Tradisi Ruwahan dan Nyadran (Nyarkub) Bulan Sya’ban

Sarkub Share:
Share

Kajian Ruwahan dan  Nyadran (Nyarkub)

 

Saat ini kita berada di bulan Sya’ban atau orang jawa menyebutnya dengan bulan Ruwah yang berasal dari kata Arwah. Pada bulan ini ada tradisi yang dilestarikan sampai sekarang dan masih dijalankan.

 

Apa itu Ruwahan?

Tradisi Ruwahan atau Arwahan yaitu tradisi yang berkaitan dengan pengiriman kepada arwah orang-orang yang telah meninggal dengan cara dido’akan bersama dengan mengundang tetangga kanan kiri yang pulangnya mereka diberi ”berkat” sebagai simbol rasa terima kasih.

Oleh karena itu, jika bulan Ruwah tiba pasar-pasar tradisional akan kebanjiran order untuk selamatan ruwahan, diantaranya beras, bumbu dapur, lauk semuanya laris untuk kebutuhan selamatan Ruwahan.

Yang patut dipahami bahwa doa dari orang yg hidup kepada orang-orang  yang telah mati itu bermanfaat. Dalil yang mendukungnya adalah firman Allah,

وَالَّذِينَ جَاءُوا مِنْ بَعْدِهِمْ يَقُولُونَ رَبَّنَا اغْفِرْ لَنَا وَلإخْوَانِنَا الَّذِينَ سَبَقُونَا بِالإيمَانِ وَلا تَجْعَلْ فِي قُلُوبِنَا غِلا لِلَّذِينَ آمَنُوا رَبَّنَا إِنَّكَ رَءُوفٌ رَحِيمٌ

“Dan orang-orang yang datang sesudah mereka (Muhajirin dan Ansar), mereka berdoa: “Ya Rabb kami, beri ampunlah kami dan saudara-saudara kami yang telah beriman lebih dahulu dari kami, dan janganlah Engkau membiarkan kedengkian dalam hati kami terhadap orang-orang yang beriman; Ya Tuhan kami, sesungguhnya Engkau Maha Penyantun lagi Maha Penyayang.“ (QS. Al Hasyr: 10).

Ayat di atas menunjukkan bahwa di antara bentuk kemanfaatan yang dapat diberikan oleh orang yang masih hidup kepada orang yang sudah meninggal dunia adalah do’a. Ayat ini mencakup umum, yaitu ada doa yang ditujukan pada orang yang masih hidup dan orang yang telah meninggal dunia.

Dari Ummu Darda’, ia berkata bahwa Nabi  shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

دَعْوَةُ الْمَرْءِ الْمُسْلِمِ لأَخِيهِ بِظَهْرِ الْغَيْبِ مُسْتَجَابَةٌ عِنْدَ رَأْسِهِ مَلَكٌ مُوَكَّلٌ كُلَّمَا دَعَا لأَخِيهِ بِخَيْرٍ قَالَ الْمَلَكُ الْمُوَكَّلُ بِهِ آمِينَ وَلَكَ بِمِثْلٍ

“Do’a seorang muslim kepada saudaranya di saat saudaranya tidak mengetahuinya adalah do’a yang mustajab (terkabulkan). Di sisi orang yang akan mendo’akan saudaranya ini ada malaikat yang bertugas mengaminkan do’anya. Tatkala dia mendo’akan saudaranya dengan kebaikan, malaikat tersebut akan berkata: “Amin. Engkau akan mendapatkan semisal dengan saudaramu tadi.” (HR. Muslim).

Dalam kamus bahasa Indonesia, tradisi berarti suatu adat kebiasaan yang diturunkan oleh nenek moyang yang masih dijalankan oleh masyarakat sampai sekarang, sesuatu yang dianggap bermakna baik atau luhur sampai dengan saat ini. Nah, demikian pula untuk tradisi Ruwahan. Tradisi ruwahan sebenarnya merupakan tradisi peninggalan nenek moyang kita. Ritualnya sendiri meliputi ritual keliling desa, ritual bersih desa hingga bersih kubur, ritual kenduri, ritual ziarah kubur dan berakhir dengan ritual padusan/mandi. Dalam tradisi tersebut yang diagungkan adalah roh nenek moyang dan para dewa.

Ketika islam pertama kali diperkenalkan kepada nenek moyang kita oleh para wali, tradisi ruwahan ini tetap dipertahankan khususnya nilai-nilai luhur yang sejalan dengan ajaran Islam secara ibadah horizontalnya, namun sudah dibedakan NIAT-nya untuk bukan lagi mengagungkan roh atau dewa, namun semata-mata ibadah karena Allah Subhanahu wa Ta’ala dalam bentuk ukhuwah, shodaqoh, ziarah kubur, doa anak shaleh, dan sebagainya.

