Hisab Wujudul Hilal Muhammadiyah Menghadapi Masalah Dalil dan Berpotensi Menjadi Pseudosains
(T. Djamaluddin, Profesor Riset Astronomi-Astrofisika, LAPAN, Anggota Badan Hisab Rukyat Kementerian Agama RI)
Mengapa harus mengkritis hisab wujudul hilal (WH, perhitungan munculnya bulan di atas ufuk)? Hisab WH itu menjadi penyebab utama perbedaan penetapan hari raya karena tidak mungkin mencapai titik temu dengan metode rukyat. Bagaimana pun, di masyarakat ada dua metode yang digunakan dalam penetapan awal bulan qamariyah (berbasis bulan), terutama dalam penetapan awal Ramadhan, Syawal, dan Dzulhijjah, yaitu metode rukyat (pengamatan) dan hisab (perhitungan).
Ide awal hisab wujudul hilal sebenarnya sama dengan hisab imkan rukyat (perhitungan kemungkinan hilal bisa diamati) yang mendasarkan pada hadits terlihatnya hilal (Lihat http://tdjamaluddin.wordpress.com/2011/10/25/menuju-titik-temu-hisab-wujudul-hilal-dan-hisab-imkan-rukyat/ ). Hisab wujudul hilal hanyalah bentuk PENYEDERHANAAN ketika kerumitan efek cahaya senja memberikan ketidakpastian. Maka faktor atmosfer yang diperhitungkan hanyalah faktor refraksi (pembiasan) cahaya, sedangkan hamburan cahaya matahari yang menjadi penggangu terlihatnya hilal diabaikan. Tetapi semestinya kemudian tidak berkelanjutan. Penelitian tentang efek cahaya senja yang mempengaruhi ketampakan hilal terus dilakukan dan melahirkan usulan-usulan baru kriteria imkan rukyat yang terus berkembang. Kriteria imkan rukyat yang dalam implementasinya perlu kesepakatan semua pihak, selalu diupayakan menghasilkan keputusan yang sama dengan hasil rukyat. Itulah titik temu antara penganut rukyat dan penganut hisab yang mewujudkan keseragaman kelender dan penetapan hari-hari raya Islam.
Namun dalam perkembangannya, para penganut fanatik hisab wujudul hilal cenderung mengabaikan rukyat, bahkan menganggap rukyat tidak penting. Seolah hisab segalanya dan seolah hisab itu hanya WH. Kenyataan perkembangan astronomi visibilitas hilal tidak sedikit pun dipertimbangkan untuk menyempurnakan kriteria usang WH. Ada dua masalah prinsip dengan WH yang perlu kita kritisi bersama. Pertama terkait dengan dalil dan kedua terkait dengan logika ilmiah astronomis. Logika astronomis telah direduksi oleh fanatisme organisasi menjadi sekadar logika matematis yang lepas dari kontek fisis astronomisnya. Kalau itu terus dipertahankan, logika WH akan terjerumus menjadi pseudosains alias sains semu. Seolah didasarkan oleh logika sains, nyatanya hanya logika pembenaran yang jauh dari metode saintifik.
Masalah Dalil
Pertama, masalah dalil. Para penganut WH selalu menekankan secara syar’i hisab dibolehkan dan bisa menggantikan rukyat. Sekian banyak dalil bisa dikemukakan. Sampai batas ini saya sepakat, karena secara astronomi pun (sebagai dalil aqli-nya), rukyat dan hisab itu setara (Baca jugahttp://tdjamaluddin.wordpress.com/2011/07/28/hisab-dan-rukyat-setara-astronomi-menguak-isyarat-lengkap-dalam-al-quran-tentang-penentuan-awal-ramadhan-syawal-dan-dzulhijjah/ ). Hisab dan rukyat yang kompatibel bisa saling menggantikan. Namun, masalahnya hisab itu hanya menghasilkan parameter posisi bulan dan matahari. Untuk menentukan masuknya awal bulan harus digunakan kriteria (batasan tertentu).
