Pendangkalan Islam Ala Salafi Wahabi

Sarkub Share:
Share

tanduk nejdAwalnya Wahabi adalah sebuah gerakan dakwah, yang diusung oleh Muhammad bin Abdul al-Wahab, seorang Baduwi Najd. Setelah mendapatkan dukungan politik dari Ibnu Sa’ud, seorang politikus handal, Muhammad bin Abdul al-Wahab bersekongkol dengannya membentuk arus oposisi menentang kekuasaan Dinasti Ottoman. Targetnya adalah mewujudkan mimpi terbentuknya kekuasaan independen, yang mengusung ideologi Islam yang bercita-rasa literalis, berorientasi ke belakang (semakin ke belakang mendekati zaman Nabi dianggap semakin murni?), dan mengkebiri cara berfikir religius yang substansial dan multi-dimensional: mencemooh filsafat, mantik dan tasawuf.

Wahabi telah menitik tekankan pada aspek teologi (tauhid) sebagai arena atau wilayah “pemurnian”. Ada pembengkakan wilayah teologi yang diupayakannya. Wahabi berasumsi bahwa ani-tesa tauhid adalah musyrik. Dan musyrik dibagi menjadi dua, yaitu syirik kecil dan besar. Syirik besar bersifat jahri (jelas) adalah sikap yang berlebihan terhadap selain Tuhan, dimana sikap itu sejatinya hanya layak dipersembahkan untuk Tuhan. Jika sikap itu dilakukan, kata Wahabi, maka terejawantahkannya pemberhalaan (tawtsien). Ziarah dan tawashul terhadap kuburan Nabi, para sahabat dan orang-orang salih, sikap memuliakan batu atau sampah, dan mencintai orang-orang salih dianggap oleh Wahabi adalah sikap yang “berlebihan”, karena itu sebagai wujud pemberhalaan. Pandangan ini akan berimplikasi mensejajarkan Nabi dan orang salih dengan batu atau sampah, yang sama-sama tidak boleh disikapi secara berlebihan, lantaran dianggap sama-sama bukan Tuhan. 

Kita tahu bahwa sikap “berlebihan” adalah masalah yang sangat relatif dan kondisional. Terbukti, betapa hidup keseharian adalah cermin bagi kita untuk mengaca diri, betapa kita telah membeda-bedakan cara penyikapan terhadap sekian banyak jenis manusia. Para orang bijak jaman kuno sudah lama mengingatkan kita akan perlunya sikap adil: meletakkan sesuatu (atau manusia) pada tempatnya. Kata Aristoteles dalam Ethica Nicomachea-nya: “Sikap egaliter (musawa) tidak selamanya cerminan dari sikap adil. Adil adalah sikap proporsional, bukan egalitarianisme total”. Kebutuhan seorang mahasiswa berbeda dengan seorang siswa SD, SMP dan seterusnya. Menghadap ke presiden akan berbeda dengan menghadapi wong cilik. Perbedaan adalah wajar untuk mewujudkan rasa adil. Tapi bukan berarti berbeda. Wahabi, yang menyamakan Nabi dan orang salih dengan batu atau sampah, yang dianggap sama-sama makhluknya, kiranya tak tepat mengartikan makna adil. 

Islam idealis dengan patokan teologi rigid yang diandaikan Wahabi menjadikannya sebagai sekelompok Serigala berbulu Domba: menawarkan ke-beradaban dengan cara-cara yang “biadab”. Menyergap kelompok yang lain dan yang berbeda. Nyatanya, setelah gerakan oposan Wahabi mendapatkan bekingan dari Inggris, mereka berhasil memisahkan diri dari Dinasti Ottoman, dan kisah pembantaian terhadap sesama Muslim dimulai. Mekah yang begitu suci dijadikan tempat jagal penyembelihan orang-orang Muslim, yang dianggap sebagai pelaku bid’ah. Wahabi merasa tidak puas menghabisi orang-orang Muslim di kandangnya sendiri (baca; Jazirah Arab), akhirnya Wahabi pun menyembelih orang-orang Muslim Syi’ah di Karbala.  

Jargon pemurnian Islam yang diusung Wahabi menjadi ironi. Lantaran sejatinya mereka bukan memurnikan Islam, tapi mengeringkan Islam. Mendesain Islam sebentuk jalan setapak dan sempit. Sejenis cara berfikir identitas, yang memberikan ukuran-ukuran pasti dan sekematisasi kaku. Siapa pun harus dibentuk, tidak bisa membentuk. Jika sekema itu berbentuk kotak, maka dia harus menjadi kotak. Islam ditonjolkan dalam militansi kesalihan-formalis: bercelana di atas mata kaki, berjenggot, becadar, dll. Hanya dengan itu pula identitas Wahabi dimanifestasikan. Dada kita akan semakin sesak jika kita melihat betapa Wahabi menselaraskan agama dan pemikiran keagamaan. Lantaran Wahabi tak memberikan sedikit pun hak akal dan intuisi untuk didayagunakan dalam bergumul dengan agama. Sementara kita tahu, bahwa pemikiran keagamaan adalah produk ijtihadi penalaran manusia hasil pergumulan dengan agama dan realita. Pemikiran keagamaan akhirnya akan selamanya majemuk.  

