Anjuran Untuk Tahlilan 7 Hari Berturut-turut

Sarkub Share:
Share

Mengapa para ulama mengajarkan kepada umat Islam agar selalu mendoakan keluarganya yang telah meninggal dunia selama 7 hari berturut-turut ?

Telah banyak beredar dari kalangan salafi wahhabi yang menyatakan bahwa tradisi tahlilan sampai tujuh hari diadopsi dari adat kepercayaan agama Hindu. Benarkah anggapan dan asumsi mereka ini?
Sungguh anggapan mereka salah besar dan vonis yang tidak berdasar sama sekali. Justru ternyata tradisi tahlilan selama tujuh hari dengan menghidangkan makanan, merupakan tradisi para sahabat Nabi Muhammad Saw dan para tabi’in.

Imam Ahmad bin Hanbal, seorang ahli hadits kenamaan mengatakan bahwa beliau mendapatkan riwayat dari Hasyim bin al-Qasim, yang mana beliau meriwayatkan dari Al-Asyja’i, yang beliau sendiri mendengar dari Sofyan, bahwa Imam Thawus bin Kaisan radliyallahu ‘anhu pernah berkata :

إن الموتى يفتنون في قبورهم سبعا، فكانوا يستحبون أن يطعم عنهم تلك الأيام

“Sesungguhnya orang mati difitnah (diuji dengan pertanyaan malaikat) didalam quburnya selama 7 hari, dan “mereka” menganjurkan (mensunnahkan) agar memberikan makan (pahalanya) untuk yang meninggal selama 7 hari tersebut”.

Riwayat ini sebutkan oleh Imam Ahmad Ahmad bin Hanbal didalam az-Zuhd [1]. Imam Abu Nu’aim al-Ashbahani (w. 430 H) juga menyebutkannya didalam Hilyatul Auliya’ wa Thabaqatul Ashfiyah.[2] Sedangkan Thawus bin Kaisan al-Haulani al-Yamani adalah seorang tabi’in (w. 106 H) ahli zuhud, salah satu Imam yang paling luas keilmuannya. [3] Ibnu Hajar al-Haitami (w. 974) dalam al-Fatawa al-Fiqhiyyah al-Kubraa dan Imam al-Hafidz as-Suyuthi (w. 911 H) dalam al-Hawil lil-Fatawi mengatakan bahwa dalam riwayat diatas mengandung pengertian bahwa kaum Muslimin telah melakukannya pada masa Rasulullah, sedangkan Rasulullah mengetahui dan taqrir terhadap perkara tersebut. Dikatakan (qil) juga bahwa para sahabat melakukannya namun tidak sampai kepada Rasulullah shallallahu ‘alayhi wa sallam. Atas hal ini kemudian dikatakan bahwa khabar ini berasal dari seluruh sahabat maka jadilah itu sebagai Ijma’, dikatakan (qil) hanya sebagian shahabat saja, dan masyhur dimasa mereka tanpa ada yang mengingkarinya. [4]

Ini merupakan anjuran (kesunnahan) untuk mengasihi (merahmati) mayyit yang baru meninggal selama dalam ujian didalam kuburnya dengan cara melakukan kenduri shadaqah makan selama 7 hari yang pahalanya untuk mayyit. Kegiatan ini telah dilakukan oleh para sahabat, difatwakan oleh mereka. Sedangkan ulama telah berijma’ bahwa pahala hal semacam itu sampai dan bermanfaat bagi mayyit.[5] Kegiatan semacam ini juga berlangsung pada masa berikutnya, sebagaimana yang dikatakan oleh al-Imam al-Hafidz as-Suyuthiy ;

“Sesungguhnya sunnah memberikan makan selama 7 hari, telah sampai kepadaku (al-Hafidz) bahwa sesungguhnya amalan ini berkelanjutan dilakukan sampai sekarang (masa al-Hafidz) di Makkah dan Madinah. Maka secara dhahir, amalan ini tidak pernah di tinggalkan sejak masa para shahabat Nabi hingga masa kini (masa al-Hafidz as-Suyuthi), dan sesungguhnya generasi yang datang kemudian telah mengambil amalan ini dari pada salafush shaleh hingga generasai awal Islam. Dan didalam kitab-kitab tarikh ketika menuturkan tentang para Imam, mereka mengatakan “manusia (umat Islam) menegakkan amalan diatas kuburnya selama 7 hari dengan membaca al-Qur’an’. [6]

Shadaqah seperti yang dilakukan diatas berlandaskan hadits Nabi yang banyak disebutkan dalam berbagai riwayat. [7] Lebih jauh lagi dalam hadits mauquf dari Sayyidina Umar bin Khaththab, disebutkan dalam al-Mathalib al-‘Aliyah (5/328) lil-Imam al-Hafidz Ibnu Hajar al-Asqalani (w. 852) sebagai berikut :

قال أحمد بن منيع حدثنا يزيد بن هارون حدثنا حماد بن سلمة عن علي بن زيد عن الحسن عن الحنف بن قيس قال كنت أسمع عمر رَضِيَ الله عَنْه يقول لا يدخل أحد من قريش في باب إلا دخل معه ناس فلا أدري ما تأويل قوله حتى طعن عمر رَضِيَ الله عَنْه فأمر صهيبا رَضِيَ الله عَنْه أن يصلي بالناس ثلاثا وأمر أن يجعل للناس طعاماً فلما رجعوا من الجنازة جاؤوا وقد وضعت الموائد فأمسك الناس عنها للحزن الذي هم فيه فجاء العباس بن عبد المطلب رَضِيَ الله عَنْه فقال يا أيها الناس قد مات الحديث وسيأتي إن شاء الله تعالى بتمامه في مناقب عمر رَضِيَ الله عَنْه

“Ahmad bin Mani’ berkata, telah menceritakan kepada kami Yazid bin Harun, menceritakan kepada kami Hammad bin Salamah dari ‘Ali bin Zayd, dari al-Hasan, dari al-Ahnaf bin Qays, ia berkata : aku pernah mendengar ‘Umar radliyallahu ‘anh mengatakan, seseorang dari Quraisy tidak akan masuk pada sebuah pintu kecuali seseorang masuk menyertainya, maka aku tidak mengerti apa yang maksud perkataannya sampai ‘Umar radliyallahu ‘anh di tikam, maka beliau memerintahkan Shuhaib radliyallahu ‘anh agar shalat bersama manusia selama tiga hari, dan juga memerintahkan agar membuatkan makanan untuk manusia. Setelah mereka kembali (pulang) dari mengantar jenazah, dan sungguh makanan telah dihidangkan, maka manusia tidak mau memakannya karena sedih mereka pada saat itu, maka sayyidina ‘Abbas bin Abdul Muththalib radliyallahu ‘anh datang, kemudian berkata ; wahai.. manusia sungguh telah wafat .. (al-hadits), dan InsyaAllah selengkapnya dalam Manaqib ‘Umar radliyallah ‘anh”.

Hikmah dari hadits ini adalah bahwa adat-istiadat amalan seperti Tahlilan bukan murni dari bangsa Indonesia, melainkan sudah pernah dicontohkan sejak masa sahabat, serta para masa tabi’in dan seterusnya. Karena sudah pernah dicontohkan inilah maka kebiasaan tersebut masih ada hingga kini.

Riwayat diatas juga disebutkan dengan lengkap dalam beberapa kitab antara lain Ithaful Khiyarah (2/509) lil-Imam Syihabuddin Ahmad bin Abi Bakar al-Bushiriy al-Kinani (w. 840).

وعن الأحنف بن قيس قال: “كنت أسمع عمر بن الحنطاب- رضي الله عنه- يقول: لا يدخل رجل من قريش في باب إلا دخل معه ناس. فلا أدري ما تأويل قوله، حتى طعن عمر فأمر صهيبا أن يصلي بالناس ثلاثا، وأمر بأن يجعل للناس طعاما، فلما رجعوا من الجنازة جاءوا وقد وضعت الموائد فأمسك الناس عنها للحزن الذي هم فيه، فجاء العباس بن عبد المطلب قال: يا أيها الناس، قد مات رسول الله – صلى الله عليه وسلم – فأكلنا بعده وشربنا، ومات أبو بكر فأكلنا بعده وشربنا، أيها الناس كلوا من هذا الطعام. فمد يده ومد الناس أيديهم فأكلوا، فعرفت تأويل قوله “.رواه أحمد بن منيع بسند فيه علي بن زيد بن جدعان

“Dan dari al-Ahnaf bin Qays, ia berkata : aku mendengar ‘Umar bin Khaththab radliyallahu ‘anh mengatakan, seseorang dari Quraisy tidak akan masuk pada sebuah pintu kecuali manusia masuk bersamanya. Maka aku tidak maksud dari perkataannya, sampai ‘Umar di tikam kemudian memerintahkan kepada Shuhaib agar shalat bersama manusia dan membuatkan makanan hidangan makan untuk manusia selama tiga hari. Ketika mereka telah kembali dari mengantar jenazah, mereka datang dan sungguh makanan telah dihidangkan namun mereka tidak menyentuhnya karena kesedihan pada diri mereka. Maka datanglah sayyidina ‘Abbas bin Abdul Muththalib, seraya berkata : “wahai manusia, sungguh Rasulullah shallallahu ‘alayhi wa sallam telah wafat, dan kita semua makan dan minum setelahnya, Abu Bakar juga telah wafat dan kita makan serta minum setelahnya, wahai manusia.. makanlah oleh kalian dari makanan ini, maka sayyidina ‘Abbas mengulurkan tanggan (mengambil makanan), diikuti oleh yang lainnya kemudian mereka semua makan. Maka aku (al-Ahnaf) mengetahui maksud dari perkataannya. Ahmad bin Mani telah meriwayatkannya dengan sanad didalamnya yakni ‘Ali bin Zayd bin Jud’an”.

Disebutkan juga Majma’ az-Zawaid wa Manba’ul Fawaid (5/159) lil-Imam Nuruddin bin ‘Ali al-Haitsami (w. 807 H), dikatakan bahwa Imam ath-Thabrani telah meriwayatkannya, dan didalamnya ada ‘Ali bin Zayd, dan haditsnya hasan serta rijal-rijalnya shahih ; Kanzul ‘Ummal fiy Sunanil Aqwal wa al-Af’al lil-Imam ‘Alauddin ‘Ali al-Qadiriy asy-Syadili (w. 975 H) ; Thabaqat al-Kubra (4/21) lil-Imam Ibni Sa’ad (w. 230 H) ; Ma’rifatu wa at-Tarikh (1/110) lil-Imam Abu Yusuf al-Farisi al-Fasawi (w. 277 H) ; Tarikh Baghdad (14/320) lil-Imam Abu Bakar Ahmad al-Khathib al-Baghdadi (w. 463 H).

Imam Suyuthi Rahimahullah dalam kitab Al-Hawi li al-Fatawi-nya mengtakan :

قال طاووس : ان الموتى يفتنون في قبورهم سبعا فكانوا يستحبون ان يطعموا عنهم تلك الايام

“ Thowus berkata: “Sungguh orang-orang yang telah meninggal dunia difitnah dalam kuburan mereka selama tujuh hari, maka mereka (sahabt Nabi) gemar (bersedekah) menghidangkan makanan sebagai ganti dari mereka yang telah meninggal dunia pada hari-hari tersebut “.

Sementara dalam riwayat lain :

عن عبيد بن عمير قال : يفتن رجلان مؤمن ومنافق, فاما المؤمن فيفتن سبعا واماالمنافق فيفتن اربعين صباحا

“ Dari Ubaid bin Umair ia berkata: “Dua orang yakni seorang mukmin dan seorang munafiq memperoleh fitnah kubur. Adapun seorang mukmin maka ia difitnah selama tujuh hari, sedangkan seorang munafiq disiksa selama empat puluh hari “.

Dalam menjelaskan dua atsar tersebut imam Suyuthi menyatakan bahwa dari sisi riwayat, para perawi atsar Thowus termasuk kategori perawi hadits-hadits shohih.
Thowus yang wafat tahun 110 H sendiri dikenal sebagai salah seorang generasi pertama ulama negeri Yaman dan pemuka para tabi’in yang sempat menjumpai lima puluh orang sahabat Nabi Saw. Sedangkan Ubaid bin Umair yang wafat tahun 78 H yang dimaksud adalah al-Laitsi yaitu seorang ahli mauidhoh hasanah pertama di kota Makkah dalam masa pemerintahan Umar bin Khoththob Ra.

Menurut imam Muslim beliau dilahirkan di zaman Nabi Saw bahkan menurut versi lain disebutkan bahwa beliau sempat melihat Nabi Saw. Maka berdasarkan pendapat ini beliau termasuk salah seorang sahabat Nabi Saw.

Sementara bila ditinjau dalam sisi diroyahnya, sebgaimana kaidah yang diakui ulama ushul dan ulama hadits bahwa: “Setiap riwayat seorang sahabat Nabi Saw yang ma ruwiya mimma la al-majalla ar-ra’yi fiih (yang tidak bisa diijtihadi), semisal alam barzakh dan akherat, maka itu hukumnya adalah Marfu’ (riwayat yang sampai pada Nabi Saw), bukan Mauquf (riwayat yang terhenti pada sahabat dan tidak sampai kepada Nabi Saw).

Menurut ulama ushul dan hadits, makna ucapan Thowus ;

ان الموتى يفتنون في قبورهم سبعا فكانوا يستحبون ان يطعموا عنهم تلك الايام

berkata: “Sungguh orang-orang yang telah meninggal dunia difitnah dalam kuburan mereka selama tujuh hari, maka mereka (sahabt Nabi) gemar (bersedekah) menghidangkan makanan sebagai ganti dari mereka yang telah meninggal dunia pada hari-hari tersebut “, adalah para sahabat Nabi Saw telah melakukannya dan dilihat serta diakui keabsahannya oleh Nabi Saw sendiri.

(al-Hawi) li al-Fatawi, juz III hlm. 266-273, Imam As-Suyuthi).

Maka tradisi bersedekah selama mitung dino / tujuh hari atau empat puluh hari pasca kematian, merupakan warisan budaya dari para tabi’in dan sahabat Nabi Saw, bahkan telah dilihat dan diakui keabsahannya pula oleh beliau Nabi Muhammad Saw.

Wallahu A’lam.

[1] Lihat : Syarah ash-Shudur bisyarhi Hal al-Mautaa wal Qubur ; Syarah a-Suyuthi ‘alaa Shahih Muslim, Hasyiyah as-Suyuthi ‘alaa Sunan an-Nasaa’i dan al-Hafi lil-Fatawi lil-Imam al-Hafidz Jalaluddin as-Suyuthi ; Lawami’ al-Anwar al-Bahiyyah (2/9) lil-Imam Syamsuddin Muhammad as-Safarainy al-Hanbali (w. 1188 H) ; Sairus Salafush Shalihin (1/827) lil-Imam Isma’il bin Muhammad al-Ashbahani (w. 535 H) ; Imam al-Hafidz Hajar al-Asqalani (w. 852 H) didalam al-Mathalibul ‘Aliyah (834).

[2] Lihat : Hilyatul Auliya’ wa Thabaqatul Ashfiyaa’ lil-Imam Abu Nu’aim al-Ashbahaniy : “menceritakan kepada kami Abu Bakar bin Malik, menceritakan kepada kami Abdullah bin Ahmad bin Hanbal, menceritakan kepada kami ayahku (Ahmad bin Hanbal), menceritakan kepada kami Hisyam bin al-Qasim, menceritakan kepada kami al-Asyja’iy, dari Sufyan, ia berkata : Thawus telah berkata : “sesungguhnya orang mati di fitnah (diuji oleh malaikat) didalam kuburnya selama 7 hari, maka ‘mereka’ menganjurkan untuk melakukan kenduri shadaqah makan yang pahalanya untuk mayyit selama 7 hari tersebut”.

[3] Lihat : al-Wafi bil Wafiyaat (16/236) lil-Imam ash-Shafadi (w. 764 H), disebutkan bahwa ‘Amru bin Dinar berkata : “aku tidak pernah melihat yang seperti Thawus”. Dalam at-Thabaqat al-Kubra li-Ibni Sa’ad (w. 230 H), Qays bin Sa’ad berkata ; “Thawus bagi kami seperti Ibnu Siirin (sahabat) bagi kalian”.

[4] Lihat ; al-Fatawa al-Fiqhiyyah al-Kubra (2/30-31) lil-Imam Syihabuddin Syaikhul Islam Ibnu Hajar al-Haitami ; al-Hawi al-Fatawi (2/169) lil-Imam al-Hafidz Jalaluddin as-Suyuthiy.

[5] Lihat : Syarah Shahih Muslim (3/444) li-Syaikhil Islam Muhyiddin an-Nawawi asy-Syafi’i.

[6] Lihat : al-Hawi al-Fatawi (2/179) lil-Imam al-Hafidz Jalaluddin as-Suyuthi.

