Suamiku Tak Mengizinkan Ikut Majelis Ta’lim

Sarkub Share:
Share

majelis taklim ibu

Diasuh oleh: Ustadz Segaf bin Hasan Baharun, M.H.I.

Pengasuh Pondok Puteri Pesantren Darul Lughah wad Da’wah, Bangil, Jawa Timur

 

Assalamu ‘alaikum wr. wb.

Pak Ustadz, saya seorang ibu rumah tangga yang baru dikaruniai satu anak. Alhamdulillah, Pak Ustadz, hubungan kami, saya dan suami, selama ini baik-baik saja. Tapi ada satu hal yang meng­ganjal, suami saya melarang saya untuk hadir di majelis ta’lim yang biasa saya hadiri sewaktu masih gadis.

Terus terang, Pak Ustadz, saya ini sangat awam dalam ilmu agama. Bisa dibilang, kasarnya, saya ini seperti baru mengenal agama saya sendiri. Alham­dulillah, lewat majelis ta’lim, sedikit demi sedikit saya mulai mengerti ihwal shalat dan hal-hal lainnya, tapi setelah kami me­nikah kok malah suami melarang saya hadir di majelis ta’lim, dengan alas­an melayani suami lebih penting.

Padahal, Pak Ustadz, saya hadir di majelis ta’lim ketika suami tidak ada di rumah. Masih di kantor. Semua pekerja­an rumah pun sudah tuntas saya kerja­kan. Begitu pula urusan anak kami. Pen­dek kata, saya tidak berangkat ke majelis ta’lim kecuali sudah rapi semua urusan di rumah, yang kemudian saya titipkan kepada pelayan kami di rumah. Lalu, saat suami saya pulang ke rumah, saya pun sudah berada di rumah. Dengan kata lain, saya hadir di majelis ta’lim se­minggu dua kali tanpa mengurangi se­dikit pun kewajiban kepada suami.

Pertanyaan saya, salahkah perbuat­an saya? Apakah saya harus menuruti suami dengan tidak lagi menghadiri ma­jelis ta’lim?

Mudah-mudahan Pak Ustadz berke­nan menjawab pertanyaan saya dan semoga Allah SWT membalas semua kebaikan Pak Ustadz.

Wassalamu ‘alaikum wr. wb.

 

———————————— 

 

Jawab :
Wa ‘alaikumussalam wr. wb.

Ibu Fulanah, semoga Allah melanggeng­kan rumah tangga Ibu Dewi dan menjadi­kan Ibu Dewi sebagai hamba Allah yang beriman dan bertaqwa. Amin ya rabbal ‘alamin.

Ibu Fulanah, yang insya Allah dirahmati Allah SWT, apa yang Ibu tanyakan sa­ngatlah baik dan sangat penting. Di satu sisi Ibu harus menaati suami, di sisi lain untuk menjadi seorang hamba yang sha­lihah Ibu ingin menghadiri majelis ta’lim sebagai bekal dan modal untuk mereali­sasikan keinginan Ibu. Lalu, bagaimana pandangan agama menjawab persoalan yang tengah Ibu Dewi hadapi?

Pertama, Ibu Fulanah harus memper­timbangkan kadar ilmu yang Ibu ingin dapatkan pada majelis ta’lim tersebut. Sebab, kadar mencari ilmu ada tiga kategori, yaitu:

1. Kategori wajib, yaitu kadar ilmu yang tergantung kepadanya sahnya iba­dah kita, termasuk di dalamnya pe­rihal munakahah, yaitu hukum-hu­kum di seputar pernikahan.

2. Kategori fardhu kifayah, yaitu kadar ilmu yang menyampaikan kita ke de­rajat seorang mufti, yaitu seorang yang telah dapat memiliki otoritas untuk mengeluarkan fatwa hukum untuk publik.

3. Kategori sunnah, yaitu kadar ilmu yang menyampaikan kita ke derajat seorang mujtahid, yaitu seorang yang telah dapat memiliki kesang­gupan untuk berijtihad.