Untuk menentukan awal bulan, kriteria imkan rukyat saat ini lazim digunakan oleh banyak ormas Islam di Indonesia dan banyak negara dalam pembuatan kalender Islam. Memang kriterianya masih beragam, tetapi hal terpenting ada kriteria yang disepakati untuk diimplementasikan menjadi pedoman bersama. Kriteria imkan rukyat adalah tafsir ijtihadi atas pemaknaan “terlihatnya hilal” yang secara astronomi disebut juga kriteria visibilitas hilal. Dalilnya cukup menggunakan dalil-dalil terkait dengan rukyat, karena sesungguhnya hisab hanya alat bantu untuk menggantikan rukyat. Tafsir ijtihadi kriteria imkan rukyat itu mirip dengan kriteria awal-awal waktu shalat terkait dengan posisi matahari. Jadi, kriteria imkan rukyat itu mendefinisikan syarat-syarat bisa terlihatnya hilal (tinggi bulan, umur bulan, jarak sudut bulan-matahari, lebar sabit, dsb) sebagai penentu masuknya awal bulan, mirip dengan syarat ketinggian matahari untuk munculnya fajar dalam penentuan masuknya waktu shubuh. Jadi, kriteria imkan rukyat didukung oleh logika fikih yang jelas.
Namun, kriteria WH hanya didukung oleh interpretasi QS 36:39-40 yang secara astronomi keliru. Ayat itu bermakna, “Dan telah Kami tetapkan bagi bulan manzilah-manzilah, sehingga (setelah Dia sampai ke manzilah yang terakhir) kembalilah dia sebagai bentuk pelepah kurma yang kering. Tidaklah mungkin bagi matahari mendapatkan bulan dan malampun tidak dapat mendahului siang. dan masing-masing beredar pada garis edarnya.” Ayat itu oleh penggagas dan pendukung WH dimaknai sebagai berukt: Awal bulan ditandai dengan wujudnya hilal saat “matahari mulai mengejar bulan” dengan terbenam lebih dahulu pada saat “malam menggantikan siang”. (Rinciannya bisa dibaca di “Hisab Awal Bulan” Saadoe’ddin Djambek halaman 10-12 dan “Pedoman Hisab Muhammadiyah” halaman 78-82). Interpretasi itu terlalu mengada-ada. Ayat itu hanya menjelaskan kondisi fisis bulan dan matahari yang berbeda orbitnya (disebut pada akhir ayat sebagai kesimpulan) sehingga menyebabkan terjadinya fase-fase bulan (manzilah-manzilah) dari sabit, menjadi purnama, dan kembali ke sabit akhir bulan. Jadi, tidak ada dalil qath’i (tegas) tentang kriteria WH, selain interpretasi yang janggal secara astronomi itu.
Kita semua tahu, ibadah harus didasarkan pada dalil yang shahih. Ibadah yang tidak didasari dalil yang shahih tergolong bid’ah. Kalau QS 36:39-40 yang dianggap mendasari kriteria wujudul hilal sangat lemah untuk dijadikan dalil, maka mestinya jangan dipakai karena cenderung mengarah ke bid’ah, setidaknya terjerumus pada bid’ah pelaksanaan ibadah sebelum waktunya. Padahal Muhammadiyah pada awal sejarahnya sangat berhati-hati terhadap TBC (Tahyul, Bid’ah, dan Churafat).
Masalah Logika Pseudosains?
Mari kita simak logika astronomis yang direduksi menjadi sekadar logika matematis dengan pengabaian faktor hamburan cahaya matahari oleh atmosfer yang mengganggu ketampakan hilal. Semestinya itu hanya penyederhanaan model yang tidak digunakan selamanya. Namun karena matinya semangat tajdid (pembaruan) hisab di Muhammadiyah, penyempurnaan model sederhana yang usang itu tidak pernah terjadi. Sebaliknya, muncul semangat “pemujaan” seolah hisab WH adalah “batas akhir ilmu pengetahuan” yang tidak bisa berubah lagi.
Ada tiga tahap perhitungan WH:
- Hitung saat terjadinya ijtimak (newmoon). Info ini bisa diperoleh juga di internet, misalnya http://eclipse.gsfc.nasa.gov/phase/phases2001.html
- Hitung saat terbenamnya matahari di kota rujukan (misalnya Yogyakarya). Ini mudah diperkirakan dengan melihat jadwal maghrib (biasanya maghrib sudah ditambah waktu ikhiyati sekitar 2 menit setelah matahari terbenam) atau bisa cari di internet, misalnya http://www.sunrisesunset.com/custom.asp
Dengan dua data itu kita bisa menentukan dua syarat WH: telah terjadi ijtimak dan ijtimak terjadinya sebelum matahari terbenam. Tinggal satu syarat lagi.
3. Hitung apakah matahari terbenam lebih dahulu daripada bulan, dengan menghitung ketinggian piringan atas bulan saat matahari terbenam.