(Dikutip dan di tata ulang seperlunya dari Abi Firas dan Ibn Abdillah Al-Katiby)

Subscribe

Thanks for read our article for update information please subscriber our newslatter below

78 Responses

  1. zen30/12/2011 at 07:01Reply

    ALHAMDULILLAH WASSYUKRULILLAH bertambah lagi ilmuku dan kemantapanku ALLAHUMMA SHALLI ‘ALA SAYYIDINA MUHAMMAD WAALIH WAASHABIH

  2. zaki05/01/2012 at 02:40Reply

    Realitas org lbh mementingkan tahlilan ampe 1-7,ke-40,100,1000 walapun ngutang sana-sini stlh itu bingung mau nnayur pake apa..?? dri pada melaksanakan sholat 5 wktu berjama`ah ini adl dakwah yg harus kita sampaikan kpd masyarakat tntg kebodohan mrk…setuju

    • Author

      Luqman Firmansyah05/01/2012 at 11:46Reply

      mau tahlilan gak tahlilan yo silahkan. lha wong ada tamu yg ikut membacakan yasin dan tahlil kok kita biarin? ya gak etis n gak sopan. ya minimal kasih minum atau apalah yg penting adab terhadap tamu tetap terjaga. lha yang tahlilan juga pada tetep sholat 5 waktu kok. dari pada wahabi yg meski sholatnya 5 waktu tapi kok medit ama tamu,, udah gitu kalo dikasih berkat atau tumpengan hasil dari tahlilan juga dimakan kok, haha

    • ANTI KAUM SAWAH (Salafy WAHABI)13/05/2012 at 20:38Reply

      Aku pergi tahlil, dia bilang itu amalan jahil. Aku baca sholawat burdah, dia bilang itu bid’ah. Aku bertawasul dgn baik, dia bilang aku musriQ. Aku ikut majlis zikir, dia bilang aku kafir. Aku sholat pakai lafadz niat, dia bilang itu sesat. Aku mengadakan maulid, dia bilang tak ada dalil yg kuat. Aku gemar berziarah, dia bilang aku aLap2 berkah. Aku mengadakan selametan, dia bilang aku pemuja setan. Aku pergi yasinan, dia bilang itu tak memba wa kebaikan. aku ikuti tasawuf, sufi, malah dia suruh menjauhi. Terus aku harus bagaimana ? Apa aku hrs ikuti kalian ?. Pakai celana cingkrang, biar kalian senang. Panjangkan jenggot biar dikira ahli ijtihat. sering menghujat, biar dikira hebat, Sering mencela, biar dikira mulia. Ya ALLOH, Kami pasrah pd Mu..

  3. Hamdi05/01/2012 at 02:43Reply

    Asawaja bukan identika dg ahlul bid`ah…tpi lbh pada penerapan pemahaman alquran dan assunnah, serta pemahaman para sahabat yg mndpt petunjuk

    • Author

      Luqman Firmansyah05/01/2012 at 11:42Reply

      katanya kembali pada alqur’an dan sunnah dgn pemahaman para sahabat nabi, eh setelah diteliti lebih jauh ternyata wahabi nyuruh kembali pada pemahaman muhammad bin abdul wahhab, ibn taimiyah, ibn baz, al-albani, al-utsaimin, dll. aneh!!

  4. Puspit01/02/2012 at 04:01Reply

    Upacara slametan diadopsi oleh para da’i terdahulu dari upacara kepercayaan Animisme, agama Budha dan Hindu. Menurut kepercayaan Animisme, Hinduisme dan Budhisme bila seseorang meninggal dunia maka ruhnya akan datang kerumah pada malam hari mengunjungi keluarganya. Jika dalam rumah tadi tidak ada orang ramai yang berkumpul-kumpul dan mengadakan upacara-upacara sesaji, seperti membakar kemenyan, dan sesaji terhadap yang ghaib atau ruh-ruh ghaib, maka ruh orang mati tadi akan marah dan masuk (sumerup) ke dalam jasad orang yang masih hidup dari keluarga si mati.

    • Author

      Wong Tegal01/02/2012 at 05:05Reply

      Sungguh anggapan WAHABI salah besar dan vonis yang tidak berdasar sama sekali. Justru ternyata tradisi tahlilan selama tujuh hari dengan menghidangkan makanan, merupakan tradisi para sahabat Nabi Muhammad Saw dan para tabi’in.
      Imam Ahmad bin Hanbal, mendapatkan riwayat dari Hasyim bin al-Qasim, yang mana beliau meriwayatkan dari Al-Asyja’i, yang beliau sendiri mendengar dari Sofyan, bahwa Imam Thawus bin Kaisan radliyallahu ‘anhu pernah berkata :

      إن الموتى يفتنون في قبورهم سبعا، فكانوا يستحبون أن يطعم عنهم تلك الأيام

      “Sesungguhnya orang mati difitnah (diuji dengan pertanyaan malaikat) didalam quburnya selama 7 hari, dan “mereka” menganjurkan (mensunnahkan) agar memberikan makan (pahalanya) untuk yang meninggal selama 7 hari tersebut”.

    • suulsalafy31/05/2012 at 15:19Reply

      bisa benar bisa salah…tapi aku ambil baiknya saja…daripada ngalor ngidul menfitnah dan mengkafirkan saudara sendiri…kalo ada 1 ustadz bertanda dijidat mengkafirkan 10 saja sahabat nabi atau beberapa ulama terdahulu atau 1000 saudaranya jaman sekarang logika saya kira2 yang kafir siapa ya…???? jika salah seorang muslim berkata hai kafir…maka salah satunya jatuh dalam kekafiran…naudzubika mindzalik…..

  5. Puspit01/02/2012 at 04:06Reply

    Kebanyakan orang lebih mementingkan tahlilan daripada kewajiban sholat lima waktu.

    • Author

      Wong Tegal01/02/2012 at 05:11Reply

      alhamdulillah warga sarkubiyyin nahdliyyin tidak pernah ada yang bilang seperti itu. cuma orang2 dengki dan hasud macam WAHABI saja yang suka nuduh begitu. ^_^

    • DADANG18/10/2013 at 06:51Reply

      yeeeh masa g bisa ngebedain mana yg wajib n mana yg sunnah, sebelum ngerjain yg sunnah yg wajib kita kerjain dulu dong, trus tau darimana klo kita ngeremehin yg wajib wong ikut tahlilan ajja ga pernah…. hadeuh jangan terus bersu’udzon ria ah ….

  6. Filosofi13/02/2012 at 13:53Reply

    hehe.. baru tahu klo ada hadistnya.. boleh tahu tuh buku hadistnya dicetak oleh siapa dan tahun berapa.. trus halaman berapa dalil itu tertulis??

    satu lagi.. klo memang itu dilakukan dan dianjurkan oleh Nabi dan Sahabatnya.. kenapa di NEGARA ASALNYA yaitu ARAB tidak ada acara seperti itu?? ABA saya TKI di sana dan beliau tahu benar bila ada kematian atau sejenisnya di sana.. monggo penjelasan admin.. mungkin lebih tahu ^_^

    • suulsalafy31/05/2012 at 15:28Reply

      ya wong ora doyan tahlilan suruh tahlilan kepriben to anak TKI ini…lagian makanan yang namanya tahlilan adanya di indonesia……orang penyakitan diabet suruh makan makanan yang manis2 tiap hari seminggu berturut2 ya nggak mau lah…bisa kolaps…arab lagi arab lagi….ulama itu bukan hanya ada di arab….seperti juga pelacurab bukan hanya ada di puncak di negara arab juga subur…tapi yang kebangetan orang arab nyari pelacur sampe ke puncak…orang indon kere2 nggak bakal cari begenggek sampe ke arab….

  7. nurtika25/02/2012 at 12:55Reply

    Orang hindu mengatakan bhw sebagian umat islam ibadahnya hampir mirip dg hindu…

    • Mas Derajad13/05/2012 at 02:41Reply

      @Nurtika Apa ada yang salah dengan kata “mirip” ?

      • tomi11/02/2016 at 12:06Reply

        Menyerupakan ibadah dengan ibadah agama lain kok antum bangga ih. Ngaco nich..

  8. nurtika25/02/2012 at 12:58Reply

    website ini byk kebohongan hampir 60% daripada kebenarnya..bagaiman umat bisa percaya…LUQMAN FIRMAN lebih condong n percaya 100% kpd ajaran SUFi dn Ke NUan dripada mengikuti Rosulalah, para sahabat dan Tabi`in

    • Fajar Septiadi28/04/2012 at 07:54Reply

      Ya saya setuju, web ini berslogan santun berdakwah, namun terlihat sangat benci dan menghina terhadap para ulama yg hendak memurnikan ajaran Islam sesuai dengan al-Qur’an dan as-Sunnah. Hendaknya semua dikembalikan pada sumber utama rujukan Islam, yaitu al-Qur’an dan as-Sunnah

      • Author

        Wong Tegal28/04/2012 at 12:37Reply

        bukan membenci atau menghina. tapi tanpa kami hina pun ajaran wahabi memang sudah lebih dulu “hina”. oleh karena itu kami memberikan pemahaman kepada khalayak agar mewaspadai gerak-gerik ajaran menyimpang wahabi agar bisa membentengi diri dari ajaran hina tsb.

        anda katakan menghina ulama? siapa coba yg menghina? Syaikh anda yg hobi mencaci maki ulama mau dikemanain? http://www.sarkub.com/2011/albani-yang-hobi-mencaci-maki-ulama/

    • Mas Derajad13/05/2012 at 02:46Reply

      @Fajar Septiadi dan Nurtika Para Ulama’ NU bil khusus ulama’ Sufi adalah Pengikut Setia ajaran Rasulullah Muhammad S.A.W. Kalau saudara punya bukti kebenaran ungkapkan saja. Tapi jangan berbohong atau memotong-motong Kitab atau malah pendapat sendiri tanpa bukti.

      Kebenaran hakiki hanya milik Allah.

      Hamba Allah yang dhaif

      Dzikrul Ghafilin bersama Mas Derajad

    • muhammad05/09/2012 at 12:08Reply

      Bagian man yg bohng??

  9. Fajar Septiadi28/04/2012 at 07:46Reply

    Dari majalah al-Mawa’idz yang diterbitkan oleh NU pada tahun 30-an, menyitir pernyataan Imam al-Khara’ithy yang dilansir oleh kitab al-Aqrimany disebutkan: “al-Khara’ithy mendapat keterangan dari Hilal bin Hibban r.a, beliau berkata: ‘Penghidangan makanan oleh keluarga mayit merupakan bagian dari perbuatan orang-orang jahiliyah’. kebiasaan tersebut oleh masyarakat sekarang sudah dianggap sunnah, dan meninggalkannya berarti bid’ah, maka telah terbalik suatu urusan dan telah berubah suatu kebiasaan’. (al-Aqrimany dalam al-Mawa’idz; Pangrodjong Nahdlatoel ‘Oelama Tasikmalaya, Th. 1933, No. 18, hal.286)

    Bagaimana tanggapan tim Sarkub???

  10. Fajar Septiadi28/04/2012 at 07:48Reply

    Muktamar NU ke-1 di Surabaya tanggal 13 Rabiuts Tsani 1345 H/21 Oktober 1926 mencantumkan pendapat Ibnu Hajar al-Haitami dan menyatakan bahwa selamatan kematian adalah bid’ah yang hina namun tidak sampai diharamkan dan merujuk juga kepada Kitab Ianatut Thalibin.

    • Author

      Wong Tegal28/04/2012 at 12:22Reply

      dalam selebaran yg diterbitkan oleh kalangan Wahabi, mereka MENGHARAMKAN TAHLILAN. hayooo!! lihat nih http://www.sarkub.com/2011/benarkah-suguhan-makanan-kematian-haram/

    • Author

      Wong Tegal28/04/2012 at 12:32Reply

      Apakah hanya kalimat itu saja yg tertulis di Muktamar NU tsb? Kalau demikian .. ini adalah fatwa gunting tambal, karena tidak menuliskan keseluruhan fatwa. Hanya mengambil sebagian kalimat yang mendukung (menguntungkan) pendapatnya saja, kemudian membuang yg lainnya. Maka, makna fatwa (tergunting) justru bertentangan dengan maksud fatwa asli.
      ini fatwa aslinya:
      Menyediakan makanan pada hari wafat atau hari ketiga atau hari ketujuh itu hukumnya makruh, apabila harus dengan cara berkumpul bersama-sama dan pada hari-hari tertentu, sedang hukum makruh tersebut tidak menghilangkan pahala sedekah itu.

      Bahkan fatwa yg asli tak ada tertulis kata “bid’ah yang hina” sama sekali. Dari mana kata2 ini dikutip? PASTI DARI Orang licik yang anda sebut sebagai “MANTAN KYAI NU” ya?

      selengkapnya akan kami bahas dalam artikel baru. tunggu saja

      • Fajar Septiadi01/05/2012 at 06:26Reply

        Maaf Saudaraku Wong Tegal, kata bid’ah yg hina tsb adalah pendapat dari Kitab I’anatut Thalibin yg jadi rujukan fatwa, coba dilihat lagi fatwanya pada bagian rujukan

  11. Fajar Septiadi29/04/2012 at 05:25Reply

    Bagaimana tanggapan saudaraku (Tim Sarkub/Wong Tegal) dengan yg berikut ini?

    Al Mawa’idz merupakan sebuah nama bagi majalah yang dikelola oleh organisasi Nahdatul Ulama Tasikmalaya, terbit sekitar pada tahun 30-an. Di dalam majalah ini, pihak NU (yang biasa dikenal sebagai pendukung acara prevalensi perjamuan tahlilan) menyatakan sikap yang sebenarnya terhadap kedudukan hukum prevalensi tersebut. Berikut kutipannya :

    Tjindekna ngadamel rioengan di noe kapapatenan teh, ngalanggar tiloe perkara :

    1. Ngabeuratkeun ka ahli majit; enja ari teu menta tea mah, orokaja da ari geus djadi adat mah sok era oepama henteu teh . Geura oepama henteu sarerea mah ?
    2. Ngariweuhkeun ka ahli majit; keur mah loba kasoesah koe katinggal maot oge, hajoh ditambahan.
    3. Njoelajaan Hadits, koe hadits mah ahli majit noe koedoe di bere koe oerang, ieu mah hajoh oerang noe dibere koe ahli majit.

    Kesimpulannya mengadakan perjamuan di rumah keluarga mayat yang sedang berduka cita, berarti telah melanggar tiga hal :

    1. Membebani keluarga mayat, walaupun tidak meminta untuk menyuguhkan makanan, namun apabila sudah menjadi kebiasaan, maka keluarga mayat akan menjadi malu apabila tidak menyuguhkan makanan. Tetapi coba kalau semua orang tidak melakukan hal serupa itu ?

    2. Merepotkan keluarga mayat, sudah kehilangan anggota keluarga yang dicintai, ditambah pula bebannya.

    3. Bertolak belakang dengan hadits. Menurut hadits justru kita tetangga yang harus mengirimkan makanan kepada keluarga mayat yang sedang berduka cita, bukan sebaliknya.

    Kemudian ditempat lain :

    Tah koe katerangan Sajjid Bakri dina ieu kitab I’anah geuning geus ittifaq oelama-oelama madhab noe 4 kana paadatan ittiehadz tho’am (ngayakeun kadaharan) ti ahli majit noe diseboetkeun njoesoer tanah, tiloena, toejoehna dj.s.t. njeboetkeun bid’ah moenkaroh.

    Nah, berdasarkan keterangan Sayid Bakr di dalam kitab I’anah tersebut, ternyata para ulama dari 4 mazhab telah menyepakati bahwa kebiasaan keluarga mayit mengadakan perjamuan yang biasa disebut dengan istilah Nyusur Tanah, tiluna (hari ketiganya), tujuhnya (hari ketujuhnya), dst, merupakan perbuatan bid’ah yang tidak disukai agama.

    Selanjutnya :

    Koeninga koe ieu toekilan-toekilan noe ngahoekoeman bid’ah moenkaroh, karohah haram teh geuning oelama-oelama ahli soennah wal Djama’ah, lain bae Attobib, Al Moemin, Al Mawa’idz. Doeka anoe ngahoekoeman soennat naha ahli Soennah wal Djama’ah atawa sanes ?

    Melalui kutipan-kutipan tersebut, diketahui bahwa sebenarnya yang menghukumi bid’ah mungkarah itu ternyata ulama-ulama Ahlu Sunnah wal Jama’ah, bukan hanya majalah Attobib, Al Moemin, Al Mawa’idz. Tidak tahu siapa yang menghukumi sunnat, apakah Ahlu Sunnah wal Jama’ah atau bukan ?

    Berdasarkan kutipan-kutipan tersebut, dapat diambil kesimpulan bahwa warga Nu pada waktu itu sepakat pandangannya terhadap hukum prevalensi perjamuan tahlilan, yaitu bid’ah yang dimakruhkan dengan makruh tahrim, (menjadi haram karena sebab lain) apabila biaya penyelenggaraan acara tersebut berasal dari tirkah mayit (peninggalan mayit) yang di dalamnya terdapat ahli waris yang belum baligh atau mahjur ‘alaihi ( di bawah pengampuan/curatel).

    Demikian isi majalah tersebut. [Al Mawa’dz; Pangrodjong Nahdlatoel Oelama Tasikmalaya (Tasikmalaya: Nahdlatoel Oelama, 1933)]

  12. Mas Derajad13/05/2012 at 02:12Reply

    @Fajar Septiadi Saudara sudah memutarbalikkan fakta terkait kutipan dari Kitab I’anatut Thalibin, setelah kami baca ulang kitab tersebut dan kami juga baca artikel dari Ikhwan Kami Warga NU juga, berikut kutipan dan jawaban kami :

    Nukilan-Nukilan Palsu Dari Kitab I’anatuth Thalibin
    Posted on January 31, 2010 by Admin

    1 Votes

    التفقه في الدين من اختاره من العباد، وأشهد أن لا إله الله، شهادةتدخلنا دار الخلود، وأشهد أن سيدنا محمدا ورسوله، صاحب المقام المحموم، صلى الله وسلم عليه وعلى آله وأصحابهالامجاد صلاة وسلاما أفوز بهما يوم المعاد. وبعد
    PENGANTAR

    Mengusik amalan seseorang Muslim dengan menukil pernyataan Ulama dari kitab Muktabar secara serampangan (mengguting-gunting kalimat) merupakan perbuatan keji dan sangat tidak berakhlak. Selain termasuk telah menyembunyikan kebenaran, juga termasuk telah memfitnah Ulama yang perkataannya telah mereka nukil, merendahkan kitab Ulama dan juga telah menipu kaum Muslimin. Dakwah mereka benar-benar penuh kepalsuan dan kebohongan. Mengatas namakan Madzhab Syafi’I untuk menjatuhkan amalan Tahlil, sungguh mereka keji juga dengki.

