Tuduhan “Penyembah Kuburan” pada Sayyid Muhammad bin Alwi Al-Maliki

http://www.sarkub.com/wp-content/uploads/2012/09/sayyid-muhammad-maliki.jpg
Sarkub Share:
Share

http://www.sarkub.com/wp-content/uploads/2012/09/sayyid-muhammad-maliki.jpgDiantara tokoh karismatik yang menjadi sasaran tembak kaum wahabi untuk dirusak reputasinya dengan alasan terjerumus dalam berbagai lumpur bid'ah dan syirik, adalah Sayyid Muhammad al-Maliki, yang memiliki banyak pengikut dan murid yang tersebar diberbagai penjuru Indonesia. Oleh karena reputasi keduanya sangat harum dan pengaruhnya cukup besar di Indonesia, kaum wahabi berusaha merusak citra beliau dengan menyebarkan buku yang isinya menghujat pribadi keduanya secara ideologis, bahwa beliau terjerumus dalam lumpur bid'ah dan kesyirikan.

Dalam kitab Hadzihi Mafahimuna, Shalih alu- Syaikh, berusaha menyematkan stigma negatif kepada al-Sayyid Muhammad bin Alawi al-Maliki dengan melakukan kritik terhadap hadits-hadits terkait ma­salah tawasul. Diantaranya dengan mengatakan bahwa al-Sayyid Muhammad sebagai penyembah kuburan dikarenakan beliau menganjurkan ziarah kubur dengan menulis bab khusus masalah ziarah dalam kitab-nya Mafahim Yajibu an Tushahhah.

Tuduhan seperti ini tentu sangat rapuh secara ilmiah, karena tidak sedikit para ulama yang menulis risalah yang membahas ma­salah keadaan orang-orang yang sudah meninggal se­cara khusus, seperti al-Suyuthi dengan Syarh al-Shudur, al-Hafizh Ibnu Rajab al-Hanbali, al-Sayyid Abdullah al-Shiddiq al-Gumary dengan Ihya' al-Maqbur-nya., termasuk Ibnu Qayyim al-Jauziyah dalam salah satu karyanya dengan tajuk al-Ruh. Dalam kitab tersebut, Ibnu Qayyim menjelaskan keadaan orang yang sudah meninggal, dan interaksi yang terjadi oleh sesama mayit yang dianggap khurafat dan berseberangan den­gan keyakinan Ibnu Taimiyah, demikian juga Mu­hammad bin Abdul Wahhab, kakek Shalih al-Syaikh.

Dalam menanggapi realita ini, kelompok Wahabi mengklaim bahwasanya al-Ruh bukanlah karya Ibnu Qayyim al-Jauziyyah, akan tetapi karya orang lain yang diafiliasikan kepada Ibnu Qayyim. Akan tetapi setelah dilakukan penelitian lebih lanjut, ternyata mem­buahkan hasil bahwa kitab tersebut adalah karya Ibnu Qayyim sendiri. Dan yang lebih mengherankan, sosok yang melakukan penelitian dan yang menegaskan bahwa kitab tersebut merupakan tulisan Ibnu Qayyim ada­lah ulama Wahabi sendiri, Syaikh Bakar Abu Zaid.

 Dalam hal ini, coba kita perhatikan pernyataan seorang Khatimah al-Muhadditsin, al-Hafizh Ibnu Hajar al-Asqalani yang mengatakan:

 "Termasuk pendapat yang paling fatal yang diafiliasikan kepada Ibnu Taimiyah adalah, ketika ia meng­haramkan ziarah ke kubur Nabi SAW".

 Pernyataan Ibnu Hajar di atas memberikan kesim­pulan bahwa Ibnu Taimiyah sangat gegabah dalam menyimpulkan sebuah hadits berikut:

لا تشدّ الرّحال إلّا إلى ثلاثة مسجدي هذا والمسجد الحرام والمسجد الأقصى

“Tidak dianjurkan bepergian kecuali ketiga masjid, masjidku ini (Masjid Nabawi), Masjidil Haram, dan Masjidil Aqsha”

Dengan bertendensi kepada hadits di atas, Ib­nu Taimiyah mengharamkan ziarah ke kubur Nabi SAW Padahal pengertian hadits di atas, sebagaimana penda­pat mayoritas ulama hadits adalah, siapa saja yang ber­nazar i'tikaf di salah satu dari tiga masjid yang disebut di atas, maka tidak boleh berpindah ke selain tiga di atas. Dari sini terlihat betapa gegabahnya sikap Ibnu Taimiyah dalam melakukan klaim haram terhadap, zia­rah kubur Nabi SAW.

Bahkan sekalipun mereka beralasan bahwasanya hadits yang menerangkan tentang kebole­han berziarah adalah hadits dhaif, akan tetapi dengan banyaknya riwayat, maka satu dengan yang lainnya sa­ling menguatkan. Hal tersebut senada dengan keteran­gan al-Sayyid Muhammad bin Alawi al-Maliki dalam Mafahim Yajibu an Tusahhah.

(Disadur oleh Tim Sarkub dari Buku "Ulama Sunni Dihujat, Sisi Gelap dari Kedangkalan Kaum Wahabi" oleh Muhammad Syafiq Alaydrus dengan beberapa perubahan seperlunya)

Subscribe

Thanks for read our article for update information please subscriber our newslatter below

2 Responses

  1. Marhadi19/05/2013 at 08:21Reply

    assalaamu’alaikum . . . .
    wahai saudara2ku,
    berkomentarlah dengan kata2 yang bijak, jauhi kata2 kotor dan provokasi,
    kalau ada yang salah sampaikanlah dengan cara yang hikmah
    ( wa jaadilhum billatii hiya ahsan . . .)

    “Serulah (manusia) kepada jalan Rabb-mu dengan hikmah dan peringatan yang baik serta debatlah mereka dengan cara yang baik.” (an-Nahl: 125)
    Ingatlah oleh kalian nasihat para salafushsholih akan dampaknya sebuah perdebatan.
    “Percekcokan dalam agama itu mengeraskan hati dan menanamkan kedengkian yang sangat.”
    [Thobaqat Syafiiyyah 1/7, Siyar, 10/28]

    • Magribill08/08/2013 at 17:17Reply

      saya ga ngerti kata2 kotor & provokasinya dimana di artikel ini,menurut saya biasa aj sifatnya informatif, ga tau gmn bacanya ni bung marhadi, aneh ente…???

Tinggalkan Balasan