Nah, pada bagian ini konsep astronomis direduksi menjadi sekadar konsep matematis. Untuk menghitung ketinggian piringan atas bulan, langkah berikut harus dilakukan:
a. Hitung ketinggian titik pusat bulan dengan rujukan pusat bumi (geosentrik).
b. Lakukan koreksi paralaks bulan, karena kita mengamatinya dari permukaan bumi, bukan dari pusat bumi, dengan cara mengurangi nilai ketinggian geosentrik.
c. Lakukan koreksi refraksi atmosfer, karena cahaya hilal melalui atmosfer, dengan cara menambahkan pada nilai ketinggian setelah koreksi paralaks.
Nilai akhir itulah yang dianggap ketinggian “hilal” dalam konsep wujudul hilal, yang sesungguhnya adalah ketinggian piringan atas bulan. Dengan logika matematis seperti itu “hilal” dianggap sudah wujud bila nilainya positif. Interpretasi matematis yang tampak sedikit rumit itu, konsep dasarnya hanyalah “bulan terbenam lebih lambat daripada matahari”. Itu sebabnya yang dihitung piringan atas bulan.
Logika berfikir matematis, tanpa mempertimbangkan aspek fisisnya, dianggap aneh dan rancu secara astronomi. Satu sisi WH ingin mengabaikan faktor rukyat, tidak perlu mengamati dengan mata, yang penting wujud. Apanya yang wujud? Hilal?Bukan hilal. Karena cahaya sabit bulan yang akan tampak sebagai hilal adanya di dekat arah matahari, bukan di piringan atas. Ketika posisi matahari tepat di bawah bulan, justru bulan sabit adanya di piringan bawah, bukan di piringan atas. Kalau begitu penamaan hilal pada “wujudul hilal” sangat rancu.
Lalu apa sih makna wujud? Wujud artinya “ada di atas ufuk”, karena itu perlu bersusah-sudah menghitung koreksi refraksi? Betulkah? Koreksi refraksi dilakukan pada objek astronomi, kalau objek itu ada cahayanya. Sehingga cahaya itu dibiaskan oleh atmosfer yang menyebabkan objek astronomi itu tampak lebih tinggi dari sebenarnya. Kalau tidak ada cahayanya, karena itu hanya piringan atas bulan yang tak bercahaya, lalu apa yang dibiaskan? Kalau begitu koreksi refraksi hanya “gaya-gayaan” supaya dianggap “astronomis”, karena setiap objek astronomi di ufuk selalu dilakukan koreksi refraksi. Ya, memang setiap objek terang astronomi di ufuk selalu dilakukan koreksi refraksi atmosfer untuk memperhitungkan ketampakannya. Astronom selalu memperhitungkan aspek ketampakannya dengan mata atau dengan alat optik. Nah, terkait ketampakan, bukan hanya refraksi yang harus diperhitungkan, kontras dengan cahaya senja akibat hamburan cahaya matahari oleh atmosfer juga harus dipertimbangkan. Namun pendukung WH selalu menghindari masalah kontras karena WH tidak perlu pengamatan.
Para pendukung WH selalu berlogika seolah ilmiah, bahwa yang penting “wujud” tidak harus tampak.Kalau tidak perlu diamati, cukuplah cahaya sabit beberapa saat setelah ijtimak. Itu sudah pasti wujud di permukaan bulan. Silakan lihat simulasi fase-fase/manzilah bulan, pasti memunculkan cahaya sabit walau sangat tipis, beberapa saat setelah ijtimak. Namun, saya yakin ijtimak tidak akan dijadikan rujukan sebagai awal bulan, karena dalil syar’i-nya tidak ada. Tetapi berlogika seolah berbasis astronomi, yang nyatanya rancu dari sudut pandang astronomi, hanya akan menjerumuskan pada logika pseudosains, alias sains semu. Bagaimanapun sains itu harus bisa diterima dan diuji oleh saintis, menurut kaidah saintifik yang baku. Bukan sekedar keyakinan sekelompok orang.
Bersikukuh dengan pseudosains, sah-sah saja sih. Para pendukung astrologi, UFO, dan crop circle yang fanatis dengan pseudosains yang terkait astronomi juga banyak. Nanti akan lahir pseudosains baru dalam daftar pseudosains astronomi, yaitu WH.Sama dengan pseudosains lainnya, potensi meresahkan juga ada, setidaknya WH meresahkan ketika posisi bulan rendah yang menyebabkan perbedaan penentuan awal Ramadhan, Idul Fitri, atau Idul Adha.
—————————–
Arti Kata Pseudosains
Pseudosains atau Ilmu semu atau (Inggris: pseudoscience) adalah sebuah pengetahuan, metodologi, keyakinan, atau praktik yang diklaim sebagai ilmiah tapi tidak mengikuti metode ilmiah. Ilmu semu mungkin kelihatan ilmiah, tapi tidak memenuhi persyaratan metode ilmiah yang dapat diuji dan seringkali berbenturan dengan kesepakatan/konsensus ilmiah yang umum.