    Kitab I’anatuth Thalibin (إعانة الطالبين) adalah kitab Fiqh karangan Al-‘Allamah Asy-Syekh Al-Imam Abi Bakr Ibnu As-Sayyid Muhammad Syatha Ad-Dimyathiy Asy-Syafi’i, yang merupakan syarah dari kitab Fathul Mu’in (فتح المعين لشرح قرة العين بمهمات الدين لزين الدين بن عبد العزيز المليباري الفنانى). Kitab ini sangat masyhur dikalangan masyarakat Indonesia dan juga salah satu kitab yang menjadi rujukan pengikut madzhab Syafi’iyyah dalam ilmu Fiqh diseluruh dunia. Namun, sayang, ada sebagain kecil kalangan yang tidak bermadzhab Syafi’i (anti Madzhab), mengaku pengikut salaf, mencomot-comot isi kitab ini untuk mengharamkan Tahlilan yang merupakan amalan sudah masyhur dikalangan pengikut madzhab Syafi’i. Bukannya berdakwah secara benar namuan yang mereka lakukan, malah menunjukkan kedengkian hati mereka dan ketidak jujuran mereka dalam menukil perkataan ulama. Ini hanya salah satu kitab yang kami coba luruskan dari nukilan tidak jujur yang telah mereka lakukan, masih banyak lagi kitab Ulama yang dicomot serampangan oleh mereka, seperti kitab Al-Umm (Imam Syafi’i), Al-Majmu’ Syarah Muhadzab Imam An-Nawawi, Mughni al-Muhtaaj ilaa Ma’rifati Ma’aaniy Alfaadz Al Minhaj, dan kitab-kitab ulama lainnya.
    PEMBAHASAN

    Setidak-tidaknya ada 5 pernyataan yang kami temukan, yang “mereka” comot dari kitab I’anah at-Thalibin secara tidak jujur dan memelintir (mensalah-pahami) maksud dari pernyataan tersebut untuk mengharamkan Tahlilan. Ini banyak dicantumkan disitus-situs mereka dan dikutip oleh sesama mereka secara serampangan pula. Berikut ini yang mereka nukil secara tidak jujur.
    1. Sumber : http://ibnumaulay.multiply.com/journal/item/3

    “Ya, apa yang dilakukan manusia, yakni berkumpul di rumah keluarga si mayit, dan dihidangkan makanan, merupakan bid’ah munkarah, yang akan diberi pahala bagi orang yang mencegahnya, dengannya Allah akan kukuhlah kaidah-kaidah agama, dan dengannya dapat mendukung Islam dan muslimin” (I’anatuth Thalibin, 2/165)

    Teks arabnya ;

    (نعم، ما يفعله الناس من الاجتماع عند أهل الميت وصنع الطعام، من البدع المنكرة التي يثاب على منعها والي الامر)
    2. Sumber : http://ibnumaulay.multiply.com/journal/item/3

    “Dan apa yang dibiasakan manusia tentang hidangan dari keluarga si mayit yang disediakan untuk para undangan, adalah bid’ah yang tidak disukai agama, sebagaimana datangnya para undangan ke acara itu, karena ada hadits shahih yang diriwayatkan dari Jarir Radhiallahu ‘Anhu: Kami menganggap bahwa berkumpul di rumah keluarga si mayit, mereka menghidangkan makanan setelah penguburannya, adalah termasuk nihayah (meratap) –yakni terlarang.”

    Teks arabnya ;

    وما اعتيد من جعل أهل الميت طعاما ليدعوا الناس إليه، بدعة مكروهة – كإجابتهم لذلك، لما صح عن جرير رضي الله عنه. كنا نعد الاجتماع إلى أهل الميت وصنعهم الطعام بعد دفنه من النياحة
    3. Sumber : http://ibnumaulay.multiply.com/journal/item/3

    “Dalam Kitab Al Bazaz:Dibenci menyediakan makanan pada hari pertama, tiga, dan setelah tujuh hari, dan juga mengirim makanan ke kuburan secara musiman.”

    Teks arabnya ;

    وفي البزاز: ويكره اتخاذ الطعام في اليوم الاول والثالث وبعد الاسبوع، ونقل الطعام إلى القبر في المواسم
    4. Sumber : http://fauzyachmed.blogspot.com/2009/10/bismillah-assalaamualaikum-wa.html

    “Dan diantara bid’ah yang munkarat yang tidak disukai ialah apa yang biasa dikerjakan orang tentang cara penyampaian rasa duka cita, berkumpul dan acara hari keempat puluh, bahkan semua itu adalah haram. (I’anatut Thalibin, Sarah Fathul Mu’in, Juz 2 hal. 145-146)
    5. Sumber : http://fauzyachmed.blogspot.com/2009/10/bismillah-assalaamualaikum-wa.html

    “Dan tidak ada keraguan sedikitpun, bahwa mencegah umat dari bid’ah munkarat ini adalah menghidupkan Sunnah Nabi SAW , mematikan BID’AH, membuka seluas-luasnya pintu kebaikan dan menutup serapat-rapatnya pintu-pintu keburukan, karena orang-orang memaksa-maksa diri mereka berbuat hal-hal yang akan membawa kepada hal yang diharamkan. (I’anatut Thalibin, Sarah Fathul Mu’in, Juz 2 hal. 145-146)

    Itulah yang ‘mereka’ comot secara serampangan dan menterjemahkannya dengan memelintir maknanya. Kami akan mulai membahas point-point diatas, sebagai berikut :

    Point Pertama (1)

    Nukilan diatas merupakan bentuk ketidakjujuran, dimana orang yang membacanya akan mengira bahwa berkumpul di tempat ahlu (keluarga) mayyit dan memakan makanan yang disediakan adalah termasuk bid’ah Munkarah, padahal bukan seperti itu yang dimaksud oleh kalimat tersebut. ‘Mereka’ telah menggunting (menukil secara tidak jujur) kalimat tersebut sehingga makna (maksud) yang dkehendaki dari kalimat tersebut menjadi kabur. Padahal, yang benar, bahwa kalimat tersebut merupakan jawaban atas pertanyaan yang ditanyakan sebelumnya. Itu sebabnya, kalimat yang ‘mereka’ nukil dimulai dengan kata “na’am (iya)”.

    Berikut teks lengkapnya;

    وقد اطلعت على سؤال رفع لمفاتي مكة المشرفة فيما يفعله أهل الميت من الطعام. وجواب منهم لذلك. (وصورتهما). ما قول المفاتي الكرام بالبلد الحرام دام نفعهم للانام مدى الايام، في العرف الخاص في بلدة لمن بها من الاشخاص أن الشخص إذا انتقل إلى دار الجزاء، وحضر معارفه وجيرانه العزاء، جرى العرف بأنهم ينتظرون الطعام، ومن غلبة الحياء على أهل الميت يتكلفون التكلف التام، ويهيئون لهم أطعمة عديدة، ويحضرونها لهم بالمشقة الشديدة. فهل لو أراد رئيس الحكام – بما له من الرفق بالرعية، والشفقة على الاهالي – بمنع هذه القضية بالكلية ليعودوا إلى التمسك بالسنة السنية، المأثورة عن خير البرية وإلى عليه ربه صلاة وسلاما، حيث قال: اصنعوا لآل جعفر طعاما يثاب على هذا المنع المذكور ؟

    “Dan sungguh telah aku perhatikan mengeni pertanyaan yang ditanyakan (diangkat) kepada para Mufti Mekkah (مفاتي مكة المشرفة) tentang apa yang dilakukan oleh Ahlu (keluarga) mayyit perihal makanan (membuat makanan) dan (juga aku perhatikan) jawaban mereka atas perkara tersebut. Gambaran (penjelasan mengenai keduanya ; pertanyaan dan jawaban tersebut) yaitumengenai (bagaimana) pendapat para Mufti yang mulya (المفاتي الكرام) di negeri “al-Haram”, (semoga (Allah) mengabadikan manfaat mareka untuk seluruh manusia sepanjang masa) , tentang kebiasaan (‘urf) yang khusus di suatu negeri bahwa jika ada yang meninggal , kemudian para pentakziyah hadir dari yang mereka kenal dan tetangganya, lalu terjadi kebiasaan bahwa mereka (pentakziyah) itu menunggu (disajikan) makanan dan karena rasa sangat malu telah meliputi ahlu (keluarga mayyit) maka mereka membebani diri dengan beban yang sempurna (التكلف التام), dan (kemudian keluarga mayyit) menyediakan makanan yang banyak (untuk pentakziyah) dan menghadirkannya kepada mereka dengan rasa kasihan. Maka apakah bila seorang ketua penegak hukum yang dengan kelembutannya terhadap rakyat dan rasa kasihannya kepada ahlu mayyit dengan melarang (mencegah) permasalahan tersebut secara keseluruhan agar (manusia) kembali berpegang kepada As-Sunnah yang lurus, yang berasal dari manusia yang Baik (خير البرية) dan (kembali) kepada jalan Beliau (semoga shalawat dan salam atas Beliau), saat ia bersabda, “sediakanlah makanan untuk keluarga Jakfar”, apakah pemimpin itu diberi pahala atas yang disebutkan (pelarangan itu) ?

    أفيدوا بالجواب بما هو منقول ومسطور. (الحمد لله وحده) وصلى الله وسلم على سيدنا محمد وعلى آله وصحبه والسالكين نهجهم بعده. اللهم أسألك الهداية للصواب. نعم، ما يفعله الناس من الاجتماع عند أهل الميت وصنع الطعام، من البدع المنكرة التي يثاب على منعها والي الامر، ثبت الله به قواعد الدين وأيد به الاسلام والمسلمين.
    “Penjelasan sebagai jawaban terhadap apa yang telah di tanyakan, (الحمد لله وحده) وصلى الله وسلم على سيدنا محمد وعلى آله وصحبه والسالكين نهجهم بعده, Ya .. Allah aku memohon kepada-Mu supaya memberikan petunjuk kebenaran”.

    “Iya.., apa yang dilakukan oleh manusia dari berkumpul ditempat ahlu (keluarga) mayyit dan menghidangkan makanan, itu bagian dari bid’ah munkarah, yang diberi pahala bagi yang mencegahnya dan menyuruhnya. Allah akan mengukuhkan dengannya kaidah-kaidah agama dan mendorong Islamd serta umat Islam”

    Betapa apa yang dikehendaki dari pernyataan diatas telah keluar konteks saat pertanyaannya dipotong sebagaimana nukilan mereka dan ini yang mereka gunakan untuk melarang Tahlilan. Ketidak jujuran ini yang mereka dakwahkan untuk menipu umat Islam atas nama Kitab I’anatuth Thalibin dan Al-‘Allamah Asy-Syekh Al-Imam Abi Bakr Ibnu As-Sayyid Muhammad Syatha Ad-Dimyathiy Asy-Syafi’i.

    Dalam pertanyaan dan jawaban diatas, yang sebenarnya termasuk bagian dari bid’ah Munkarah adalah kebiasaan pentakziyah menunggu makanan (بأنهم ينتظرون الطعام) di tempat ahlu (keluarga) yang terkena mushibah kematian, akal sehat pun akan menganggap bahwa kebiasaan itu tidak wajar dan memang patut untuk di hentikan. Maka, sangat wajar juga bahwa Mufti diatas menyatakan kebiasaan tersebut sebagai bid’ah Munkarah, dan penguasa yang menghentikan kebiasaan tersebut akan mendapat pahala. Namun, karena keluasan ilmu dari Mufti tersebut tidak berani untuk menetapkan hokum “Haram” kecuali jika memang ada dalil yang jelas dan sebab-sebabnya pun luas.

    Tentu saja, Mufti tersebut kemungkinan akan berkata lain jika membahasnya pada sisi yang lebih umum (bukan tentang kasus yang ditanyakan), dimana pentakziyah datang untuk menghibur, menyabarkan ahlu (keluarga) mayyit bahkan membawa (memberi) bantuan berupa materi untuk pengurusan mayyit dan untuk menghormati pentakziyah yang datang.

    Pada kegiatan Tahlilan orang tidak akan datang ke rumah ahlul mushibah dengan kehendaknya sendiri, melainkan atas kehendak tuan rumah. Jika tuan rumah merasa berat tentu saja tidak perlu mengadakan tahlilan dan tidak perlu mengundang. Namun, siapa yang lebih mengerti dan paham tentang “memberatkan” atau “beban” terhadap keluarga mayyit sehingga menjadi alasan untuk melarang kegiatan tersebut, apakah orang lain atau ahlu (keluarga) mayyit itu sendiri ? tentu saja yang lebih tahu adalah ahlu (keluarga) mayyit. Keinginan ahlu (keluarga) mayyit untuk mengadakan tahlilan dan mengundang tetangga atau orang lain untuk datang ke kediamannya merupakan pertanda ahlu (keluarga) mayyit memang menginginkannya dan tidak merasa keberatan, sementara para tetangga (hadirin) yang diundang sama sekali tidak memaksa ahlu (keluarga) mayyit untuk mengadakan tahlilan. Ahlu (keluarga) mayyit mengetahui akan dirinya sendiri bahwa mereka mampu dan dengan senang hati beramal untuk kepentingan saudaranya yang meninggal dunia, sedangkan hadirin hanya tahu bahwa mereka di undang dan memenuhi undangan ahlu (keluarga) mayyit.

    Sungguh betapa sangat menyakitkan hati ahlu (keluarga) mayyit jika undangannya tidak dipenuhi dan bahkan makanan yang dihidangkan tidak dimakan atau tidak disentuh. Manakah yang lebih utama, melakukan amalan yang “dianggap makruh” dengan menghibur ahlu (keluarga) mayyit, membuat hati ahlu (keluarga) mayyit senang atau menghindari “yang dianggap makruh” dengan menyakiti hati ahlu (keluarga) mayyit ? Tentu saja akan yang sehat pun akan menilai bahwa menyenangkan hati orang dengan hal-hal yang tidak diharamkan adalah sebuah kebaikan yang berpahala, dan menyakiti perasaannya adalah sebuah kejelekan yang dapat berakibat dosa.

    Disisi yang lain antara ahlu (keluarga) mayyit dan yang diundang, sama-sama mendapatkan kebaikan. Dimana ahlu (keluarga) mayyit telah melakukan amal shaleh dengan mengajak orang banyak mendo’akan anggota keluarga yang meninggal dunia, bersedekah atas nama mayyit, dan menghormati tamu dengan cara memberikan makanan dan minuman. Pada sisi yang di undang pun sama-sama melakukan amal shaleh dengan memenuhi undangan, mendo’akan mayyit, berdzikir bersama, menemani dan menghibur ahlu (keluarga) mayyit. Manakah dari hal-hal baik tersebut yang diharamkan ? Sungguh ulama yang mumpuni benar-benar bijaksana dalam menetapkan hokum “makruh” karena melihat dengan seksama adanya potensi “menambah kesedihan atau beban merepotkan”, meskipun jika seandainya hal itu tidak benar-benar ada.

    Adanya sebagian kegiatan Tahlilan yang dilakukan oleh orang awam, yang sangat membebani dan menyusahkan, karena ketidak mengertiannya pada dalam masalah agama, secara umum tidak bisa dijadikan alasan untuk menetapkan hokum haram atau terlarang. Bagi mereka lebih pantas diberi tahu atau diajari bukan di hukumi.

    Selanjutnya,

    Point Kedua (2) :

    Juga bentuk ketidak jujuran dan mensalah pahami maksud dari kalimat tersebut. Kata yang seharusnya merupakan status hokum namun diterjemahkan sehingga maksud yang terkandung dari pernyataan tersebut menjadi berbeda. Ungkapan-ungkapan ulama seperti akrahu” (saya membenci), “makruh” (dibenci), “yukrahu” (dibenci), “bid’ah munkarah” (bid’ah munkar), “bid’ah ghairu mustahabbah” (bid’ah yang tidak dianjurkan), dan “bid’ah mustaqbahah” (bid’ah yang dianggap jelek), semua itu mereka pahami sebagai larangan yang berindikasi hokum haram mutlak. Padahal didalam kitab tersebut, berkali-kali dinyatakan hokum “makruh” untuk kegiatan berkumpul di rumah ahlu (keluarga) mayyit dan dihidangkan makanan, terlepas dari hokum-hukum perkara lain seperti takziyah, hokum mendo’akan, bersedekah untuk mayyit, dimana semua itu dihukumi sunnah.

    Terjemahan “mereka” :

    “Dan apa yang dibiasakan manusia tentang hidangan dari keluarga si mayit yang disediakan untuk para undangan, adalah bid’ah yang tidak disukai agama, sebagaimana datangnya para undangan ke acara itu, karena ada hadits shahih yang diriwayatkan dari Jarir Radhiallahu ‘Anhu: Kami menganggap bahwa berkumpul di rumah keluarga si mayit, mereka menghidangkan makanan setelah penguburannya, adalah termasuk nihayah (meratap) –yakni terlarang.”