Dalam ajaran para wali songo tradisi ruwahan tersebut telah banyak bergeser ke ajaran Islam dengan pemaknaan tertentu, misalnya

1. Tradisi nyadran (ziarah kubur), dimanifestasikan untuk mengingat kepada datangnya kematian dan memicu kesiapan bekal kita untuk masa hidup setelah kematian tersebut.

2. Tradisi nyadran juga dimanifestasikan sebagai wujud amalan bakti anak yang shaleh kepada orangtuanya, sebagai amal yang tak putus-putus (birul walidain).

3. Bersih desa, lebih menitikberatkan kepada kegotong royongan dan guyub rukunnya warga untuk memelihara lingkungannya (ukhuwah) agar jadi bersih dan lebih indah ketika bulan puasa nantinya. Kebersihan sendiri merupakan salah satu wujud keimanan, bukan?

4. Kenduri dan megengan (kirim2 hantaran makanan; yang di tradisi Aceh harus dengan daging = “meugang”) adalah manifestasi dari paktik do’a bagi semua keluarga sanak saudaranya yang masih hidup dengan saling bersilaturahmi, saling memaafkan dan membantu untuk siap memasuki ibadah puasa dengan rasa yang suci penuh suka cita menjadi kesadaran orang Islam Jawa.

5. Pada acara nyadran bebungaan ditaburkan di atas pusara mereka yang kita cintai, karena itu nyadran juga disebut nyekar (menghantarkan bunga). Indahnya warna-warni bunga dan keharumannya menjadi simbol bagi orang Jawa untuk selalu mengenang semua yang indah dan yang baik dari diri mereka yang telah mendahului.

6. Mandi untuk mensucikan diri dari hadats besar, sehingga lengkaplah kesiapannya menapaki ibadah puasa nantinya.

Dengan demikian, ritus itu memberikan semangat bagi yg masih hidup untuk terus berlomba-lomba demi kebaikan (fastabiqul khoirat). Bahkan di daerah kota santri di pantura, Tradisi megengan di bulan Ruwah yang bisa jadi berlangsung seminggu sebelum Puasa tidak hanya menciptakan relasi kesalehan sosial di masyarakat Jawa, namun tradisi ini juga menumbuhkan relasi putaran perekonomian. Pasar kaget ruwahan seperti halnya Dugderan di Semarang atau Dhandangan di Kudus, muncul sebagai dampak kebutuhan masyarakat pada waktu itu untuk menyemangati anak-anak dan keluarganya, misalnya untuk membelikan sarung, mukena, jilbab dan peci yang baru, kitab Qur’an yang baru, dan kain-kain untuk mengganti mihrab di surau dan masjid desa, atau agar dapat membeli bahan2 kebutuhan selama awal-awal minggu di bulan puasa. (Masih ingat kan dulu pasar tak setiap hari atau setiap jam buka seperti sekarang?)

Di dalam masyarakat Jawa sendiri setiap tindakannya erat sekali dengan simbol-simbol, dalam rangka untuk lebih memaknai suatu ibadahnya. Sebagai misal dalam tradisi megengan biasanya ada hantaran ke tetangga atau kerabat saudara, isi hantaran tradisi megengan di Jawa ini tidak pernah meninggalkan tiga sajian makanan yakni ketan, kolak, dan apem. Makna dari ketiga makanan itu adalah :

1. Ketan yang lengket merupakan simbol mengeratkan tali silaturahmi,

2. Kolak yang manis bersantan mengajak persaudaraan bisa lebih ‘dewasa’ dan barokah penuh kemanisan, dan

3. Apem berarti jika ada yang salah maka sekiranya bisa saling memaafkan. Apem dari kata afwan minhum (arab) yang berarti kata maaf dari mereka. Bahkan di beberapa tempat yang mayoritas warganya bekerja atau bertempat tinggal di luar daerahnya, di dalam tradisi ruwahan juga mengenal Mudik Ruwahan.

Subscribe

Thanks for read our article for update information please subscriber our newslatter below

One Response

  1. Yusuf Gunarso12/05/2016 at 06:18Reply

    tradisi megengan kirim apem menurut saya jangan dirubah, karena kiasan itu akan tetap mengingatkan kita terhadap niat untuk saling bersedekah dan saling "afuwun" antara sesama muslim. Jika ditinggalkan saya kuatir niatannya akan hilang karena tidak ada benda yang mengingatkan kita akan tujuan/niat amalan "megengan"

Tinggalkan Balasan