Nabi Isa AS Termasuk Ummat Sayyidina Muhammad SAW

http://www.sarkub.com/wp-content/uploads/2012/09/sayyid-muhammad-maliki.jpg
Sarkub Share:
Share

Salah satu dari sosok pribadi yang agung di dalam umat ini adalah seorang Nabi dari para Ulul-‘Azm, Al-Masih ‘Isa putera Maryam a.s. Kelak pada waktu beliau turun, akan menjadi seorang anggota dari umat ini dalam keadaan tetap sebagai Nabi. Bahkan ada kelompok ulama yang berpendapat, bahwa beliau a.s. adalah termasuk seorang shahabi (sahabat Nabi Muhammad Shalallahu alaihi wa aalihi wa shahbihi wa salam), karena akan bertemu dengan Nabi Muhammad Shalallahu alaihi wa aalihi wa shahbihi wa salam sebagai orang yang beriman dan men-toMzo-kan be­liau.

Apabila Nabi ‘Isa a.s. sudah turun (kembali ke tengah kehidupan manusia) beliau akan berpegang pada syariat Nabi kita Muhammad Shalallahu alaihi wa aalihi wa shahbihi wa salam Karena itu Nabi ‘Isa a.s. kelak akan salat berjamaah dengan kaum Muslimin.

Demikianlah menurut sebuah hadits di dalam Ash-Shahihain (Bukhari/Muslim) yang dituturkan oleh Abu Hurairah r.a.: Rasulullah Shalallahu alaihi wa aalihi wa shahbihi wa salam bertanya (kepada para sahabatnya):
كيف انتم اذا نزل ابن مريم فيكم وامامكم منكم – وفي صحيح مسلم : كيف بكم اذا نزل ابن مريم فيقال صل بنا . فيقول : لا . ان بعضكم على بعض امراء تكرمة لهذه الأمة . وفي مسند أحمد : فإذا بعيسى فيقال : تقدم فيقول ليتقدم امامكم فليصل بكم

“Bagaimanakah (pendapat) kalian jika Imam putera Maryam tu­run dan berada di tengah kalian, (sedangkan) kalian seorang dari kalian sendiri?”

Dalam Shahih Muslim :

“Bagaimana (perasaan) kalian jika putera Maryam turun, lalu kepadanya diminta, ‘Imamilah salat kami’,

tetapi ia menjawab : 

‘Tidak, karena kalian satu sama lain ada­lah penguasa (umara’). Itu adalah penghormatan-(ku) kepada umat ini.”

Di dalam Musnad Ahmad bin Hanbal disebut,

“Tiba-tiba tu­runlah ‘Isa,

lalu kepadanya diminta,

‘Silakan maju’,

tetapi ia menja­wab,

"Maju sajalah Imam kalian lalu mengimami salat kalian.'”

Di dalam Sunan Ibnu Madjah disebutkan, bahwa Isa berkata kepada Imam (kalian),

“Salatlah, karena salat itu didirikan bagi Anda.”

Kesimpulannya adalah, banyak diberitakan hadits-hadits yang menu­turkan bahwa ‘Isa a.s. salat sebagai ma’mum pada hari turunnya khali­fah umat Nabi Muhammad Shalallahu alaihi wa aalihi wa shahbihi wa salam Meskipun beliau a.s. merupakan salah seorang dari umat ini dan salah seorang pengikut Nabinya umat ini (Muhammad Shalallahu alaihi wa aalihi wa shahbihi wa salam), namun ‘Isa a.s. adalah seorang Rasul dan Nabi yang mulia. Tidak seperti yang disangka oleh sementara orang yang berpen­dapat, bahwa beliau a.s. akan datang sebagai salah seorang dari umat ini tanpa predikat kenabian dan kerasulan. Yang berpendapat demikian itu tidak mengerti, bahwa dua predikat itu tidak hilang karena kematian. Apalagi kalau datang dalam keadaan hidup!

Di dalam Ash-Shahihain (Bukhari dan Muslim) terdapat sebuah hadits yang menyatakan seba­gai berikut,

“Tak lama lagi akan datang di tengah kalian putera Mar­yam sebagai hakam (arbitrator, wasit, penengah) yang adil. Ia akan menghancurkan salib, membunuh babi, dan menghapuskan pajak.”

Hadits tersebut menambah jelas hadits lainnya yang dituturkan oleh Ab-dullah bin Mighfal, yaitu,

“Kelak Isa putera Maryam akan turun un­tuk membenarkan Muhammad (Shalallahu alaihi wa aalihi wa shahbihi wa salam) dan agama beliau Shalallahu alaihi wa aalihi wa shahbihi wa salam (Diriwayat­kan oleh ThabranI dan dikutip oleh Zarqanl V/349).

Di antara para Rasul tidak ada seorang Rasul yang diikuti oleh Rasul lainnya dan mau mengamalkan syariat Rasul yang diikuti itu atau mau meninggalkan syariatnya sendiri. Hanya junjungan kita saja­lah, Nabi Muhammad Shalallahu alaihi wa aalihi wa shahbihi wa salam yang syariatnya kelak akan diikuti oleh para Nabi. Sebab beliau Shalallahu alaihi wa aalihi wa shahbihi wa salam adalah nabinya para Nabi.