    Berikut teksnya (yang benar),

    وما اعتيد من جعل أهل الميت طعاما ليدعوا الناس إليه، بدعة مكروهة – كإجابتهم لذلك، لما صح عن جرير رضي الله عنه. كنا نعد الاجتماع إلى أهل الميت وصنعهم الطعام بعد دفنه من النياحة
    “Dan kebiasaaan dari ahlu (keluarga) mayyit membuat makanan untuk mengundang (mengajak) menusia kepadanya, ini bid’ah makruhah (bid’ah yang makruh), sebagaimana mereka memenuhi ajakan itu, sesuai dengan hadits shahih dari Jarir ra, “Kami (sahabat) menganggap bahwa berkumpul ke ahlu (keluarga) mayyit dan menyediakan makanan (untuk mereka) setelah dikuburnya (mayyit) <adalah bagian dari meratap (an-Niyahah)”.

    Mereka secara tidak jujur menterjemahkan status hokum “Makruh” pada kalimat diatas dan hal itu sudah menjadi tuntutan untuk tidak jujur bagi mereka sebab mereka telah menolak pembagian bid’ah. Karena penolakan tersebut, maka mau tidak mau mereka harus berusaha memelintir maksud bid’ah makruhah (bid’ah yang makruh) tersebut.

    Padahal bid’ah juga dibagi menjadi lima (5) status hukum namun mereka tolak, sebagaimana yang tercantum dalam kitab al-Imam an-Nawawi yaitu Syarah Shahih Muslim ;

    أن البدع خمسة أقسام واجبة ومندوبة ومحرمة ومكروهة ومباحة
    “Sesungguhnya bid’ah terbagi menjadi 5 macam ; bid’ah yang wajib, mandzubah (sunnah), muharramah (bid’ah yang haram), makruhah (bid’ah yang makruh), dan mubahah (mubah)” [Syarh An-Nawawi ‘alaa Shahih Muslim, Juz 7, hal 105]

    Bila ingin memahami perkataan Ulama madzhab Syafi’I, maka pahami juga istilah-istilah yang ada dan digunakan didalam madzhab Syafi’i. Penolakan mereka terhadap pembagian bid’ah ini, mengandung konsekuensi yang besar bagi mereka sendiri saat dihadapkan dengan kitab-kitab ulama Madzhab Syafi’iyyah, dan untuk menghidarinya, satu-satunya jalan adalah dengan jalan tidak jujur atau mengaburkan maksud yang terkandung dari sebuah kalimat. Siapapun yang mengikuti pemahaman mereka maka sudah bisa dipastikan keliru.

    Status hokum yang disebutkan pada kalimat diatas adalah “Makruh”. Makruh adalah makruh dan tetap makruh, bukan haram. Dimana pengertian makruh adalah “Yutsab ala tarkihi wala yu’aqabu ala fi’lihi yaitu mendapat pahala apabila ditinggalkan dan tidak mendapat dosa bila di lakukan”. Makruh yang disebutkan diatas, juga terlepas dari hokum takziyah itu sendiri.

    Kemudian persoalan “an-Niyahah (meratap)” yang pada hadits Shahih diatas, dimana hadits tersebut juga dikeluarkan oleh Ibnu Majah ;

    عَنْ جَرِيْرِ بْنِ عَبْدِ اللهِ الْبَجَلِيِّ قَالَ: كُنَّا نَرَى اْلاِجْتِمَاعَ إِلَى أَهْلِ الْمَيِّتِ وَصَنْعَةَ الطَّعَامِ مِنَ النِّيَاحَةِ
    “Kami (para sahabat) memandang berkumpul di ahlu (keluarga) mayyit dan membuat makanan termasuk bagian dari meratap”

    “An-Niyahah” memang perbuatan yang dilarang dalam agama. Namun, bukan berarti sama sekali tidak boleh bersedih atau menangis saat ada anggota keluarga yang meninggal dunia, sedangkan Rasulullah saja menangis mengeluarkan air mata saat cucu Beliau (Fatimah) wafat. Disaat Beliau mencucurkan air mata, (sahabat) Sa’ad berkata kepada Rasulullah ;

    فَقَالَ سَعْدٌ يَا رَسُولَ اللَّهِ مَا هَذَا فَقَالَ هَذِهِ رَحْمَةٌ جَعَلَهَا اللَّهُ فِي قُلُوبِ عِبَادِهِ وَإِنَّمَا يَرْحَمُ اللَّهُ مِنْ عِبَادِهِ الرُّحَمَاءَ
    “..maka Sa’ad berkata ; Ya .. Rasulullah (يَا رَسُولَ اللَّهِ) apakah ini ? “Ini (kesedihan ini) adalah rahmat yang Allah jadikan di hati para hamba-Nya, Allah hanya merahmati hamba-hamba-Nya yang mengasisihi (ruhama’)” [HR. Imam Bukhari No. 1284]

    Rasulullah juga menangis saat menjelang wafatnya putra Beliau yang bernama Ibrahim, sebagaimana yang diriwayatkan oleh Abdurrahman bin ‘Auf,

    فَقَالَ لَهُ عَبْدُ الرَّحْمَنِ بْنُ عَوْفٍ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ وَأَنْتَ يَا رَسُولَ اللَّهِ فَقَالَ يَا ابْنَ عَوْفٍ إِنَّهَا رَحْمَةٌ ثُمَّ أَتْبَعَهَا بِأُخْرَى فَقَالَ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ إِنَّ الْعَيْنَ تَدْمَعُ وَالْقَلْبَ يَحْزَنُ وَلَا نَقُولُ إِلَّا مَا يَرْضَى رَبُّنَا وَإِنَّا بِفِرَاقِكَ يَا إِبْرَاهِيمُ لَمَحْزُونُونَ
    “..maka Abdurrahmah bebin ‘Auf berkata kepada Rasulullah, “dan anda wahai Rasulullah ?, Rasulullah berkata, “wahai Ibnu ‘Auf sesungguhnya (tangisan) itu rahmat, dalam sabda yang lain beliau kata, “sesungguhnya mata itu mencucurkan air mata, dan hati bersedih, dan kami tidak mengatakan kecuali apa yang menjadi keridhaan Allah, sesungguhnya aku adalah orang yang bersedih karena perpisahanku dengan Ibrahim”. [HR. Imam Bukhari No. 1303]

    Rasulullah juga menangis di makam ibunda beliau sehingga orang yang bersamanya pun ikut menangis sebagaimana diriwayatkan di dalam hadis-hadis shahih [lihat Mughni al-Muhtaaj ilaa Ma'rifati Ma'aaniy Alfaadz Al Minhaj, Al-Allamah Al-Imam Muhammad al-Khathib asy-Syarbini, Dar el-Fikr, juz 1, hal. 356).
    Maka meratap yang sebenarnya dilarang (diharamkan) yang disebut sebagai “An-Niyahah” adalah menangisi mayyit dengan suara keras hingga menggerung apalagi diiringi dengan ekspresi berlebihan seperti memukul-mukul atau menampar pipi,
    menarik-narik rambut, dan lain sebagainya.
    Kembali kepada status hokum “Makruh” diatas, sebagaimana juga dijelaskan didalam Kitab al-Mughniy ;

    فأما صنع أهل الميت طعاما للناس فمكروه لأن فيه زيادة على مصيبتهم وشغلا لهم إلى شغلهم وتشبها بصنع أهل الجاهلية
    “Maka adapun bila ahlu (keluarga) mayyit membuat makanan untuk orang, maka itu Makruh, karena bisa menambah atas mushibah mereka, menambah kesibukan mereka (merepotkan) dan meniru-niru perbuatan Jahiliyah” [Al-Mughniy Juz
    II/215]

    Makruh bukan haram, dan status hokum Makruh bisa berubah menjadi Mubah (Jaiz/boleh) jika keadaannya sebagaimana digambarkan dalam kitab yang sama, berikut ini ;

    وإن دعت الحاجة إلى ذلك جاز فإنه ربما جاءهم من يحضر ميتهم من القرى والأماكن البعيدة ويبيت عندهم ولا يمكنهم إلا أن يضيفوه
    “Dan jika melakukannya karena ada (sebab) hajat, maka itu diperbolehkan (Jaiz), karena barangkali diantara yang datang ada yang berasal dari pedesaan, dan tempat-tempat yang jauh, dan menginap dirumah mereka, maka tidak bisa (tidak mungkin) kecuali mereka mesti di jamu (diberi hidangan)” [” [Al-Mughniy Juz II/215]

    Selanjutnya,

    Point Ketiga (3)

    Penukilan (pada point 3) ini juga tidak tepat dan keluar dari konteks, sebab pernyataan tersebut masih terikat dengan kalimat sebelumnya. Dan mereka juga mentermahkan status hokum yang ditetapkan dalam kitab Al-Bazaz.

    Terjemahan “Mereka” :

    “Dalam Kitab Al Bazaz: Dibenci menyediakan makanan pada hari pertama, tiga, dan setelah tujuh hari, dan juga mengirim makanan ke kuburan secara musiman.”

    Berikut teksnya

    وقال أيضا: ويكره الضيافة من الطعام من أهل الميت، لانه شرع في السرور، وهي بدعة. روى الامام أحمد وابن ماجه بإسناد صحيح، عن جرير بن عبد الله، قال: كنا نعد الاجتماع إلى أهل الميت وصنعهم الطعام من النياحة. اه. وفي البزاز: ويكره اتخاذ الطعام في اليوم الاول والثالث وبعد الاسبوع، ونقل الطعام إلى القبر في المواسم إلخ
    “Dan (juga) berkata; “dan dimakruhkan penyediaan jamuan besar (الضيافة) dari Ahlu (keluarga) mayyit, karena untuk mengadakan kegembiran (شرع في السرور), dan ini adalah bi’dah. Diriwayatkan oleh Al-Imam Ahmad dan Ibnu Majah dengan isnad yang dshahih, dari Jarir bin Abdullah, berkata ; “kami (sahabat) menganggap berkumpulnya ke (tempat) ahlu (keluarga) mayyit dan menyediakan makanan bagian dari merapat”. Dan didalam kitab Al-Bazaz, “diMakruhkan menyediakan makanan pada hari pertama, ke tiga dan setelah satu minggu dan (juga) dikatakan (termasuk) makanan (yang dibawa) ke kuburan pada musiman”.

    Apa yang dijelaskan didalam kitab Al-Bazaz adalah sebagai penguat pernyataan Makruh sebelumnya, jadi masih terkait dengan apa yang disampaikan sebelumnya. Namun sayangnya, mereka menukil separuh-separuh sehingga maksud dari pernyataan tersebut melenceng, parahnya lagi (ketidak jujuran ini) mereka gunakan untuk melarang Tahlilan karena kebencian mereka terhadap kegiatan tersebut dan tidak menjelaskan apa yang sebenarnya dimakruhkan.

    Yang dimakruhkan adalah berupa jamuan besar untuk tamu (“An-Dliyafah/الضيافة”) yang dilakukan oleh ahlu (keluarga) mayyit untuk kegembiraan. Status hokum ini adalah makruh bukan haram, namun bisa berubah menjadi jaiz (mubah) sebagaimana dijelaskan pada point 2 (didalam Kitab Al-Mughniy).

    Selanjutnya,

    Point Ke-Empat (4)

    Lagi-lagi mereka menterjemahkan secara tidak jujur dan memenggal-menggal kalimat yang seharunya utuh.

    Terjemahan ‘mereka’ ;

    “Dan diantara bid’ah yang munkarat yang tidak disukai ialah apa yang biasa dikerjakan orang tentang cara penyampaian rasa duka cita, berkumpul dan acara hari keempat puluh, bahkan semua itu adalah haram.” (I’anatut Thalibin, Sarah Fathul Mu’in, Juz 2 hal. 145-146)

    Mereka telah memotong kalimatnya hanya sampai disitu. Sungguh ini telah memfitnahatas nama ulama (Pengarang kitab I’anatuth Thabilibin).

    Berikut teks lengkapnya (yang benar);

    وفي حاشية العلامة الجمل على شرح المنهج: ومن البدع المنكرة والمكروه فعلها: ما يفعله الناس من الوحشة والجمع والاربعين، بل كل ذلك حرام إن كان من مال محجور، أو من ميت عليه دين، أو يترتب عليه ضرر، أو نحو ذلك.
    “Dan didalam kitab Hasiyatul Jamal ‘alaa Syarh al-Minhaj (karangan Al-‘Allamah asy-Syekh Sulaiman al-Jamal) ; “dan sebagian dari bid’ah Munkarah dan Makruh mengerjakannya yaitu apa yang dilakukan orang daripada berduka cita , berkumpul dan 40 harian, bahkan semua itu haram jika (dibiayai) dari harta yang terlarang (haram), atau dari (harta) mayyit yang memiliki (tanggungan) hutang atau (dari harta) yang bisa menimbulkan bahaya atasnya, atau yang lain sebagainya”

    Begitu jelas ketidak jujuran yang mereka lakukan dan penipuan terhadap umat Islam yang mereka sebarkan melalui website dan buku-buku mereka.

    Buku mereka yang memuat terjemahan tidak jujur diatas adalah buku yang berjudul“Membongkar Kesesatan Tahlilan”, hal. 31, disana ditulis :

    “Dan di antara bid’ah munkaroh yang sangat dibenci adalah apa yang dilakukan orang di hari ketujuh dan di hari ke-40-nya. semua itu haram hukumnya” (lihat buku Membongkar Kesesatan Tahlilan, hal. 31).

    Dan juga dalam buku “Mantan Kiai NU Menggugat Tahlilan”:

    “Di antara bid’ah munkarat yang tidak disukai ialah perkara yang sangat biasa diamalkan oleh individu dalam majelis untuk menyampaikan rasa duka cita (kenduri arwah), berkumpul dan membuat jamuan majelis untuk kematian pada hari keempat puluh, bahkan semua itu adalah haram” (lihat buku Mantan Kiai NU Menggugat Tahlilan, hal. 69).

    Kalimat yang seharusnya di lanjutkan di potong. Mereka telah menyembunyikan maksud yang sebenarnya dari ungkapan ulama yang berasal dari kitab aslinya. Mereka memenggal kalimat secara “seksama” (penipuan yang direncanakan/disengaja, red) demi tercapainya tujuan mereka yaitu melarang bahkan mengharamkan Tahlilan, seolah olah tujuan mereka didukung oleh pendapat Ulama, padahal hanya didukung oleh tipu daya mereka sendiri yang mengatas namakan ulama. Bukankah hal semacam ini juga termasuk telah memfitnah Ulama ? menandakan bahwa pelakunya berakhlak buruk juga lancang terhadap Ulama ? Ucapan mereka yang katanya menghidupkan sunnah sangat bertolak belakang dengan prilaku penipuan yang mereka lakukan.

    Selanjutnya,

    Point Ke-Lima (5)

    Terjemahan mereka,

    “Dan tidak ada keraguan sedikitpun, bahwa mencegah umat dari bid’ah munkarat ini adalah menghidupkan Sunnah Nabi SAW , mematikan BID’AH, membuka seluas-luasnya pintu kebaikan dan menutup serapat-rapatnya pintu-pintu keburukan, karena orang-orang memaksa-maksa diri mereka berbuat hal-hal yang akan membawa kepada hal yang diharamkan. (I’anatut Thalibin, Sarah Fathul Mu’in, Juz 2 hal. 145-146)

    Kalimat diatas sebenarnya masih berkaitan dengan kalimat sebelumnya, oleh karena itu harus dipahami secara keseluruhan. Berikut ini adalah kelanjutan dari kalimat pada point ke-4.

    . وقد قال رسول الله (ص) لبلال بن الحرث رضي الله عنه: يا بلال من أحيا سنة من سنتي قد أميتت من بعدي، كان له من الاجر مثل من عمل بها، لا ينقص من أجورهم شيئا. ومن ابتدع بدعة ضلالة لا يرضاها الله ورسوله، كان عليه مثل من عمل بها، لا ينقص من أوزارهم شيئا. وقال (ص): إن هذا الخير خزائن، لتلك الخزائن مفاتيح، فطوبى لعبد جعله الله مفتاحا للخير، مغلاقا للشر. وويل لعبد جعله الله مفتاحا للشر، مغلاقا للخير.
    “Dan sungguh Rasulullah bersabda kepada Bilal bin Harits (رضي الله عنه) : “wahai Bilal, barangsiapa yang menghidupkan sunnah dari sunnahku setelah dimatikan sesudahku, maka baginya pahala seperti (pahala) orang yang mengamalkannya, tidak dikurangi sedikitpun dari pahala mereka (orang yang mengamalkan) dan barangsiapa yang mengada-adakan (membuat) bid’ah dhalalah dimana Allah dan Rasul-Nya tidak akan ridha, maka baginya (dosa) sebagaimana orang yang mengamalkannya dan tidak dikurangi sedikitpun dari dosa mereka”. dan Nabi bersabda ; “Sesungguhnya kebaikan (الخير) itu memiliki khazanah-khazanah, khazanah-khazanah itu ada kunci-kuncinya (pembukanya), Maka berbahagialah bagi hamba yang telah Allah jadikan pada dirinya pembuka untuk kebaikan dan pengunci keburukan. Maka, celakalah bagi hamba yang telah Allah jadikan pada dirinya pembuka keburukan dan pengunci kebaikan”

    ولا شك أن منع الناس من هذه البدعة المنكرة فيه إحياء للسنة، وإماته للبدعة، وفتح لكثير من أبواب الخير، وغلق لكثير من أبواب الشر، فإن الناس يتكلفون تكلفا كثيرا، يؤدي إلى أن يكون ذلك الصنع محرما. والله سبحانه وتعالى أعلم.
    “dan tidak ada keraguan bahwa mencegah manusia dari bid’ah Munkarah ini,padanya termasuk menghidupkan as-Sunnah, dan mematikan bagi bid’ah, dan membuka pada banyak pintu kebaikan, dan mengunci kebayakan pintu keburukan..Maka jika manusia membebani (dirinya) dengan beban yang banyak, itu hanya akan mengantarkan mereka kepada perkara yang diharamkan.”