Istilah pseudoscience muncul pertama kali pada tahun 1843 yang merupakan kombinasi dari akar Bahasa Yunani pseudo, yang berarti palsu atau semu, serta Bahasa Latin scientia, yang berarti pengetahuan atau bidang pengetahuan. Istilah tersebut memiliki konotasi negatif, karena dipakai untuk menunjukkan bahwa subjek yang mendapat label semacam itu digambarkan sebagai suatu yang tidak akurat atau tidak bisa dipercaya sebagai ilmu pengetahuan. Oleh karena itu, para pembela serta yang mempraktikkan pseudosains biasanya menolak klasifikasi ini. (http://id.wikipedia.org)
jewawut16/08/2012 at 11:38
Kita semua tahu, ibadah harus didasarkan pada dalil yang shahih. Ibadah yang tidak didasari dalil yang shahih tergolong bid’ah. Kalau QS 36:39-40 yang dianggap mendasari kriteria wujudul hilal sangat lemah untuk dijadikan dalil, maka mestinya jangan dipakai karena cenderung mengarah ke bid’ah.
Mau tanya: Kalau ibadah pake dalil qur’an bid’ah ya, harusnya pake dalil apa?
banyak dosa18/08/2012 at 10:21
mbok yang alon-alon yang membaca , ikhlas .. biar faham dan sampai ke hati …
billy21/08/2012 at 12:01
pelajari dulu terminlogo dan etimologi bid’ah…. jangan hanya sekedar menuduh bid’ah.
Thobari17/08/2012 at 14:52
Cari pertentangan trus, mbok ya damai sprti saya gini pa ga bisa..
Abdul20/08/2012 at 01:20
maklum aja lah,,, tp klo udah ke hakekat tak ada pembahasan tuh, hmm… syereat,, syareat,,, maunya bener sendiri,,,
Mas Derajad20/08/2012 at 20:15
@abdul :
Sampean itu menanggapi atau menggumam.
Tidak jelas.
Nuwun.
Abdul20/08/2012 at 20:49
mungkin tdk jelas bagi sampeyan,, tp sangat jelas klo yang sudah tahu maksudnya,,
Mas Derajad20/08/2012 at 21:51
@abdul :
Kalau begitu maksudnya apa?
wahabi21/08/2012 at 17:36
kalau benar ucapan orang@ pengikut habaib bahwasanya kaum wahabi doyan memplesetkan fatwa dan kitab para ulama,,,,okelah misalkan saya anggap ucapan itu benar, akan tetapi anda lebih parah lagi kerusakannya karena membawa-bawa nama Rosululullah yang mulia sedangkan anda berkreasi dalam hal ibadah seenak udel,mungkin anda rasa udel anda lebih baik dari keimanan para khulafaur rasyidin yang tidak satu pun berbuat berkreasi dala ibadah seperti yang anda lakukan!
WOW27/09/2012 at 12:36
@wahabi : pernah baca biografi umar bin khattab? kalo belum baca dulu gih,
Ajisaka22/08/2012 at 09:05
@mas Drajad: mungkin maksudnya pada hakekatnya syareat si Abdul itu gak jelas ngikut siapa?…..wakakakakakakkkkk….
Aboomuhammad El Sukabumi18/10/2014 at 02:36
ASSALAMALAIKUM….
SAYA MEMINTA BAHAN MATERI IMKAN RUKYAT BESERTA DALIL2 PENUNJANGNYA
Anonim01/01/2015 at 04:58
hadis Nabi " Puasalah setelah melihat bulan dan berbukalah setelah melihat bulan, kalau bulan ditutup, maka sempurnakanlah bilangan bulan Sya'ban 30" (H riwayat bukhari – muslim).
Yang dilakukan disini ada dua hal, pertama rukyat (Puasalah setelah melihat bulan dan berbukalah setelah melihat bulan) dan kedua hisab (maka sempurnakanlah bilangan bulan Sya'ban 30). Hisab hanya bisa dilakukan ketika rukyat tidak bisa (kalau bulan ditutup).
Tetapi, ada sebagian saudara kita yang mungkin tidak peduli lagi dengan urutan langkah penentuan awal bulan ini. mereka memaknai rukyat dengan rukyat bi ngilmi alias itungan alias hisab. padahal jelas bahwa hisab berbeda dengan rukyat, sesuai dengan hadis di atas.
wallohu a'lam.