Kabar Gembira Akan Masuk Surga bagi Umat Ini, Baik yang Terda­hulu Maupun yang Kemudian

Sebuah hadits dari Abu Amamah Al-Bahill menuturkan, bahwasanya Rasulullah Shalallahu alaihi wa aalihi wa shahbihi wa salam menyatakan:

طوبى لمن راني وآمن بي وطوبى – سبع مرات – لمن لم يراني وآمن بي

“Beruntunglah orang yang pernah melihatku dan ia beriman kepadaku, dan Beruntunglah —tujuh kali— bagi orang yang tidak pernah meli­hatku, namun ia beriman kepadaku.”

Hadits tersebut diketengahkan oleh Ahmad dan Bukhari di dalam At-Tarikh, dan juga diketengahkan oleh Ibnu Hibban dan Al-Hakim dengan lafal:
طوبى لمن رآني وآمن بي – مرة – وطوبى لمن لم يراني وآمن بي سبع مرات

“Beruntunglah—satu kali—orang yang pernah melihatku dan ia beriman kepadaku. Beruntunglah orang yang tidak pernah meli­hatku, namun ia beriman kepadaku—tujuh kali—.”

Hadits tersebut dibenarkan oleh Al-Hakim. Kebenaran hadits itu di­buktikan oleh hadits Anas yang diketengahkan oleh Ahmad (bin Han­bal) dan diriwayatkan oleh Ath-Thayalisiy serta Abd bin Humaid, ber­asal dari Ibnu ‘Umar yang menuturkan sebagai berikut :
ارايت من آمن بك ولم يرك وصد قك ولم يرك . فقال : اولائك اخواني اولائك معى طوبى لمن رآنى وآمن بى طوبى لمن آمن بى ولم يرانى – ثلاث مرات –

Rasulullah Shalallahu alaihi wa aalihi wa shahbihi wa salam ditanya,

“Bagaimanakah menurut Anda, orang yang beriman kepada Anda, meski ia tidak pernah melihat Anda; dan orang yang membenarkan Anda meski ia tidak pernah melihat An­da?”

Beliau Shalallahu alaihi wa aalihi wa shahbihi wa salam menjawab,

“Mereka adalah saudara-saudaraku, mereka bersamaku. Beruntunglah orang yang pernah melihatku dan beriman kepadaku! Beruntunglah orang yang beriman kepada­ku, meski ia tidak pernah melihatku—tiga kali.”

Sebuah hadits yang diketengahkan oleh ThabranI (dari sejumlah perawi yang dapat dipercaya) dan diketengahkan juga oleh Al-Hakim dan berasal dari Abdullah bin Bisr (sebagai hadits marfu°) menuturkan, bahwasanya Rasulullah Shalallahu alaihi wa aalihi wa shahbihi wa salam menyatakan:
طوبى لمن رآني وآمن بي وطوبى لمن رآى من رآني وطوبى لمن رآى من رآنى طوبى لهم وحسن مآب

“ Beruntunglah orang yang pernah melihatku dan beriman kepadaku, dan beruntunglah orang yang sempat melihat orang yang pernah melihatku, beruntunglah orang yang sempat melihat orang yang pernah melihatku (dua kali). Beruntunglah mereka, dan mereka (akan beroleh) tempat kembali yang baik.”

Dalam sebuah hadits yang diketengahkan oleh Ahmad dan Ibnu Hibban terdapat tambahan, yaitu ketika Rasulullah Shalallahu alaihi wa aalihi wa shahbihi wa salam ditanya ten­tang apa arti atau yang dimaksud dengan “beruntunglah” (thuba), be­liau menjawab, “Sebuah pohon di dalam surga.”

Dengan hadits-hadits tersebut di atas, jelaslah bahwa keutamaan iman kepada Rasulullah Shalallahu alaihi wa aalihi wa shahbihi wa salam merupakan keniscayaan bagi yang terdahulu maupun yang belakangan.

Keutamaan Umat Nabi Muhammad Shalallahu alaihi wa aalihi wa shahbihi wa salam, yang Terdahulu dan yang Kemudian adalah Pasti

Mengenai keutamaan kaum Muslimin yang hidup sezaman dengan Rasulullah Shalallahu alaihi wa aalihi wa shahbihi wa salam, tidak ada perbedaan pendapat. Hal ini ditunjukkan oleh sebuah hadits di dalam Shahih Bukhari/’Muslim dan kitab-kitab hadits lainnya, yang menuturkan bahwasanya Rasulullah Shalallahu alaihi wa aalihi wa shahbihi wa salam menegas­kan:
خير الناس قرني ثم الذين يلونهم ثم الذين يلونهم

“Manusia-manusia—beriman—yang terbaik adalah generasiku (qarni, yakni yang hidup sezaman denganku), kemudian menyu­sul generasi berikutnya, lalu generasi berikutnya (lagi).”