    Jika hanya membaca sepintas nukilan dari mereka, akan terkesan seolah-olah adanya pelarangan bahwa berkumpulnya manusia dan makan hidangan di tempat ahlu (keluarga) mayyit adalah diharamkan sebagaimana yang telah mereka nukil secara tidak jujur dipoint-4 atau bahkan ketidak jelasan mengenai bid’ah Munkarah yang dimaksud, padahal pada kalimat sebelumnya (lihat point-4) sudah dijelaskan dan status hukumnya adalah Makruh, namun memang bisa mengantarkan pada perkara yang haram jika membebani dengan beban yang banyak (تكلفا كثيرا) sebagaimana dijelaskan pada akhir-akhir point ke-5 ini dan juga pada point-4 yaitu jika (dibiayai) dari harta yang terlarang , atau dari (harta) mayyit yang memiliki (tanggungan) hutang atau (dari harta) yang bisa menimbulkan bahaya atasnya.
    PENUTUP

    Demikian apa yang bisa kami sampaikan untuk meluruskan nukil-nukilan tidak jujur dari “pendakwah salaf” yang katanya “pengikut salaf” namun sayang sekali prilaku mereka sangat bertolak belakang dengan prilaku salaf bahkan lebih buruk.

    Kami menghimbau agar jangan terlalu percaya dengan nukilan-nukilan mereka, sebaiknya mengecek sendiri atau tanyakan pada ulama atau ustadz tempat antum masing-masing agar tidak menjadi korban internet dan korban penipuan mereka. Masih banyak kitab ulama lainnya yang mereka pelintir maksudnya. Maka berhati-hatilah. []

    والله سبحانه وتعالى أعلم
    Abdurrohim ats-Tsauriy

  13. Mas Derajad13/05/2012 at 02:29Reply

    @Fajar Septiadi dari jawaban lengkap dan jelas diatas, saya semakin ragu terhadap teks majalah NU berbahasa Sunda yang Saudara kutip. Benarkah kutipan saudara atau ada orang yang mengaku warga NU mengambil istimbath dari kitab I’anatut Thalibin (padahal bukan warga NU), karena sebenarnya isi kitab tersebut adalah seperti yang saya kutip dan nukil diatas.

    Maka dari itu berhati-hatilah anda mengutip, dan bukan sekedar copas. Anda lebih baik mengaji dulu kitab tersebut.

    Sungguh merubah isi suatu kitab, apalagi kitab orang alim dan dalam ilmunya sangat besar dosanya.

    Kebenaran hanya dari Allah,

    Hamba Allah yang dhaif

    Dzikrul Ghafilin bersama Mas Derajad

  14. Mas Derajad13/05/2012 at 13:41Reply

    @Fajar Septiadi Setelah saya lihat kutipan Kitab I’anatut Thalibin dan saya kutip dari analisa ikhwan NU, ada pengutipan yang tidak benar dari kitab tersebut. Berikut kutipannya :

    Nukilan-Nukilan Palsu Dari Kitab I’anatuth Thalibin
    Posted on January 31, 2010 by Admin

    1 Votes

    التفقه في الدين من اختاره من العباد، وأشهد أن لا إله الله، شهادةتدخلنا دار الخلود، وأشهد أن سيدنا محمدا ورسوله، صاحب المقام المحموم، صلى الله وسلم عليه وعلى آله وأصحابهالامجاد صلاة وسلاما أفوز بهما يوم المعاد. وبعد
    PENGANTAR

    Mengusik amalan seseorang Muslim dengan menukil pernyataan Ulama dari kitab Muktabar secara serampangan (mengguting-gunting kalimat) merupakan perbuatan keji dan sangat tidak berakhlak. Selain termasuk telah menyembunyikan kebenaran, juga termasuk telah memfitnah Ulama yang perkataannya telah mereka nukil, merendahkan kitab Ulama dan juga telah menipu kaum Muslimin. Dakwah mereka benar-benar penuh kepalsuan dan kebohongan. Mengatas namakan Madzhab Syafi’I untuk menjatuhkan amalan Tahlil, sungguh mereka keji juga dengki.

    Kitab I’anatuth Thalibin (إعانة الطالبين) adalah kitab Fiqh karangan Al-‘Allamah Asy-Syekh Al-Imam Abi Bakr Ibnu As-Sayyid Muhammad Syatha Ad-Dimyathiy Asy-Syafi’i, yang merupakan syarah dari kitab Fathul Mu’in (فتح المعين لشرح قرة العين بمهمات الدين لزين الدين بن عبد العزيز المليباري الفنانى). Kitab ini sangat masyhur dikalangan masyarakat Indonesia dan juga salah satu kitab yang menjadi rujukan pengikut madzhab Syafi’iyyah dalam ilmu Fiqh diseluruh dunia. Namun, sayang, ada sebagain kecil kalangan yang tidak bermadzhab Syafi’i (anti Madzhab), mengaku pengikut salaf, mencomot-comot isi kitab ini untuk mengharamkan Tahlilan yang merupakan amalan sudah masyhur dikalangan pengikut madzhab Syafi’i. Bukannya berdakwah secara benar namuan yang mereka lakukan, malah menunjukkan kedengkian hati mereka dan ketidak jujuran mereka dalam menukil perkataan ulama. Ini hanya salah satu kitab yang kami coba luruskan dari nukilan tidak jujur yang telah mereka lakukan, masih banyak lagi kitab Ulama yang dicomot serampangan oleh mereka, seperti kitab Al-Umm (Imam Syafi’i), Al-Majmu’ Syarah Muhadzab Imam An-Nawawi, Mughni al-Muhtaaj ilaa Ma’rifati Ma’aaniy Alfaadz Al Minhaj, dan kitab-kitab ulama lainnya.
    PEMBAHASAN

    Setidak-tidaknya ada 5 pernyataan yang kami temukan, yang “mereka” comot dari kitab I’anah at-Thalibin secara tidak jujur dan memelintir (mensalah-pahami) maksud dari pernyataan tersebut untuk mengharamkan Tahlilan. Ini banyak dicantumkan disitus-situs mereka dan dikutip oleh sesama mereka secara serampangan pula. Berikut ini yang mereka nukil secara tidak jujur.
    1. Sumber : http://ibnumaulay.multiply.com/journal/item/3

    “Ya, apa yang dilakukan manusia, yakni berkumpul di rumah keluarga si mayit, dan dihidangkan makanan, merupakan bid’ah munkarah, yang akan diberi pahala bagi orang yang mencegahnya, dengannya Allah akan kukuhlah kaidah-kaidah agama, dan dengannya dapat mendukung Islam dan muslimin” (I’anatuth Thalibin, 2/165)

    Teks arabnya ;

    (نعم، ما يفعله الناس من الاجتماع عند أهل الميت وصنع الطعام، من البدع المنكرة التي يثاب على منعها والي الامر)
    2. Sumber : http://ibnumaulay.multiply.com/journal/item/3

    “Dan apa yang dibiasakan manusia tentang hidangan dari keluarga si mayit yang disediakan untuk para undangan, adalah bid’ah yang tidak disukai agama, sebagaimana datangnya para undangan ke acara itu, karena ada hadits shahih yang diriwayatkan dari Jarir Radhiallahu ‘Anhu: Kami menganggap bahwa berkumpul di rumah keluarga si mayit, mereka menghidangkan makanan setelah penguburannya, adalah termasuk nihayah (meratap) –yakni terlarang.”

    Teks arabnya ;

    وما اعتيد من جعل أهل الميت طعاما ليدعوا الناس إليه، بدعة مكروهة – كإجابتهم لذلك، لما صح عن جرير رضي الله عنه. كنا نعد الاجتماع إلى أهل الميت وصنعهم الطعام بعد دفنه من النياحة
    3. Sumber : http://ibnumaulay.multiply.com/journal/item/3

    “Dalam Kitab Al Bazaz:Dibenci menyediakan makanan pada hari pertama, tiga, dan setelah tujuh hari, dan juga mengirim makanan ke kuburan secara musiman.”

    Teks arabnya ;

    وفي البزاز: ويكره اتخاذ الطعام في اليوم الاول والثالث وبعد الاسبوع، ونقل الطعام إلى القبر في المواسم
    4. Sumber : http://fauzyachmed.blogspot.com/2009/10/bismillah-assalaamualaikum-wa.html

    “Dan diantara bid’ah yang munkarat yang tidak disukai ialah apa yang biasa dikerjakan orang tentang cara penyampaian rasa duka cita, berkumpul dan acara hari keempat puluh, bahkan semua itu adalah haram. (I’anatut Thalibin, Sarah Fathul Mu’in, Juz 2 hal. 145-146)
    5. Sumber : http://fauzyachmed.blogspot.com/2009/10/bismillah-assalaamualaikum-wa.html

    “Dan tidak ada keraguan sedikitpun, bahwa mencegah umat dari bid’ah munkarat ini adalah menghidupkan Sunnah Nabi SAW , mematikan BID’AH, membuka seluas-luasnya pintu kebaikan dan menutup serapat-rapatnya pintu-pintu keburukan, karena orang-orang memaksa-maksa diri mereka berbuat hal-hal yang akan membawa kepada hal yang diharamkan. (I’anatut Thalibin, Sarah Fathul Mu’in, Juz 2 hal. 145-146)

    Itulah yang ‘mereka’ comot secara serampangan dan menterjemahkannya dengan memelintir maknanya. Kami akan mulai membahas point-point diatas, sebagai berikut :

    Point Pertama (1)

    Nukilan diatas merupakan bentuk ketidakjujuran, dimana orang yang membacanya akan mengira bahwa berkumpul di tempat ahlu (keluarga) mayyit dan memakan makanan yang disediakan adalah termasuk bid’ah Munkarah, padahal bukan seperti itu yang dimaksud oleh kalimat tersebut. ‘Mereka’ telah menggunting (menukil secara tidak jujur) kalimat tersebut sehingga makna (maksud) yang dkehendaki dari kalimat tersebut menjadi kabur. Padahal, yang benar, bahwa kalimat tersebut merupakan jawaban atas pertanyaan yang ditanyakan sebelumnya. Itu sebabnya, kalimat yang ‘mereka’ nukil dimulai dengan kata “na’am (iya)”.

    Berikut teks lengkapnya;

    وقد اطلعت على سؤال رفع لمفاتي مكة المشرفة فيما يفعله أهل الميت من الطعام. وجواب منهم لذلك. (وصورتهما). ما قول المفاتي الكرام بالبلد الحرام دام نفعهم للانام مدى الايام، في العرف الخاص في بلدة لمن بها من الاشخاص أن الشخص إذا انتقل إلى دار الجزاء، وحضر معارفه وجيرانه العزاء، جرى العرف بأنهم ينتظرون الطعام، ومن غلبة الحياء على أهل الميت يتكلفون التكلف التام، ويهيئون لهم أطعمة عديدة، ويحضرونها لهم بالمشقة الشديدة. فهل لو أراد رئيس الحكام – بما له من الرفق بالرعية، والشفقة على الاهالي – بمنع هذه القضية بالكلية ليعودوا إلى التمسك بالسنة السنية، المأثورة عن خير البرية وإلى عليه ربه صلاة وسلاما، حيث قال: اصنعوا لآل جعفر طعاما يثاب على هذا المنع المذكور ؟

    “Dan sungguh telah aku perhatikan mengeni pertanyaan yang ditanyakan (diangkat) kepada para Mufti Mekkah (مفاتي مكة المشرفة) tentang apa yang dilakukan oleh Ahlu (keluarga) mayyit perihal makanan (membuat makanan) dan (juga aku perhatikan) jawaban mereka atas perkara tersebut. Gambaran (penjelasan mengenai keduanya ; pertanyaan dan jawaban tersebut) yaitumengenai (bagaimana) pendapat para Mufti yang mulya (المفاتي الكرام) di negeri “al-Haram”, (semoga (Allah) mengabadikan manfaat mareka untuk seluruh manusia sepanjang masa) , tentang kebiasaan (‘urf) yang khusus di suatu negeri bahwa jika ada yang meninggal , kemudian para pentakziyah hadir dari yang mereka kenal dan tetangganya, lalu terjadi kebiasaan bahwa mereka (pentakziyah) itu menunggu (disajikan) makanan dan karena rasa sangat malu telah meliputi ahlu (keluarga mayyit) maka mereka membebani diri dengan beban yang sempurna (التكلف التام), dan (kemudian keluarga mayyit) menyediakan makanan yang banyak (untuk pentakziyah) dan menghadirkannya kepada mereka dengan rasa kasihan. Maka apakah bila seorang ketua penegak hukum yang dengan kelembutannya terhadap rakyat dan rasa kasihannya kepada ahlu mayyit dengan melarang (mencegah) permasalahan tersebut secara keseluruhan agar (manusia) kembali berpegang kepada As-Sunnah yang lurus, yang berasal dari manusia yang Baik (خير البرية) dan (kembali) kepada jalan Beliau (semoga shalawat dan salam atas Beliau), saat ia bersabda, “sediakanlah makanan untuk keluarga Jakfar”, apakah pemimpin itu diberi pahala atas yang disebutkan (pelarangan itu) ?

    أفيدوا بالجواب بما هو منقول ومسطور. (الحمد لله وحده) وصلى الله وسلم على سيدنا محمد وعلى آله وصحبه والسالكين نهجهم بعده. اللهم أسألك الهداية للصواب. نعم، ما يفعله الناس من الاجتماع عند أهل الميت وصنع الطعام، من البدع المنكرة التي يثاب على منعها والي الامر، ثبت الله به قواعد الدين وأيد به الاسلام والمسلمين.
    “Penjelasan sebagai jawaban terhadap apa yang telah di tanyakan, (الحمد لله وحده) وصلى الله وسلم على سيدنا محمد وعلى آله وصحبه والسالكين نهجهم بعده, Ya .. Allah aku memohon kepada-Mu supaya memberikan petunjuk kebenaran”.

    “Iya.., apa yang dilakukan oleh manusia dari berkumpul ditempat ahlu (keluarga) mayyit dan menghidangkan makanan, itu bagian dari bid’ah munkarah, yang diberi pahala bagi yang mencegahnya dan menyuruhnya. Allah akan mengukuhkan dengannya kaidah-kaidah agama dan mendorong Islamd serta umat Islam”

    Betapa apa yang dikehendaki dari pernyataan diatas telah keluar konteks saat pertanyaannya dipotong sebagaimana nukilan mereka dan ini yang mereka gunakan untuk melarang Tahlilan. Ketidak jujuran ini yang mereka dakwahkan untuk menipu umat Islam atas nama Kitab I’anatuth Thalibin dan Al-‘Allamah Asy-Syekh Al-Imam Abi Bakr Ibnu As-Sayyid Muhammad Syatha Ad-Dimyathiy Asy-Syafi’i.

    Dalam pertanyaan dan jawaban diatas, yang sebenarnya termasuk bagian dari bid’ah Munkarah adalah kebiasaan pentakziyah menunggu makanan (بأنهم ينتظرون الطعام) di tempat ahlu (keluarga) yang terkena mushibah kematian, akal sehat pun akan menganggap bahwa kebiasaan itu tidak wajar dan memang patut untuk di hentikan. Maka, sangat wajar juga bahwa Mufti diatas menyatakan kebiasaan tersebut sebagai bid’ah Munkarah, dan penguasa yang menghentikan kebiasaan tersebut akan mendapat pahala. Namun, karena keluasan ilmu dari Mufti tersebut tidak berani untuk menetapkan hokum “Haram” kecuali jika memang ada dalil yang jelas dan sebab-sebabnya pun luas.

    Tentu saja, Mufti tersebut kemungkinan akan berkata lain jika membahasnya pada sisi yang lebih umum (bukan tentang kasus yang ditanyakan), dimana pentakziyah datang untuk menghibur, menyabarkan ahlu (keluarga) mayyit bahkan membawa (memberi) bantuan berupa materi untuk pengurusan mayyit dan untuk menghormati pentakziyah yang datang.

    Pada kegiatan Tahlilan orang tidak akan datang ke rumah ahlul mushibah dengan kehendaknya sendiri, melainkan atas kehendak tuan rumah. Jika tuan rumah merasa berat tentu saja tidak perlu mengadakan tahlilan dan tidak perlu mengundang. Namun, siapa yang lebih mengerti dan paham tentang “memberatkan” atau “beban” terhadap keluarga mayyit sehingga menjadi alasan untuk melarang kegiatan tersebut, apakah orang lain atau ahlu (keluarga) mayyit itu sendiri ? tentu saja yang lebih tahu adalah ahlu (keluarga) mayyit. Keinginan ahlu (keluarga) mayyit untuk mengadakan tahlilan dan mengundang tetangga atau orang lain untuk datang ke kediamannya merupakan pertanda ahlu (keluarga) mayyit memang menginginkannya dan tidak merasa keberatan, sementara para tetangga (hadirin) yang diundang sama sekali tidak memaksa ahlu (keluarga) mayyit untuk mengadakan tahlilan. Ahlu (keluarga) mayyit mengetahui akan dirinya sendiri bahwa mereka mampu dan dengan senang hati beramal untuk kepentingan saudaranya yang meninggal dunia, sedangkan hadirin hanya tahu bahwa mereka di undang dan memenuhi undangan ahlu (keluarga) mayyit.