Jika ilmu yang Ibu cari termasuk ka­tegori ilmu yang wajib Ibu cari, misalnya mengenai hukum haidh, seluk-beluk shalat, zakat, puasa, haji, suami Ibu tidak boleh melarang Ibu untuk hadir dalam majelis ta’lim tersebut, kecuali jika dia sendiri bisa mengajari Ibu kadar ilmu yang Ibu perlukan atau dia bersedia un­tuk menghadirkan seorang guru ke ru­mah Ibu. Jika demikian halnya, Ibu tidak boleh menghadiri majelis ta’lim tersebut dan wajib mentaati suami. Sedangkan jika tidak demikian, Ibu tetap harus ke­luar untuk menghadiri majelis ta’lim, ka­rena sabda Nabi SAW:

“Mencari ilmu hukumnya adalah wajib atas setiap orang muslim” – HR Ibnu Majah.

Dan dalam hal ini Ibu tidak boleh menaati suami Ibu, berdasarkan sabda Nabi SAW:

“Tidak boleh taat kepada seorang makhluk jika dalam hal itu berupa kemaksiatan terhadap Sang Khaliq.” – HR Ad-Daraquthni.

Ibu Fulanah, perlu diingat, walaupun dalam hal ini Ibu tidak wajib menaati suami Ibu dan Ibu harus hadir di majelis ta’lim, caranya harus dengan cara yang baik, dan jangan menggunakan kata-kata bantahan atau yang dapat menying­gung perasaan suami. Diskusikan de­ngan baik atau coba konsultasikan de­ngan orang yang dihormati suami Ibu, se­misal orangtua, guru, atau sahabat de­katnya, untuk memberi pengertian ke­padanya, agar memberi izin kepada Ibu untuk menghadiri majelis ta’lim.

Lain halnya jika kadar ilmu yang Ibu cari termasuk kategori yang fardhu kifa­yah atau sunnah, Ibu wajib menaati sua­mi Ibu dengan tidak hadir ke majelis ta’lim.

Keutamaan Majelis Ta’lim

Ibu Fulanah, perlu diketahui, majelis ta’lim (tempat menuntut ilmu) adalah sebab utama bahkan syarat yang pokok untuk menjadi seorang istri dan wanita yang shalihah. Seharusnya suami me­rasa bangga mempunyai istri seperti Ibu, yang mau menghadiri majelis ta’lim akan tetapi tanpa mengurangi hak suami di rumah. Di zaman globalisasi seperti se­karang ini, banyak sekali wanita yang su­dah lepas kendali dan keluar dari jalur syari’at, disebabkan mereka enggan un­tuk mencari dan menimba ilmu agama di majelis ta’lim. Mereka pun buta akan konsep kebahagiaan yang digariskan syari’at demi mendapatkan kebahagia­an di dunia maupun di akhirat. Kesemua­nya tercantum dan terkandung dalam sya­ri’at Islam, yang selalu diajarkan di majelis ta’lim-majelis ta’lim. Nabi SAW bersabda:

“Ilmu tidak diilhamkan (diberikan) ke­cuali bagi mereka yang sudah dicatatnya se­bagai orang-orang yang bahagia, dan ti­dak akan diharamkan ilmu itu kecuali ke­pada mereka yang dicatatnya sebagai orang sengsara – HR Ibnu Abdil Baar.

Dengan menghadiri majelis ta’lim, se­orang istri dapat mengetahui cara ba­gaimana menjadi seorang istri shalihah, taat beribadah, serta jauh dari segala ke­maksiatan dan lain lain, apalagi selain itu masih banyak keistimewaan dan ke­utamaan serta faidah dari menghadiri ma­jelis ta’lim, sebagaimana disebutkan dalam hadits-hadits serta perkataan para ulama berikut ini:

(Rasulullah SAW bersabda), “Apa­bila aku didatangi oleh suatu hari dan aku tidak bertambah ilmuku pada hari itu yang dapat mendekatkan diriku ke­pada Allah ’Azza wa Jalla, tidak ada ke­berkahan untukku dalam terbitnya mata­hari di hari itu.” – HR Ath-Thabarani.