Menurut para ulama, yang dimaksud ialah zaman hidupnya para sahabat Nabi Shalallahu alaihi wa aalihi wa shahbihi wa salam, yakni dalam kurun waktu kurang-lebih mulai tahun bi’tsah (awal kenabian) hingga 120 tahun kemudian. Mengenai kurun waktu itu terdapat perbedaan pendapat, khususnya mengenai batasan akhirnya, yaitu wafatnya seorang sahabat-Nabi yang terakhir, bernama AbuAth-Thufall.

Adapun yang disebut oleh Rasulullah Shalallahu alaihi wa aalihi wa shahbihi wa salam “lalu generasi berikut­nya”, yakni generasi setelah generasi para sahabat, ialah generasi kaum tabi’In yang kurun waktunya kira-kira 70 atau 80 tahun sesudah tahun ke-100 bi’tsah. Kemudian yang dimaksud “lalu generasi berikutnya (lagi)” adalah generasi sesudah kaum tabi’In, yang lazim disebut tabi’t-tabi’In. Kurun waktunya kurang-lebih antara 120 dan 150 tahun. Semua yang tersebut di atas, menunjukkan umat Islam yang terdahulu (pertama) adalah lebih utama (afdhal) daripada generasi-generasi berikutnya. Na­mun Abu ‘Uraar bin Abdul-Birr berpendapat, bisa terjadi ada orang yang hidup sesudah generasi sahabat lebih afdhal daripada orang-orang yang termasuk generasi sahabat.

‘Umar bin Al-Khaththab r.a. menuturkan, “pada suatu saat, ketika saya bertemu dengan Rasulullah Shalallahu alaihi wa aalihi wa shahbihi wa salam, beliau Shalallahu alaihi wa aalihi wa shahbihi wa salam bertanya, “Tahukah kalian hamba Allah (al-Khalq) yang lebih afdhal karena imannya?” Kami menjawab, “Malaikat.” Beliau menyahut, “Itu sudah menjadi hak me­reka. Selain mereka?” Kami menjawab, “Para Nabi.” Beliau menyahut, “Itu sudah menjadi hak mereka. Ada selain mereka.” Kemudian Ra­sulullah Shalallahu alaihi wa aalihi wa shahbihi wa salam melanjutkan, “Manusia paling afdhal keimanannya ada­lah mereka keturunan orang-orang yang beriman kepadaku meskipun tidak pernah melihatku. Mereka itulah yang paling afdhal karena keimanannya.”

Hadits di atas diketengahkan oleh Thabrani dengan isnad baik. Ju­ga diketengahkan oleh Abu Dawiid Ath-Thayalisi dan dinilai baik oleh Ibnu Abdul-Birr.

Hadits yang lain lagi, yang dituturkan oleh Abu ‘Ubaidah bin Al-Jarrah r.a. adalah sebagai berikut.

قال :رسول الله ,هل احد خير منا اسلمنا معك وجاهدنا معك ؟ قال : قوم يكونون من بعد كم يؤمنون بى ولم يرانى
– رواه احمد , طبراني والحاكم-

Ia—’Ubaidah bin Al-Jarrah—bertanya, “Ya Rasulullah, adakah orang lain yang lebih baik daripada kami? Kami memeluk Islam lang­sung dari tangan Anda dan kami berjihad bersama Anda.” Beliau menjawab, “Mereka adalah orang-orang yang akan datang sesudah kalian, beriman kepadaku dan tidak pernah melihatku.” (HR Ahmad, Thabrani, dan Al-Hakim).

Kami tidak bermaksud mengetengahkan perbedaan pendapat di kalangan para ulama mengenai masalah kesamaan antara umat yang terdahulu dan yang terakhir dalam hal mana yang lebih afdhal. Namun hal itu tidak menjadi kendala bagi kami untuk membicarakan kesak­sian dan pendapat Rasulullah Shalallahu alaihi wa aalihi wa shahbihi wa salam mengenai itu.

Sumber : Habib Ahmad bin Jindan dari Terjemahan Syarah al-Ummah al-Muhammadiyyah, Karya Sayid Muhammad bin Alawi al-Maliki al-Hassani.

 

Subscribe

Thanks for read our article for update information please subscriber our newslatter below

One Response

  1. الملك|ᴮᴵᴬᴺᴳᴷᴬᴸᴬ|كالا22/12/2017 at 21:20Reply

    ijin ngeposting om ustadz:
    Dαri Anαs bin mαlik rα, sαw bersαbdα: Shαlαt, kiblαt dαn sembelihαn kitα BERBEDA DARI shαlαt, kiblαt dαn sembelihαn umαt lαin. (HR.Nαsα’i,4917 | HR.Bukhαri,379 | HR.Abu Dαud,2271)

    Dαri Jαbir rα, sαw bersαbdα: Isα MENOLAK shαlαt DENGAN cαrα islαm. (HR.Muslim,225 | HR.Ahmαd,14193,14595)

    Yohαnes 2:21…Bαit Allαh IALAH tubuh-Nyα sendiri.

Tinggalkan Balasan