    Sungguh betapa sangat menyakitkan hati ahlu (keluarga) mayyit jika undangannya tidak dipenuhi dan bahkan makanan yang dihidangkan tidak dimakan atau tidak disentuh. Manakah yang lebih utama, melakukan amalan yang “dianggap makruh” dengan menghibur ahlu (keluarga) mayyit, membuat hati ahlu (keluarga) mayyit senang atau menghindari “yang dianggap makruh” dengan menyakiti hati ahlu (keluarga) mayyit ? Tentu saja akan yang sehat pun akan menilai bahwa menyenangkan hati orang dengan hal-hal yang tidak diharamkan adalah sebuah kebaikan yang berpahala, dan menyakiti perasaannya adalah sebuah kejelekan yang dapat berakibat dosa.

    Disisi yang lain antara ahlu (keluarga) mayyit dan yang diundang, sama-sama mendapatkan kebaikan. Dimana ahlu (keluarga) mayyit telah melakukan amal shaleh dengan mengajak orang banyak mendo’akan anggota keluarga yang meninggal dunia, bersedekah atas nama mayyit, dan menghormati tamu dengan cara memberikan makanan dan minuman. Pada sisi yang di undang pun sama-sama melakukan amal shaleh dengan memenuhi undangan, mendo’akan mayyit, berdzikir bersama, menemani dan menghibur ahlu (keluarga) mayyit. Manakah dari hal-hal baik tersebut yang diharamkan ? Sungguh ulama yang mumpuni benar-benar bijaksana dalam menetapkan hokum “makruh” karena melihat dengan seksama adanya potensi “menambah kesedihan atau beban merepotkan”, meskipun jika seandainya hal itu tidak benar-benar ada.

    Adanya sebagian kegiatan Tahlilan yang dilakukan oleh orang awam, yang sangat membebani dan menyusahkan, karena ketidak mengertiannya pada dalam masalah agama, secara umum tidak bisa dijadikan alasan untuk menetapkan hokum haram atau terlarang. Bagi mereka lebih pantas diberi tahu atau diajari bukan di hukumi.

    Selanjutnya,

    Point Kedua (2) :

    Juga bentuk ketidak jujuran dan mensalah pahami maksud dari kalimat tersebut. Kata yang seharusnya merupakan status hokum namun diterjemahkan sehingga maksud yang terkandung dari pernyataan tersebut menjadi berbeda. Ungkapan-ungkapan ulama seperti akrahu” (saya membenci), “makruh” (dibenci), “yukrahu” (dibenci), “bid’ah munkarah” (bid’ah munkar), “bid’ah ghairu mustahabbah” (bid’ah yang tidak dianjurkan), dan “bid’ah mustaqbahah” (bid’ah yang dianggap jelek), semua itu mereka pahami sebagai larangan yang berindikasi hokum haram mutlak. Padahal didalam kitab tersebut, berkali-kali dinyatakan hokum “makruh” untuk kegiatan berkumpul di rumah ahlu (keluarga) mayyit dan dihidangkan makanan, terlepas dari hokum-hukum perkara lain seperti takziyah, hokum mendo’akan, bersedekah untuk mayyit, dimana semua itu dihukumi sunnah.

    Terjemahan “mereka” :

    “Dan apa yang dibiasakan manusia tentang hidangan dari keluarga si mayit yang disediakan untuk para undangan, adalah bid’ah yang tidak disukai agama, sebagaimana datangnya para undangan ke acara itu, karena ada hadits shahih yang diriwayatkan dari Jarir Radhiallahu ‘Anhu: Kami menganggap bahwa berkumpul di rumah keluarga si mayit, mereka menghidangkan makanan setelah penguburannya, adalah termasuk nihayah (meratap) –yakni terlarang.”

    Berikut teksnya (yang benar),

    وما اعتيد من جعل أهل الميت طعاما ليدعوا الناس إليه، بدعة مكروهة – كإجابتهم لذلك، لما صح عن جرير رضي الله عنه. كنا نعد الاجتماع إلى أهل الميت وصنعهم الطعام بعد دفنه من النياحة
    “Dan kebiasaaan dari ahlu (keluarga) mayyit membuat makanan untuk mengundang (mengajak) menusia kepadanya, ini bid’ah makruhah (bid’ah yang makruh), sebagaimana mereka memenuhi ajakan itu, sesuai dengan hadits shahih dari Jarir ra, “Kami (sahabat) menganggap bahwa berkumpul ke ahlu (keluarga) mayyit dan menyediakan makanan (untuk mereka) setelah dikuburnya (mayyit) <adalah bagian dari meratap (an-Niyahah)”.

    Mereka secara tidak jujur menterjemahkan status hokum “Makruh” pada kalimat diatas dan hal itu sudah menjadi tuntutan untuk tidak jujur bagi mereka sebab mereka telah menolak pembagian bid’ah. Karena penolakan tersebut, maka mau tidak mau mereka harus berusaha memelintir maksud bid’ah makruhah (bid’ah yang makruh) tersebut.

    Padahal bid’ah juga dibagi menjadi lima (5) status hukum namun mereka tolak, sebagaimana yang tercantum dalam kitab al-Imam an-Nawawi yaitu Syarah Shahih Muslim ;

    أن البدع خمسة أقسام واجبة ومندوبة ومحرمة ومكروهة ومباحة
    “Sesungguhnya bid’ah terbagi menjadi 5 macam ; bid’ah yang wajib, mandzubah (sunnah), muharramah (bid’ah yang haram), makruhah (bid’ah yang makruh), dan mubahah (mubah)” [Syarh An-Nawawi ‘alaa Shahih Muslim, Juz 7, hal 105]

    Bila ingin memahami perkataan Ulama madzhab Syafi’I, maka pahami juga istilah-istilah yang ada dan digunakan didalam madzhab Syafi’i. Penolakan mereka terhadap pembagian bid’ah ini, mengandung konsekuensi yang besar bagi mereka sendiri saat dihadapkan dengan kitab-kitab ulama Madzhab Syafi’iyyah, dan untuk menghidarinya, satu-satunya jalan adalah dengan jalan tidak jujur atau mengaburkan maksud yang terkandung dari sebuah kalimat. Siapapun yang mengikuti pemahaman mereka maka sudah bisa dipastikan keliru.

    Status hokum yang disebutkan pada kalimat diatas adalah “Makruh”. Makruh adalah makruh dan tetap makruh, bukan haram. Dimana pengertian makruh adalah “Yutsab ala tarkihi wala yu’aqabu ala fi’lihi yaitu mendapat pahala apabila ditinggalkan dan tidak mendapat dosa bila di lakukan”. Makruh yang disebutkan diatas, juga terlepas dari hokum takziyah itu sendiri.

    Kemudian persoalan “an-Niyahah (meratap)” yang pada hadits Shahih diatas, dimana hadits tersebut juga dikeluarkan oleh Ibnu Majah ;

    عَنْ جَرِيْرِ بْنِ عَبْدِ اللهِ الْبَجَلِيِّ قَالَ: كُنَّا نَرَى اْلاِجْتِمَاعَ إِلَى أَهْلِ الْمَيِّتِ وَصَنْعَةَ الطَّعَامِ مِنَ النِّيَاحَةِ
    “Kami (para sahabat) memandang berkumpul di ahlu (keluarga) mayyit dan membuat makanan termasuk bagian dari meratap”

    “An-Niyahah” memang perbuatan yang dilarang dalam agama. Namun, bukan berarti sama sekali tidak boleh bersedih atau menangis saat ada anggota keluarga yang meninggal dunia, sedangkan Rasulullah saja menangis mengeluarkan air mata saat cucu Beliau (Fatimah) wafat. Disaat Beliau mencucurkan air mata, (sahabat) Sa’ad berkata kepada Rasulullah ;

    فَقَالَ سَعْدٌ يَا رَسُولَ اللَّهِ مَا هَذَا فَقَالَ هَذِهِ رَحْمَةٌ جَعَلَهَا اللَّهُ فِي قُلُوبِ عِبَادِهِ وَإِنَّمَا يَرْحَمُ اللَّهُ مِنْ عِبَادِهِ الرُّحَمَاءَ
    “..maka Sa’ad berkata ; Ya .. Rasulullah (يَا رَسُولَ اللَّهِ) apakah ini ? “Ini (kesedihan ini) adalah rahmat yang Allah jadikan di hati para hamba-Nya, Allah hanya merahmati hamba-hamba-Nya yang mengasisihi (ruhama’)” [HR. Imam Bukhari No. 1284]

    Rasulullah juga menangis saat menjelang wafatnya putra Beliau yang bernama Ibrahim, sebagaimana yang diriwayatkan oleh Abdurrahman bin ‘Auf,

    فَقَالَ لَهُ عَبْدُ الرَّحْمَنِ بْنُ عَوْفٍ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ وَأَنْتَ يَا رَسُولَ اللَّهِ فَقَالَ يَا ابْنَ عَوْفٍ إِنَّهَا رَحْمَةٌ ثُمَّ أَتْبَعَهَا بِأُخْرَى فَقَالَ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ إِنَّ الْعَيْنَ تَدْمَعُ وَالْقَلْبَ يَحْزَنُ وَلَا نَقُولُ إِلَّا مَا يَرْضَى رَبُّنَا وَإِنَّا بِفِرَاقِكَ يَا إِبْرَاهِيمُ لَمَحْزُونُونَ
    “..maka Abdurrahmah bebin ‘Auf berkata kepada Rasulullah, “dan anda wahai Rasulullah ?, Rasulullah berkata, “wahai Ibnu ‘Auf sesungguhnya (tangisan) itu rahmat, dalam sabda yang lain beliau kata, “sesungguhnya mata itu mencucurkan air mata, dan hati bersedih, dan kami tidak mengatakan kecuali apa yang menjadi keridhaan Allah, sesungguhnya aku adalah orang yang bersedih karena perpisahanku dengan Ibrahim”. [HR. Imam Bukhari No. 1303]

    Rasulullah juga menangis di makam ibunda beliau sehingga orang yang bersamanya pun ikut menangis sebagaimana diriwayatkan di dalam hadis-hadis shahih [lihat Mughni al-Muhtaaj ilaa Ma'rifati Ma'aaniy Alfaadz Al Minhaj, Al-Allamah Al-Imam Muhammad al-Khathib asy-Syarbini, Dar el-Fikr, juz 1, hal. 356).
    Maka meratap yang sebenarnya dilarang (diharamkan) yang disebut sebagai “An-Niyahah” adalah menangisi mayyit dengan suara keras hingga menggerung apalagi diiringi dengan ekspresi berlebihan seperti memukul-mukul atau menampar pipi,
    menarik-narik rambut, dan lain sebagainya.
    Kembali kepada status hokum “Makruh” diatas, sebagaimana juga dijelaskan didalam Kitab al-Mughniy ;

    فأما صنع أهل الميت طعاما للناس فمكروه لأن فيه زيادة على مصيبتهم وشغلا لهم إلى شغلهم وتشبها بصنع أهل الجاهلية
    “Maka adapun bila ahlu (keluarga) mayyit membuat makanan untuk orang, maka itu Makruh, karena bisa menambah atas mushibah mereka, menambah kesibukan mereka (merepotkan) dan meniru-niru perbuatan Jahiliyah” [Al-Mughniy Juz
    II/215]

    Makruh bukan haram, dan status hokum Makruh bisa berubah menjadi Mubah (Jaiz/boleh) jika keadaannya sebagaimana digambarkan dalam kitab yang sama, berikut ini ;

    وإن دعت الحاجة إلى ذلك جاز فإنه ربما جاءهم من يحضر ميتهم من القرى والأماكن البعيدة ويبيت عندهم ولا يمكنهم إلا أن يضيفوه
    “Dan jika melakukannya karena ada (sebab) hajat, maka itu diperbolehkan (Jaiz), karena barangkali diantara yang datang ada yang berasal dari pedesaan, dan tempat-tempat yang jauh, dan menginap dirumah mereka, maka tidak bisa (tidak mungkin) kecuali mereka mesti di jamu (diberi hidangan)” [” [Al-Mughniy Juz II/215]

    Selanjutnya,

    Point Ketiga (3)

    Penukilan (pada point 3) ini juga tidak tepat dan keluar dari konteks, sebab pernyataan tersebut masih terikat dengan kalimat sebelumnya. Dan mereka juga mentermahkan status hokum yang ditetapkan dalam kitab Al-Bazaz.

    Terjemahan “Mereka” :

    “Dalam Kitab Al Bazaz: Dibenci menyediakan makanan pada hari pertama, tiga, dan setelah tujuh hari, dan juga mengirim makanan ke kuburan secara musiman.”

    Berikut teksnya

    وقال أيضا: ويكره الضيافة من الطعام من أهل الميت، لانه شرع في السرور، وهي بدعة. روى الامام أحمد وابن ماجه بإسناد صحيح، عن جرير بن عبد الله، قال: كنا نعد الاجتماع إلى أهل الميت وصنعهم الطعام من النياحة. اه. وفي البزاز: ويكره اتخاذ الطعام في اليوم الاول والثالث وبعد الاسبوع، ونقل الطعام إلى القبر في المواسم إلخ
    “Dan (juga) berkata; “dan dimakruhkan penyediaan jamuan besar (الضيافة) dari Ahlu (keluarga) mayyit, karena untuk mengadakan kegembiran (شرع في السرور), dan ini adalah bi’dah. Diriwayatkan oleh Al-Imam Ahmad dan Ibnu Majah dengan isnad yang dshahih, dari Jarir bin Abdullah, berkata ; “kami (sahabat) menganggap berkumpulnya ke (tempat) ahlu (keluarga) mayyit dan menyediakan makanan bagian dari merapat”. Dan didalam kitab Al-Bazaz, “diMakruhkan menyediakan makanan pada hari pertama, ke tiga dan setelah satu minggu dan (juga) dikatakan (termasuk) makanan (yang dibawa) ke kuburan pada musiman”.

    Apa yang dijelaskan didalam kitab Al-Bazaz adalah sebagai penguat pernyataan Makruh sebelumnya, jadi masih terkait dengan apa yang disampaikan sebelumnya. Namun sayangnya, mereka menukil separuh-separuh sehingga maksud dari pernyataan tersebut melenceng, parahnya lagi (ketidak jujuran ini) mereka gunakan untuk melarang Tahlilan karena kebencian mereka terhadap kegiatan tersebut dan tidak menjelaskan apa yang sebenarnya dimakruhkan.

    Yang dimakruhkan adalah berupa jamuan besar untuk tamu (“An-Dliyafah/الضيافة”) yang dilakukan oleh ahlu (keluarga) mayyit untuk kegembiraan. Status hokum ini adalah makruh bukan haram, namun bisa berubah menjadi jaiz (mubah) sebagaimana dijelaskan pada point 2 (didalam Kitab Al-Mughniy).

    Selanjutnya,

    Point Ke-Empat (4)

    Lagi-lagi mereka menterjemahkan secara tidak jujur dan memenggal-menggal kalimat yang seharunya utuh.

    Terjemahan ‘mereka’ ;

    “Dan diantara bid’ah yang munkarat yang tidak disukai ialah apa yang biasa dikerjakan orang tentang cara penyampaian rasa duka cita, berkumpul dan acara hari keempat puluh, bahkan semua itu adalah haram.” (I’anatut Thalibin, Sarah Fathul Mu’in, Juz 2 hal. 145-146)

    Mereka telah memotong kalimatnya hanya sampai disitu. Sungguh ini telah memfitnahatas nama ulama (Pengarang kitab I’anatuth Thabilibin).

    Berikut teks lengkapnya (yang benar);

    وفي حاشية العلامة الجمل على شرح المنهج: ومن البدع المنكرة والمكروه فعلها: ما يفعله الناس من الوحشة والجمع والاربعين، بل كل ذلك حرام إن كان من مال محجور، أو من ميت عليه دين، أو يترتب عليه ضرر، أو نحو ذلك.
    “Dan didalam kitab Hasiyatul Jamal ‘alaa Syarh al-Minhaj (karangan Al-‘Allamah asy-Syekh Sulaiman al-Jamal) ; “dan sebagian dari bid’ah Munkarah dan Makruh mengerjakannya yaitu apa yang dilakukan orang daripada berduka cita , berkumpul dan 40 harian, bahkan semua itu haram jika (dibiayai) dari harta yang terlarang (haram), atau dari (harta) mayyit yang memiliki (tanggungan) hutang atau (dari harta) yang bisa menimbulkan bahaya atasnya, atau yang lain sebagainya”

    Begitu jelas ketidak jujuran yang mereka lakukan dan penipuan terhadap umat Islam yang mereka sebarkan melalui website dan buku-buku mereka.

    Buku mereka yang memuat terjemahan tidak jujur diatas adalah buku yang berjudul“Membongkar Kesesatan Tahlilan”, hal. 31, disana ditulis :

    “Dan di antara bid’ah munkaroh yang sangat dibenci adalah apa yang dilakukan orang di hari ketujuh dan di hari ke-40-nya. semua itu haram hukumnya” (lihat buku Membongkar Kesesatan Tahlilan, hal. 31).

    Dan juga dalam buku “Mantan Kiai NU Menggugat Tahlilan”:

    “Di antara bid’ah munkarat yang tidak disukai ialah perkara yang sangat biasa diamalkan oleh individu dalam majelis untuk menyampaikan rasa duka cita (kenduri arwah), berkumpul dan membuat jamuan majelis untuk kematian pada hari keempat puluh, bahkan semua itu adalah haram” (lihat buku Mantan Kiai NU Menggugat Tahlilan, hal. 69).

    Kalimat yang seharusnya di lanjutkan di potong. Mereka telah menyembunyikan maksud yang sebenarnya dari ungkapan ulama yang berasal dari kitab aslinya. Mereka memenggal kalimat secara “seksama” (penipuan yang direncanakan/disengaja, red) demi tercapainya tujuan mereka yaitu melarang bahkan mengharamkan Tahlilan, seolah olah tujuan mereka didukung oleh pendapat Ulama, padahal hanya didukung oleh tipu daya mereka sendiri yang mengatas namakan ulama. Bukankah hal semacam ini juga termasuk telah memfitnah Ulama ? menandakan bahwa pelakunya berakhlak buruk juga lancang terhadap Ulama ? Ucapan mereka yang katanya menghidupkan sunnah sangat bertolak belakang dengan prilaku penipuan yang mereka lakukan.