Hadits ini menunjukkan kepada kita bahwa Rasulullah SAW mengaitkan ke­berkahan waktu dengan ilmu. Hari yang berlalu tanpa ada penambahan ilmu pada hari itu dianggap sebagai tidak mem­bawa keberkahan.

Dari Abu Dzar, ia berkata, Rasulullah SAW bersabda, ”Wahai Abu Dzar, hen­daklah engkau pergi, lalu engkau mem­pelajari satu ayat dari kitab Allah, lebih baik bagimu daripada kamu shalat sera­tus rakaat. Dan hendaklah engkau pergi, lalu engkau mempelajari suatu bab ilmu yang dapat diamalkan ataupun belum da­pat diamalkan, adalah lebih baik daripada engkau shalat seribu rakaat.” (HR Ibnu Majah dengan sanad hasan).

Tentang keutamaan lainnya dari ma­jelis ta’klim dapat pula kita pahami dari nasihat Luqmanul Hakim kepada putra­nya, ”Hai anakku, ketika engkau melihat jama’ah tengah berdzikir (mengingat Allah atau membicarakan ilmu), duduk­lah bersama mereka. Jika engkau pan­dai, bermanfaatlah ilmumu; dan jika eng­kau bodoh, engkau dapat menimba ilmu dari mereka. Sedangkan mereka mem­punyai kemungkinan untuk mendapat­kan rahmat Allah, sehingga engkau akan memperoleh bagian pula.

Dan jika engkau melihat kelompok yang tidak berdzikir, hati-hatilah, jangan mendekati mereka. Jika engkau pandai, tiada manfaat ilmu yang ada padamu; se­dangkan jika engkau bodoh, itu akan menambah kesesatanmu. Ada kemung­kinan mereka akan menerima marah Allah, sehingga engkau akan ikut tertim­pa marah-Nya.”

Al-Faqih Abu Al-Laits As-Samar­qan­di, seorang ulama salaf, mengatakan da­lam kitabnya Tanbih al-Ghafilin, ”Orang yang duduk menghadiri majelis ta’lim, se­kalipun tidak dapat mengingat ilmu yang disampaikan, akan memperoleh tu­juh kemuliaan. Kemuliaan orang yang me­nuntut ilmu adalah mengekang ke­lakuan dosa selama duduk dalam ma­jelis, ketika berangkat menuju majelisnya dilimpahi rahmat Allah, akan ikut mem­peroleh rahmat yang dilimpahkan Allah kepada majelis, dituliskan sebagai amal kebajikan sepanjang memperhatikan apa yang dibicarakan, diliputi para ma­laikat dengan sayapnya, setiap langkah ditulis sebagai kebaikan dan sebagai pe­nebus dosa. Kemuliaan dan keutama­an tersebut bagi mereka yang hanya ha­dir tanpa dapat memahami ilmu yang diterangkan, apatah lagi bagi mereka yang mencatat dan benar-benar mema­hami ilmu yang diajarkan dalam majelis tersebut.”

Sayyidina Umar ibnul Khaththab RA berkata, ”Terkadang orang keluar rumah dengan menanggung dosa sebesar Gu­nung Tihamah. Tetapi ketika ia mende­ngarkan ilmu yang dibahas di suatu ma­jelis ta’lim, ia merasa takut dan bertau­bat. Maka ketika pulang, tanpa disadari­nya ia menjadi bersih dari segala dosa. Oleh karena itu dekatilah majelis ta’lim, karena tiada majelis yang lebih mulia daripada majelis ta’lim.”

Semoga jawaban ini dapat melega­kan Ibu dan semua pembaca alKisah, yang insya Allah dirahmati Allah SWT, dan semoga kita termasuk golong­an yang dicatat sebagai orang yang bahagia dunia akhirat dengan menjadi pecinta majelis ta’lim. Amin ya Rabbal ‘alamin.
 

Sumber : Majalah Alkisah

Subscribe

Thanks for read our article for update information please subscriber our newslatter below

One Response

Tinggalkan Balasan