Wacana teologi yang diusung Wahabi adalah sejenis wacana yang absen dari percaturan ilmiah, dengan mengembalikannya ke dalam wacana “religius murni” yang bertumpu pada makna literalisme teks-teks primer agama (Quran&hadits), yang bersifat univositas. Bahasa metafor (majaz) adalah barang haram. Berteologi dengan berfikir atau penghayatan-intuitif adalah tindakan kriminal! Syahdan, Wahabi dalam menyikapi ayat-ayat ketuhanan pun tetap berpegang pada makna literalisnya. Yadu-Allah, semisal, diartikan bahwa Tuhan mempunyai tangan, seperti pendapatnya para salaf al-salih, demikian Wahabi berkata. Sejatinya nama besar dan harum “salaf al-salih” di sini sedang dijual sebagai alat legitimasinya. Terbukti, para salaf al-salih dalam menyikapi ayat-ayat ketuhanan, semisal Yadu-Allah, dengan tanpa menentukan makna, dan menyerahkan maknanya kepada Allah. Wa-llahu A’lam. Sementara kita tahu bahwa Wahabi telah menentukan makna literalisnya, dan terperosok ke dalam tajsiem (mempersonifikasi Tuhan yang berjasad). Pengakuan Wahabi sebagai madzhab salaf menjadi musykil. Bahkan, wacana teologi ala Wahabi yang hendak mensakralkan Tuhan, tapi berujung pada desakralisasi Tuhan, bisa jadi akan membawa pada agnostisisme.  

Prinsip Wahabi ini tak selaras dengan ujaran Nabi, bahwa: “al-Quran bagaikan intan permata, yang setiap sisinya memancarkan cahaya yang beragam”. Ini adalah petanda bahwa bahasa al-Quran adalah bahasa yang ambigu dan bahkan ekuivositas (kemajemukan makna). Ada lapisan makna yang terkandung dalam bahasa al-Quran. Karena itu, semisal para teolog, para filsuf dan sufi dalam merumuskan bangunan teologinya dengan epistemologi filosufis-religius, yang diistilahkan Immanuel Kant dan Heidegger dengan “onto-teologi”. Piranti “analogi”, semisal, telah digunakan. Penalaran dan eksperimentasi didayagunakan untuk menyibak kandungan makna al-Quran yang begitu majemuk, demi meraih penyucian dan pensakralan Tuhan yang jitu.

Muhammad Abduh sebagai saksi mata menilai Wahabi adalah gerakan pembaharuan yang paradok: hendak mengibaskan debu taklid yang mengotori, tapi di saat yang sama menciptakan taklid baru yang lebih menjijikan. Muhammad Abduh dan Wahabi sejatinya terikat dalam satu mimpi bersama, yaitu mengembalikan Islam pada masa Islam belum terkotak-kotak dalam beragam sekte. Biasa diistilahkan sebagai “neo-Salafisme”. Tapi keduanya memilih jalan yang berbeda: Abduh melalui jalan rasionalis, sehingga diklaim sebagai neo-Muktazilah; Wahabi melewati jalan literalis, sehingga diklaim sebagai neo-Khawarij. Pangkal paradoksalitas Wahabi tercium oleh Abduh dalam menjatuhkan pembaharuannya pada jalan literlisme, yang menghantarkan pada “taklid baru yang menjijikan”. Berimplikasi pada pendangkalan Islam yang tak bisa dielakkan: menghempas progresif, mendulang regresif. 

Baru-baru ini saya mendapatkan buku murah di pasar buku lowak (azbaciah) yang bertajuk “al-Sa’udiyyun wa al-Irhabi: Ru’yah ‘Alamiyah” (Orang-orang Saudi dan Terorisme: Sebuah Pandangan Dunia): Riadh, 2005. Sejenis bunga rampai, memuat tulisan dari berbagai kalangan. Ada satu sub judul yang membicarakan relasi terorisme dan Wahabi. Cukup beragam tulisan itu: ada yang menohok bahwa Wahabi adalah salah satu sumber merebaknya terorisme, dan ada yang menyucikan Wahabi dari terorisme. Tapi, penyucian Wahabi dari terorisme menjadi sangsi jika kita melihat kenyataan selalu saja ada pihak yang bergabung dalam komplotan terorisme berkedok agama, yang telah menyerap doktrin Wahabi. Dan benarkah kalau mereka hanyalah sekedar oknum?    