    Selanjutnya,

    Point Ke-Lima (5)

    Terjemahan mereka,

    “Dan tidak ada keraguan sedikitpun, bahwa mencegah umat dari bid’ah munkarat ini adalah menghidupkan Sunnah Nabi SAW , mematikan BID’AH, membuka seluas-luasnya pintu kebaikan dan menutup serapat-rapatnya pintu-pintu keburukan, karena orang-orang memaksa-maksa diri mereka berbuat hal-hal yang akan membawa kepada hal yang diharamkan. (I’anatut Thalibin, Sarah Fathul Mu’in, Juz 2 hal. 145-146)

    Kalimat diatas sebenarnya masih berkaitan dengan kalimat sebelumnya, oleh karena itu harus dipahami secara keseluruhan. Berikut ini adalah kelanjutan dari kalimat pada point ke-4.

    . وقد قال رسول الله (ص) لبلال بن الحرث رضي الله عنه: يا بلال من أحيا سنة من سنتي قد أميتت من بعدي، كان له من الاجر مثل من عمل بها، لا ينقص من أجورهم شيئا. ومن ابتدع بدعة ضلالة لا يرضاها الله ورسوله، كان عليه مثل من عمل بها، لا ينقص من أوزارهم شيئا. وقال (ص): إن هذا الخير خزائن، لتلك الخزائن مفاتيح، فطوبى لعبد جعله الله مفتاحا للخير، مغلاقا للشر. وويل لعبد جعله الله مفتاحا للشر، مغلاقا للخير.
    “Dan sungguh Rasulullah bersabda kepada Bilal bin Harits (رضي الله عنه) : “wahai Bilal, barangsiapa yang menghidupkan sunnah dari sunnahku setelah dimatikan sesudahku, maka baginya pahala seperti (pahala) orang yang mengamalkannya, tidak dikurangi sedikitpun dari pahala mereka (orang yang mengamalkan) dan barangsiapa yang mengada-adakan (membuat) bid’ah dhalalah dimana Allah dan Rasul-Nya tidak akan ridha, maka baginya (dosa) sebagaimana orang yang mengamalkannya dan tidak dikurangi sedikitpun dari dosa mereka”. dan Nabi bersabda ; “Sesungguhnya kebaikan (الخير) itu memiliki khazanah-khazanah, khazanah-khazanah itu ada kunci-kuncinya (pembukanya), Maka berbahagialah bagi hamba yang telah Allah jadikan pada dirinya pembuka untuk kebaikan dan pengunci keburukan. Maka, celakalah bagi hamba yang telah Allah jadikan pada dirinya pembuka keburukan dan pengunci kebaikan”

    ولا شك أن منع الناس من هذه البدعة المنكرة فيه إحياء للسنة، وإماته للبدعة، وفتح لكثير من أبواب الخير، وغلق لكثير من أبواب الشر، فإن الناس يتكلفون تكلفا كثيرا، يؤدي إلى أن يكون ذلك الصنع محرما. والله سبحانه وتعالى أعلم.
    “dan tidak ada keraguan bahwa mencegah manusia dari bid’ah Munkarah ini,padanya termasuk menghidupkan as-Sunnah, dan mematikan bagi bid’ah, dan membuka pada banyak pintu kebaikan, dan mengunci kebayakan pintu keburukan..Maka jika manusia membebani (dirinya) dengan beban yang banyak, itu hanya akan mengantarkan mereka kepada perkara yang diharamkan.”

    Jika hanya membaca sepintas nukilan dari mereka, akan terkesan seolah-olah adanya pelarangan bahwa berkumpulnya manusia dan makan hidangan di tempat ahlu (keluarga) mayyit adalah diharamkan sebagaimana yang telah mereka nukil secara tidak jujur dipoint-4 atau bahkan ketidak jelasan mengenai bid’ah Munkarah yang dimaksud, padahal pada kalimat sebelumnya (lihat point-4) sudah dijelaskan dan status hukumnya adalah Makruh, namun memang bisa mengantarkan pada perkara yang haram jika membebani dengan beban yang banyak (تكلفا كثيرا) sebagaimana dijelaskan pada akhir-akhir point ke-5 ini dan juga pada point-4 yaitu jika (dibiayai) dari harta yang terlarang , atau dari (harta) mayyit yang memiliki (tanggungan) hutang atau (dari harta) yang bisa menimbulkan bahaya atasnya.
    PENUTUP

    Demikian apa yang bisa kami sampaikan untuk meluruskan nukil-nukilan tidak jujur dari “pendakwah salaf” yang katanya “pengikut salaf” namun sayang sekali prilaku mereka sangat bertolak belakang dengan prilaku salaf bahkan lebih buruk.

    Kami menghimbau agar jangan terlalu percaya dengan nukilan-nukilan mereka, sebaiknya mengecek sendiri atau tanyakan pada ulama atau ustadz tempat antum masing-masing agar tidak menjadi korban internet dan korban penipuan mereka. Masih banyak kitab ulama lainnya yang mereka pelintir maksudnya. Maka berhati-hatilah. []

    والله سبحانه وتعالى أعلم
    Abdurrohim ats-Tsauriy

    Dzikrul Ghafilin bersama Mas Derajad

    • Author

      Wong Tegal13/05/2012 at 21:06Reply

      alhamdulillah, syukron. kami angkut untuk pembaca

    • Abu Faraqna14/05/2012 at 06:07Reply

      Untuk Mas Derajad… Tolong tunjukkan 1 saja hadits yang shahih dari ribuan hadits yang ada bahwa Rasululloh pernah mengadakan tahlilan 7 hari berturut-turut sewaktu meninggal istrinya Khadijah,atau anaknya Ibrahim???
      atau para sahabat pernah melakukannya???
      atau para A-immah Arba’ah (Imam yang empat : Abu Hanifah, Malik bin Anas, Asy Syafi’i, dan Ahmad bin Hambal) imamnya para Ahli Sunnah pernah mengadakan tahlilan 7 hari berturut-turut???

      Semoga Alloh Azza wa Jalla merahmati Imam Waki’ bin Al-Jarrah tatkala mengatakan :
      “Barangsiapa mencari hadits sebagaimana aslinya, maka dia Pembela Sunnah. Dan barangsiapa mencari hadits untuk menguatkan hawa nafsunya,maka dia pengekor hawa”
      (Juz Raf’i Yadaini oleh Imam al-Bukhari)

      • Prabu Minakjinggo14/05/2012 at 09:24Reply

        @abu faraqna, sempit amat sih pemikiran antum, klo anda beranalogi demikian, maka saya pun boleh tanya dong pada antum, coba tunjukkan Hadits yang shohih tentang pendirian sekolah, madrasah, perguruan tinggi/STAIN, panti asuhan, dll yang dijaman Nabi SAW tidak ada tapi sekarang ada, @abu faraqna, bagaimanapun tahlilan itu pada hakikatnya adalah “Majelis Ilmu” sama seperti sekolah dan panti asuhan, karena didalamnya ada kajian islam/ceramah, ada dzikir/bacaan2 Alquran dan doa serta yang terpenting adalah adanya shodaqoh, wk..wk.. saya mulai berfikir nih jangan2 antum tidak pernah ikut tahlilan tapi sok tau tentang tahlilan, atau merasa terganggu dan panas hati mendengar orang berdzikir dan berdoa, hmmm… perasaan makhluk Allah SWT yang merasa terganggu dengan adanya orang berdzikir dengan bacaan2 Alquran dan berdoa hanyalah syetan laknatullah, gak tahu lah sekarang kalau ada mahkluk lain lagi yang merasa terganggu dengan dzikr, bacaan2 Alquran dan doa-doa ???

  15. Mas Derajad14/05/2012 at 15:28Reply

    @Abu Faraqna
    Sebenarnya saya menanggapi pembicaraan Fajar Septiadi, yang mungkin juga “konco” anda juga.

    Fajar Septiadi bergaya bagaikan seorang ahli dalam kitab, lalu membahas Kitab I’anatut Thalibin yang ternyata juga dipangkasnya (bahkan menggunakan dalih Majalah “Warga NU”, berbahasa Sunda pula).

    Nah, sekarang saudara menanyakan hadits shahih tentang tahlilan. Apakah tidak cukup penjelasan Admin diatas ?

    Dalam Shahih Muslim dijelaskan siapa Imam Thawus bin Kaisan R.A. Kalau anda tanya lagi siapa Imam Muslim, ya mari belajar lagi. 🙂

    Beliau, Imam Thawus yang menganjurkan “hadiah do’a” kepada ahli kubur.(Di Indonesia disebut Tahlilan, karena ada pembacaan kalimat tauhid La Ilaha Illallah). Mengenai sampainya bacaan tahlil, saya tidak usah kutip ulama’ Mazhab Syafi’i, silahkan baca sendiri di Majmu’ Fatawanya Imam Ibnu Taimiyah (Imamnya, maaf kaum Wahabi sendiri) di http://www.sarkub.com/2012/sampainya-pahala-untuk-mayit-menurut-ulama-rujukan-wahabi/ Ingat sunnah dari Rasulullah itu bukan hanya qouli, tapi juga diambil dari pembiaran terhadap sikap atau perbuatan para Shahabat. Dan Imam Thawus bergelar R.A. berarti beliau tergolong sahabat nabi ataupun shahabat dari shahabat nabi yang diridhai Allah.

    فَعَلَيْكُمْ بِسُنَّتِى وَسُنَّةِ الْخُلَفَاءِ الْمَهْدِيِّيْنَ الرَّاشِدِيْنَ
    Artinya : Maka wajib atasmu memegang sunnahku dan sunnah Khulafaur Rasyidin (HR Imam Abu Daud, hal 201 dan HR Imam Tirmidzi)

    Kebenaran hakiki hanya milik Allah

    Hamba Allah yang dhaif

    Dzikrul Ghafilin bersama Mas Derajad

  16. Muhammad Choirul Umam15/05/2012 at 11:17Reply

    bagaikan khidir dan musa, khidir sampe melubanngi perahu, membunuh anak kecil,.. merobohkan tembok,… dan musa tidak karuan jengkelnya, karena musa tidak tau hakikatnya..

    Semoga Allah membuka hijab hati kita, dan misa melihat hakikatnya! amin

  17. suulsalafy31/05/2012 at 15:40Reply

    pak yai…berurusan dengan orang2 licik nggak akan selesai2…karena dalam posisi apapun akan selalu berbuat licik…kecuali mendapat taufiq dan hidayah Allah SWT…yang bener..tempat otaknya orang2 tsb di gebuk pake kentongan pos ronda…biar tobat

  18. aman31/08/2012 at 20:29Reply

    Saya dulu sering ikut tahlilan, saya sering mendapati keluarga yg berduka sangat terbebani dg acara tahlilan, karena dia harus menyediakan makanan kecil, minuman yg mereka sendiri sehari-hari jarang bisa dapat menikmati, dan yg biaya nya buat mereka sangat besar, padahal mereka hidup pas-pasan, apalagi ketika orang2 datang mereka merasa malu dg keadaan rumah mereka yg kurang layak, kadang jamaah tahlilan masuk hingga ke dalam, ada lagi selain makanan, mereka juga harus bayar orang yg baca qur’an sampai malam ke 7, belum lagi klo makanannya kurang berkenan jadi omongan jama’ah yg kebanyakan awam, Masya Allah ini amalan apa sesuai dg syar’i?? ternyata ini bid’ah belaka

    • muhammad05/09/2012 at 12:04Reply

      orang mana tuh kasih alamatnya nanti saya bantu keuangannya

      • Adan11/05/2013 at 17:34Reply

        mas@Muhammad coba kedaerah Citayam depok…
        itu sampai jual2 tanah warisnya apabila ada pihak keluarga yg meninggal…sebuah ritual yg memberatkan bagi keluarga si mayit…
        selain menyediakan makanan juga tak lupa amplopnya…dan jatah kyainya dibilang semakin banyak akan meringankan si mayit di akhirat nanti…wallahu’alam bisawab

  19. Indra Jaya03/09/2012 at 23:03Reply

    Mas admin yg kece artikelnya pake catatan kaki dunk,jadi kalo aku mau ngutip bisa dicari dari sumber aslinya… 😀 terima kasih sebelumnya…

  20. muhammad05/09/2012 at 12:05Reply

    orang mana kasih alamatnya nanti akan dibantu saudara2 itu

  21. tuan dhemang03/05/2013 at 19:59Reply

    Pak Aman mantap bener imajinasinya…
    Pengarang Novel yah?
    di kampung saya yg susah aja,kalau ada warganya adain tahlilan malah pada nyumbang uang ataupun makanan,bahkan maaf…uang sumbangan yg ada di wadah baskom mlh lebih mencukupi bahkan berasnya tersisa untuk nafkah bagi si keluarga mayyit ditambah si keluarga mayyit merasa senang dengan berkumpulnya warga di rmhnya,sehingga dia terhibur dan merasa ada perhatian dari warga,jd ga terlalu sedih di tinggalkan anggotanya yg meninggal…
    coba klo ga tahlilan…
    boro-boro menghibur,dateng aja cuma waktu sholat jenazah doang.orang yg merasa kehilangan ditinggal keluarganya ga cukup sehari loh sedihnya, bisa berhari-hari. emang ada yg mau berkunjung kerumahnya untuk menghibur ketika si mayyit sudah di kubur?
    klo pak aman bisa ngasih contoh,saya jg bisa loh…
    tetangga desa saya si fulan (ga enak klo disebutin ntr klo dia baca mlh tambah stres) anti tahlilan bahkan klo ada tahlilan dia marah2 dengan mengatakan sesat di kediaman keluarga si mayyit (boro-boro nyumbang,lha wong kata dia mending duitnya buat judi dari pada buat nyumbang orang baca tahlil) lalu si keluarga yg tertimpa musibah marah besar karena merasa di permalukan di hadapan warga yg datang kerumahnya akhirnya di damaikan sesepuh kampung (atas peristiwa ini kemudian si fulan ini mendapat julukan kehormatan dari waga kampung dengan gelar Si BALAK DUA (terinspirasi dari jidatnya dan memang si fulan ini dulunya gemar main judi gaple karena bangkrut maen judi dia merantau ke kota lalu pulang kekampungnya dengan setumpuk kitab bahasa indonesia)
    di kemudian hari ketika istrinya sifulan ini meninggal dan selesai dimakamkan,tidak ada satupun warga yg datang kerumahnya apalagi nyumbang di wadah baskom (karena memang warga sudah tahu klo si fulan ini tidak akan mengadakan tahlilan jd sumbangannya hanya cukup untuk pemakaman saja itupun karena almh adalah orang yg baik dan ramah kpd warga)
    seminggu kemudian tersiar kabar bahwa si fulan ini kembali ke kota katanya sih untuk beribadah dan berdakwah sekaligus menghibur diri krn di tinggal almh istrinya dengan menginap di mesjid berhari-hari meninggalkan anak-anaknya. yg lebih prihatin lg fulanah anak perempuan tertua si fulan ini mengalami depresi karena di tinggalkan ibunya(krn memang dia dekat sekali dgn ibunya) akhirnya warga berinisiatif untuk memberitahukan keluarga dari ibunya untuk memberi kabar keponakannya terlantar(keluarga si fulan adalah pendatang di kampung tsb) hingga keluarga ibunya memindahkan anak-anak sifulan kerumahnya dengan mengelus-elus dada dengan berkata “fulan… fulan… sekalinya bener kok malah keblinger”

  22. udin06/05/2013 at 20:05Reply

    tahlilan 7hari itu menguntungkan dari sisi ekonomi yang datang. perut kenyang dapat rokok gratis pula. 7hari bro? hitung-hitung hemat uang belanja.

  23. ali shahab12/05/2013 at 16:45Reply

    kasihan ya orang yg bid’ahin tahlilan,
    besok klo dia mati g ada yg doain, lha dianya sendiri g ngebolehin tahlilan kok….

  24. Imam Rosyadi13/05/2013 at 07:42Reply

    sdh lah mas masalha tahlilan tdk perlu di bikin pusing, kalau memang tujuan dr tahlilan itu baik insyah allah mendapat ridho dan pahala dari allah, dan yang nggak pake tahlil ya jangan asal membid’akan kalu ilmunya cuma secuil. belajar dulu lah pada orang yang lebih ngerti masalah kitab, seperti kang drajad. biar ilmunya bermanfaat. jangan. jangan asal bicara tapi sedikit pengetahuan,apalagi sama sekali tidak ngerti kitab, ahkirnya ngawur penyampaianya, ya itu tadi kata mas drajad, memutarbailkan makna, bahkan membuat hukum sendiri. sadarlah….

