang Komisi, Dr. Asrorun Ni’am Sholeh, nikah wisata disepakati untuk didefinisikan sebagai “pernikahan yang dilakukan dengan memenuhi syarat dan rukun pernikahan, namun diniatkan untuk sementara”. Nikah dengan definisi itu, dalam literatur fikih, dikategorikan sebagai nikah muaqqat dan hukumnya haram.

Fatwa ini, kata Ni’am, tidak memasuki pembahasan absah-tidaknya akad nikah. Isu sah-batal, dalam ushul fiqih, masuk wilayah “hukum wadh’i“. Fatwa ini melampaui isu sah-batal, melainkan masuk isu halal-haram, yang dalam ushul fiqih menjadi bagian “hukum taklifiy“.

Nikah wisata dikatakan haram bukan karena akadnya sah atau batal, kata Ni’am, melainkan karena implikasi dharar (mudarat). Mirip fatwa nikah usia dini dan nikah siri, yang dari segi hukum wadh’i, akadnya sah, tapi dari segi hukum taklify nikah tersebut bisa haram jika menimbulkan dharar.

Bedanya, dalam fatwa nikah siri dan nikah usia dini, MUI sudah bersikap tentang keabsahannya, tapi dalam nikah wisata, MUI tidak bersikap tentang sah-batalnya, tapi langsung melompat ke aspek halal-haram. Ini salah satu cara untuk menjembatani dilema di atas, antara aspek prosedur dan tujuan dasar.

Komisioner Komisi Nasional Perempuan, Neng Dara Affiah, menyambut baik fatwa MUI ini. Wanita dan anak-anak, katanya, cenderung diuntungkan oleh fatwa itu. “Saya tidak ingin bicara nikah ini halal atau haram, tapi nikah dengan cara ini merugikan perempuan,” ujarnya kepada Rukmi Hapsari dari Gatra.

Anak dari hasil nikah ini biasanya diasuh ibu, sedangkan bapaknya tidak bertanggung jawab. Ditambah lagi, kata Neng, status sebagai janda di Indonesia tidak ringan. Banyak orang mengolok-olok. Bagi Neng, nikah wisata sama saja dengan pelacuran terselubung.

Bila takut zina, Neng menyarankan, wisatawan hendaknya membawa istri dari negerinya. Bila tidak, disarankan menikahi perempuan lokal dengan komitmen seumur hidup. Bukan sekadar melampiaskan nafsu. “Kalau nikah hanya urusan alat kelamin, apa bedanya dengan hewan?” katanya.

(Gatra Nomor 39 Beredar Kamis, 5 Agustus 2010)

Simak juga: Wisata Seksual ala Wahabi

Subscribe

Thanks for read our article for update information please subscriber our newslatter below

5 Responses

  1. Drs.H.Fathur Rohman Muddassir,MH.25/04/2012 at 08:32Reply

    nikmatnya sebentar, resikonya sejagad.

  2. Author

    Dian Kusumaningrum27/06/2012 at 16:27Reply

    Naudzubillah Minzalik..

  3. Mohammad Bisri15/01/2014 at 18:37Reply

    Ya..kalau mau melacur melacur saja tdk usah banyak dalil…Allah kok mau dikadali..

  4. Mohammad Bisri15/01/2014 at 18:40Reply

    Ya itulah wahabi ..ketika saya umroh di sekitar masjid nabawi pun para penjual yg diceritakan enaknya berhubungan dg siti rahma (sebutan tkw atau wanita indonesia yg jd korban perkosaan di arab saudi)

  5. Dack Badgeur14/02/2014 at 16:48Reply

    ay ay wae d dunia

Tinggalkan Balasan