 

Oleh Mukti Ali el-Qum 

* Penulis adalah Peneliti Rumah Kitab Bekasi dan alumnus Univ. Al-Azhar Kairo Mesir

Subscribe

Thanks for read our article for update information please subscriber our newslatter below

16 Responses

  1. Srikandi05/07/2013 at 22:37Reply

    wow that was terrible, man

  2. Srikandi05/07/2013 at 22:39Reply

    نجاح باهر أن كان فظيعا، والرجل

  3. QUBURY TOBAT08/07/2013 at 11:32Reply

    ISLAM ADALAH SUNNAH DAN SUNNAH ADALAH ISLAM
    JADI JALANKAN ISLAM DENGAN SUNNAH, BUKAN DENGAN BID’AH

    • Author

      Tim Sarkub09/07/2013 at 05:27Reply

      BENAR, WAHABI ADALAH AHLI BID’AH

  4. syafii17/07/2013 at 13:45Reply

    kang mukti ali adalah satu dari sekian juta cendeki NU, dan ketika kita komparasikan wajah-wajah para wahabi munkin kita tidak akan mendapati orang yang sekaliber kang mukti ali karena pemahaman dan idiologi wahabi tidak memungkinkan untuk menjadikan kaumnya jadi cendeki,ideologi wahabi hanya menelorkan cendek pikiran (pendek pikiran), maaf untuk yang tersinggung

  5. amat fedex22/07/2013 at 06:38Reply

    Barokallahu fiikum….smoga Allah memberi hidayah pada kita

  6. gon22/07/2013 at 16:23Reply

    wahabi adlh org2 pengecut

  7. senyum23/07/2013 at 08:05Reply

    Yuppp…benar wahabi orang2 yang takut masuk nerakanya Allah ‘azza wa jalla (pengecut bgt yaa)

    • murid29/07/2013 at 12:48Reply

      iya ya. mudah2an wahabi tidak membawa nama Syeh Muhammad Bin Abdul Wahab lagi ya karena wahabi memujinya padahal ternyata mendustainya. cari video dengan judul ini sebagai pendukung argumen tadi.

      Habib Rizieq_ Wahabi Memfitnah Syekh muhamad bin Abdul Wahab – YouTube [240p]

      Wallahu a’lam

    • zul25/09/2013 at 07:51Reply

      Emang lo brni masuk neraka??Rasulluah SAW saja masih menangisi dosa dosanya Dan takut terhadap neraka..pdhl Beliau itu makhsum loo..apalagi kita2 semua yg tiada waktu tanpa berbuat dosa..klo gak ada neraka,manusia gak bkal mau beramal:’ngapain ane beramal?toh nanti masuk surga juga’.. dan kpd admin jgn memvonis seseorang kafir tanpa ada bukti yang jelas.. ane bangga disebut wahabi…*

  8. Kowalski24/07/2013 at 05:20Reply

    wahabi menyedihkan…..

  9. lakone wonk cepoe04/08/2013 at 10:40Reply

    yg jelas kolaborasi salapi wahabi n bani suud cs .mereka takut kalah pamor, yg mestinya arab itu kudu dipimpin oleh zuriyah rasul,makanya dihiilangkan apa sj yg bsa bangkitkan cinta kaum habaib dn dimusnahkan peninggalan2 nabi ,dg dalih tauhidsetali 3 uang ulama salapi jg psti tkt kehilangan jabatan di arab saudi yg harrusnya dikuasai oleh cucu2 nabi.coba angan2,jk tak ada kakbah dn mkm nabi rasanya tak mungkin kta kesana klu cuma liat padang pasir tandus,x lg arab hrsnya yg brhak jd raja adlh zuriyah rasul

  10. lakone wonk cepoe04/08/2013 at 11:12Reply

    maap,mingsih kurang gan!!,bahkan denger2 ada yg bwt silsilah palsu agar nasab bani suud nyambung kenabi,ya semua cr dilakukan kaum wahabi cs,untuk tanamkan pengaruh dn yg sok suci sndri ,yg trahir ini yg aneh bin ajaib wktu km haji dibagi2kan buku2 doktrin buku kaset dll, eee!penulisnya mahrus aly, apa yg dari jatim itu to?liat potonya sj kek org skt jiwa,kok bsa ya ulama2 arab percaya dg org kentir,yg mengaramkan minyak goreng,ayam,maap jk mmng btul .sungguh aneh!!!!

  11. ane16/09/2013 at 00:14Reply

    om admin kl ngomong itu pake hujjah jangan pake filsafat… banyak cerita bohong campur samar pula… adeh…. benci banget sama wahabi… ente gerah ya di serang habis keborokan sufi di karangan ulama dari dulu hingga kini… makanya dilanjutkan oleh kroco-kroconya… jelas muslim itu harus berpemahan Quran dan Sunnah tp menurut pemahamannya siapa coba..? sampeyan ?! ya nggak lah harus pemahaman para shahabat salaf (generasi terdahulu).

    jadi…… jelas… siapa yang terang siapa yang gelap… ane selama jadi santri NU masih gelisah… mas… ko kayak gini ya?! yang ane pelajari… jadi KONSPIRASI KEMAKMURAN ane LABIL Islam jadinya… makanya ane cari ISLAM yang masih MURNI biar g LABILISASI Iman begitu…. hayo dah ngaku… semakin masuk jurang filsafat tasawuf semakin pusing dan muter2…

    • Dani21/10/2013 at 20:24Reply

      Wot, masih ada aja yang ngaku santri NU, sejak kapan ada namanya santri NU mas, goblok kok ngeyel

  12. mega mendung02/10/2013 at 08:06Reply

    Waspada dan jauhi bid’ah aqidah yaitu aqidah tajsim & tasybih …

Tinggalkan Balasan