  25. Tim Sarkub13/05/2013 at 23:41Reply

    Ayahku meninggal tgl 30 April yang lalu..Selama 7 hari berturut-turut kami melaksanakan Tahlilan dengan tujuan mengirim pahala do’a dan sedekah makanan bagi yg dtg ke rmh. Hari kamis yang lalu paman sy bermimpi ayah saya mendatangi rumah paman saya agar bliau menengok kami. Katanya ayahku dengan sandangan putih-putih dengan topi hajinya dan bersorban semuanya putih-putih, mnrt keterangan paman pakaian yang dikenakan ayahku tdk ada modelnya di dunia kita pokoknya bagus banget, wajhnya muda kembali seperti usia 25-an dan ganteng. Dalam pembicaraannya ayahku berkata,”Alhamdulillah saiki aku wis kepenak dik, wis sehat..naliko pitung dino kui aku iso njawab kabeh tes2 soko malaikat”

    Dalam hal tsb pamanku bertanya ada tes apa dik? Aku crta bhw ahli kubur seorang muslim mendapatkan screening slma 7 hari, berbeda dgn ahli kubur seorang kafir discreening slma 40 hari..Di saat itulah para ahli/keluarga yg ditinggalkan dianjurkan utk mengadakan tahlilan yg isinya do’a-do’a dan jamuan snack/makan mlm yg diniatkan sluruhnya dikirimkan pahalanya pada ahli kubur..Agar Ayahku dsna bs mudah mudah menjawab pertanyaan-pertanyaan malaikat Munkar dan Nakir..

    Semoga uraian kisah dari ayah kami yg baru saja wafat tgl 30 April 2013 bisa mjd ibroh bagi kita smua, Wallahu ‘alam bisshowab 🙂

  26. enom tuwo19/05/2013 at 12:50Reply

    Penjelasannya Top Markotop…. saluuut. Lanjutkan dakwah bil qalamnya. Bila perlu share rame-rame.

    Hanya usulan disediakan fitur like atau share via FB insyaallah akan lebih bermanfaat. Khususnya bagi para pelajar/mahasiswa yang wawasan keagamannya kurang mendalam.

    Ijin copas dan share…

  27. sabardiman28/05/2013 at 20:51Reply

    hi hi hi …….. yang membid’ah-kan ataupun mengharamkan tahlilan adalah Ahlus sunnah waljama’ah yang “asli”, sedangkan yang membolehkan tahlilan adalah ahlus sunnah waljama’ah yang “palsu”. Silakan aja anda baca hadits-hadits di atas ……. gak ada yang berasal dari Rosulullah.

    • kang adie06/06/2013 at 23:42Reply

      mas mas… kalo jahlun itu jgn murokkab, biasa aja :p

  28. Bayu29/05/2013 at 19:06Reply

    SEBENERNYA ASIK MEMBACA KOMEN2 DI ATAS, ISLAM YG BERANEKA RAGAM,,,
    AYO KITA MENGISLAMKAN ORANG YG NON IS, JGN MALAH MEKAFIRKAN YG UDAH ISLAM 🙂

    PERBEDAAN ITU BAGUS KARENA PASTI PUNYA KEYAKINAN DAN DASAR SENDIRI, SILAKAN AJA,

    SEMOGA RASULULLAH MEMBERI SYAFA’AT KEPADA SEMUA UMATNYA

    YANG MASIH BINGUNG DAN HANYA IKUT2AN, MOHON DIPERDALAM LAGI “NGAJI”NYA DAN BELAJAR PADA AHLINYA, JANGAN MUDAH PERCAYA DENGAN BUKU/WEB/BLOG YG GA JELAS ASAL USUL PENULISNYA.

    SALAM SATU TUHAN

  29. qbn-sfs05/06/2013 at 16:50Reply

    Mending tahlilan.. daripada ngedumelin tahlilan haram, mang gak capek ape ngedumelin tahlilan haram…biarin aje lha wong yg ngundang orang2 tuk tahlilan gak ngerepotin orang2 Wahabong Koq…..

    Ane yg Tahlilan wahabong yg sewot….ini haram, itu haram…noh liat noh..orang2 Di DPR , yg ngebid’ahin tahlilan, jual Daging buat beli Daging…heheheheeh….orang2 PKS…ditangkep ma KPK dah…wkwkwkwkwk

  30. oslo06/06/2013 at 16:12Reply

    ilmu ngeyelan orang -orang wahabi ini bid,ah kali yaa ,… udah di kasih tahu amalan itu ada dasarnya tetep aja ngeyel, itu kan masalah kilafiyah kenapa mereka mensyirikan …dasar ilmunya masih dangkal tapi sok…..wkwkwkwkwk.

    • Rosyid14/07/2013 at 23:21Reply

      betul banget tuh Mas….di lingkungan saya juga ada orang modelnya kayak gitu,dk bisa bersosialisasi dg masyarakat sekitar kalo jalan nginclug gk bisa senyum gak bisa noleh/nengok kanan/kiri gak kenal orang……hehehe kyak babi hutan aja…..

  31. d@lijo15/07/2013 at 12:39Reply

    …benar dab..jika emang bener pasti bener aja gak usak pake pedang mah bener bener aj…
    coba aja meraka suruh dakwah dimana belum ada islam dengan pemahaman masing masing sperti apa hasilnya…
    jika para pendahulu kita dakwahnya seperti memurnikan islam mungkin saja sampai detik ini hindu budha mayorita di negri ini..kata temenku sih…he he h e gitu mas dab…

  32. Belajarjalan24/07/2013 at 22:56Reply

    Jika anda ingin mendoakan arwah leluhur, arwah orang tua atau kerabat namun anda tak tau bagaimana, tim kami akan dengan senang hati melakukannya untuk anda. Bukannya kami menjual doa tapi kami suka melakukannya.
    Apakah doa yang kami bacakan tepat sasaran? Ada banyak pendapat. Anda boleh googling dan buatlah keputusan anda.
    apakah kami orang palimh suci yamg doanya pasti sampai? tidak. kami orang biasa seperti anda.

    Fitur:
    1. Kami siap datang ke alamat anda.
    2. Kami siap mendoakan arwah selama yang anda minta.
    3. Selain doa dan tahlil, kami juga sudah siapkan tim untuk mengkhatamkan al quran dan pahala ditujukan untuk ahli kubur anda.
    Tag: kirim doa, tahlil, al quran, ahli kubur, arwah leluhur, meninggal dunia, mendoakan, siksa kubur, fitnah kubur.
    kontak saya di
    no hp 085381693229
    email
    imammuttaqin86@gmail.com

  33. Mas Alit Wirabhumi31/07/2013 at 02:06Reply

    Tahlil adalah perbuatan yang baik ,
    Muamalah yang di ajurkan ,
    Meringankan beban ruh ,
    Ketika tiada cahaya menyertainya

    Di alam yang tiada petunjuk ,
    Kegalauan dan keresahan ,
    Sedasyat badai terkuat …
    Semua doa yang menyertainya,
    Menjadi arah ..kedalam kebaikan

  34. A. Amiruddin F.23/09/2013 at 11:46Reply

    Assalamu alaikum wr. wb.

    Saudara-saudaraku yang dimuliakan Allah SWT,

    Allah telah memerintahkan kepada kita, bahwa apabila ada perbedaan pendapat diantara umat muslim, maka hendaklah merujuk (dikembalikan) kepada Al-Quran dan Sunnah Rasulullah (QS An-Nisa ayat 59). Bukan dengan menghina, mencela dan menghujat.

    Semoga Allah memberikan kita rahmah, hidayah, maghfiroh dan petunjuknya agar dapat memahami ajaran Islam dengan sebenar-benarnya. Amin, ya rabbal ‘alamin.

    Wassalamu ‘alaikum wr. wb.

  35. WILDAN26/09/2013 at 21:24Reply

    yang anti tahlil berkoar2 bahwa doa orang talilan gak akan nyampe kpd Allah SWT..mari
    kita doakan keluarga anti tahlil yang meninggal semoga masuk neraka dan disiksa ….
    toh ga akan nyampe ini doa nya.

  36. Arman Ghani28/09/2013 at 18:56Reply

    Pak sarkub, saya minta tolong.
    Di daerah saya tegal sudah banyak kaum wahabi ceramah kesana sini, dan juga ditambah siaran TV Rodja (yang katanya aswaja), tapi menurut saya dan teman2 pndok saya, TV tsb siaran wahabi?
    Banyak lho yang terpengaruh dengan siaran Rodja TV, dll karena mereka menggunakan nama ASWAJA. Tetangga sudah mulai tidak membenarkan tahlil dan kirim doa kepada ahli kubur. Bahkan orang tua saya sendiri juga, saya ingin menangis kalau ingat orang tua saya. Saya di pondok atas kemauan saya sendiri, dan kalau pulang dirumah pasti orang tua saya ceramah dengan gaya wahabi.
    Tolong siaran wahabi bagaimana agar tidak merajalela.

  37. joko07/10/2013 at 08:17Reply

    santai ja kang wildan

  38. spram12/10/2013 at 21:42Reply

    aslm wrbr, sedekah orang hidup sampai keorang mati? sampai, sedekah apakah harus berupa harta? tidak, setiap tahmid itu sedekah, setiap istifar itu sedekah dst………termasuk bacaan tahlil, Allah maha pengasih dan penyayang insya Allah sampai pahala2 itu ke mayit, hadisnya ada? ada, sohih sohih….. berapa? banyak minimal 2, cari sendirilah. amalan orang hidup dikirim ke orang yg hidup, nyampe? nyampai saja. lha kalau ke mayit, nyampai? ya nyampe juga, jadi nggak usah di bingungi, digegeri, dipertentangkan, kita harus sadar bahwa risalah yg dibawa Muhamad saw itu ibadah sesama muslim, pahalanya bisa nyampe ke saudara muslim lainnya termasuk yg sudah pindah alam barzah., yah mungkin ilmu belum kesana………baca baca lagi wallahu alam bishawab waslm wrbr.

  39. Erba11/11/2013 at 13:42Reply

    klw TAHLILANYA ampe hari ke 40,100,1000, mendak pisan, mendak pindo, ampe ko mirip HINDU ya…!!!!

  40. ENDI11/11/2013 at 13:46Reply

    Kadang2 yg dtng kesana motifnya cuman makan, dapat rokok, amplop, pdhl yg datang kesana ada yg gk tahu sama sekali cuman ikut2an doak, lumayan dpt makan gratiiiis bukin perut kenyang yg tekooor n minus yg terkena musibah….!!!

  41. Pi2t11/11/2013 at 13:49Reply

    g mendidik2 brooo…!!!! makan2, minum, dpt rokok n amplop ditempat org yg kena musibaah…!!!! klw bisa dtg kesana ngasih uang plus mendo`akan, itu lebih mendidik2 dan bermartabat..!!!

  42. Aly Ayat Se04/12/2013 at 08:41Reply

    ajib..

  43. Ayatullah Bilah04/12/2013 at 08:49Reply

    ……..

  44. Arif Haidar Bahaudin20/02/2014 at 18:08Reply

    ijin share

  45. Ibnu Abbas19/01/2015 at 15:16Reply

    Imam Syafi’i (wafat tahun 204 H/820 M) dalam Kitab Al-Umm berkata :
    وَأُحِبُّ لِجِيرَانِ الْمَيِّتِ أو ذِي قَرَابَتِهِ أَنْ يَعْمَلُوا لأَهْلِ الْمَيِّتِ في يَوْمِ يَمُوتُ وَلَيْلَتِهِ طَعَامًا يُشْبِعُهُمْ فإن ذلك سُنَّةٌ وَذِكْرٌ كَرِيمٌ وهو من فِعْلِ أَهْلِ الْخَيْرِ قَبْلَنَا وَبَعْدَنَا لأَنَّهُ لَمَّا جاء نَعْيُ جَعْفَرٍ قال رسول اللَّهِ صلى الله عليه وسلم اجْعَلُوا لِآلِ جَعْفَرٍ طَعَامًا فإنه قد جَاءَهُمْ أَمْرٌ يَشْغَلُهُمْ
    Dan saya menyukai apabila tetangga si mayit atau kerabatnya membuat makanan untuk keluarga mayit pada hari meninggal dan pada malam harinya yang dapat mengenyangkan mereka, hal itu sunah dan merupakan sebutan yang mulia, dan merupakan pekerjaan orang-orang yang menyenangi kebaikan, karena tatkala datang berita wafatnya Ja’far, maka Rasulullah Shallallaahu ‘alaihi wasallam bersabda, “Buatkanlah makanan untuk keluarga Ja’far, karena telah datang kepada mereka urusan yang menyibukkan” (Musnad Syafi’I, no. 1688) [Ringkasan Kitab Al-Umm 1, hal. 387]
    Renungan :
    1. Mengapa Imam Syafi’I tidak menyuruh keluarga mayit untuk bersedekah kepada para tetangga?
    2. Mengapa Imam Syafi’I tidak menyuruh keluarga mayit dan para tetangganya untuk membaca al-Qur’an bersama-sama selama tujuh malam (tahlilan)?

  46. Ibnu Abbas19/01/2015 at 15:18Reply

    Imam Nawawi Asy-Syafi’i (wafat tahun 676 H) dalam kitab Al-Majmu’ Syarah Al-Muhadzdzab menjelaskan :
    قَالَ الشَّافِعِيُّ فِي الْمُخْتَصَرِ وَأُحِبُّ لِقَرَابَةِ الْمَيِّتِ وَجِيرَانِهِ أَنْ يَعْمَلُوا لِأَهْلِ الْمَيِّتِ فِي يَوْمِهِمْ وَلَيْلَتِهِمْ طَعَامًا يُشْبِعُهُمْ فَإِنَّهُ سُنَّةٌ وَفِعْلُ أَهْلُ الْخَيْرِ قَالَ صَاحِبُ الشَّامِلِ وَغَيْرُهُ وَأَمَّا إصْلَاحُ أَهْلِ الْمَيِّتِ طَعَامًا وَجَمْعُ النَّاسِ عَلَيْهِ فَلَمْ يُنْقَلْ فيه شئ وَهُوَ بِدْعَةٌ غَيْرُ مُسْتَحَبَّةٍ هَذَا كَلَامُ صَاحِبِ الشَّامِلِ وَيُسْتَدَلُّ لِهَذَا بِحَدِيثِ جَرِيرِ بْنِ عَبْدِ اللَّهِ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ قَالَ " كُنَّا نَعُدُّ الِاجْتِمَاعَ إلَى أَهْلِ الْمَيِّتِ وَصَنِيعَةَ الطَّعَامِ بَعْدَ دَفْنِهِ مِنْ النِّيَاحَةِ "
    Imam Syafi’i berkata dalam Al-Muhtashar : Dan saya menyukai bagi keluarga dekat si mayit dan para tetangganya untuk memberi makanan kepada keluarga mayit dan bisa mengenyangkan mereka selama sehari semalam karena itu sunnah dan merupakan perbuatan ahli kebaikan.
    “Penulis kitab Asy-Syamil mengatakan, ‘Adapun menyiapkan makanan bagi keluarga yang berduka dan mengumpulkan orang-orang kepadanya, itu tidak pernah diriwayatkan sama sekali’”
    Dia menambahkan, ‘Hal ini bid’ah dan tidak dianjurkan, sebagaimana yang telah dipaparkan’.
    Demikianlah perkataan Pengarang kitab Asy-Syamil berdasarkan hadits dari Jarir bin Abdullah Bajali, dia berkata, “Kami (para sahabat) berpendapat bahwa berkumpul-kumpul di rumah keluarga mayit dan membuat makanan sesudah penguburannya termasuk ratapan”
    [lihat Raudhatuth Thalibin 1/139].

    Renungan :
    1. Mengapa Imam Nawawi tidak menyuruh keluarga mayit untuk bersedekah kepada para tetangga?
    2. Mengapa Imam Nawawi tidak menyuruh keluarga mayit dan para tetangganya untuk membaca al-Qur’an bersama-sama selama tujuh malam (tahlilan)?

  47. Ibnu Abbas19/01/2015 at 15:19Reply

    Imam Zaenudin bin Abdul Aziz Al-Malibari Al-Fanani Asy-Syafi’i dalam kitab Irsyadul ‘Ibad menjelaskan :
    Dan dimakruhkan untuk duduk-dudk dan membuat makanan dengan mengumpulkan orang-orang untuk mendatanginya, karena Ahmad meriwayatkan dari Jarir bin Abdullah bin Bajali,
    كُنَّا نَعُدُّ الِاجْتِمَاعَ إلَى أَهْلِ الْمَيِّتِ وَصَنِيعَةَ الطَّعَامِ بَعْدَ دَفْنِهِ مِنْ النِّيَاحَةِ
    “Kami menganggap berkumpul ke tempat keluarga orang yang mati dan membuat makanan setelah penguburannya, termasuk ratapan,”
    Dan disunnahkan bagi para tetangga keluarga mayit, meskipun bukan dari pihak keluarganya dan para kenalan, meskipun bukan tatangga dan kerabat jauh, meskipun mereka berada di negeri lain, memberi makanan kepada keluarga mayit yang mencukupi untuk sehari semalam, dan mendorong mereka supaya makan. Dan haram membuatkan makanan untuk perempuan yang meratap karena hal itu membantu melakukan perbuatan maksiat. [Irsyadul ’Ibad ila Sabilir Rashad, Maktabah Syamilah]
    Renungan :
    1. Mengapa Imam Zainudin tidak menyuruh keluarga mayit untuk bersedekah kepada para tetangga?
    2. Mengapa Imam Zainudin tidak menyuruh keluarga mayit dan para tetangganya untuk membaca al-Qur’an bersama-sama selama tujuh malam (tahlilan)?

  48. Bil Passingsaal10/02/2015 at 00:17Reply

    ijin berbagi ya

  49. Toto Suharto07/07/2015 at 07:10Reply

    Tetep baca Tahlil & Yasin, gak ada salahnya, soal makanannya anggap sodaqoh.

  50. Rio Oman21/12/2015 at 07:44Reply

    sebagai orang awam saya hanya berdoa agaar selalu dirdhoi alloh supaya selalu dalam jalan yang lurus

  51. Lukmanul Hakim24/01/2016 at 19:19Reply

    itu untuk 7 hari, untuk 40, 100 hari dan sterusnya???? mana haditsnya..

Tinggalkan Balasan