MTA Berdalih Kembali pada Al-Qur’an

Sarkub Share:
Share

Gedung megah berdiri tegak di seberang Kraton Surakarta (Solo). Nuansa warna biru cukup mendominasi gedung bertingkat itu. Konon pembangunannya menghabiskan dana Rp 13 miliar, dibangun selama 11 bulan. Semua dana itu, kata “yang punya”, dikumpulkan secara swadaya oleh jama’ah pengajian. Luar biasa, bukan?

 

Itulah gedung pusat Majlis Tafsir Al-Quran (MTA) yang beralamat di Jl. Ronggowarsito, Solo. Di gedung itu, seminggu sekali digelar Pengajian Ahad Pagi atau biasa disebut dengan Jihad Pagi. Di tempat itu pula, MTA mendirikan beberapa lembaga pendidikan formal.

 

Gedung itu kini berusia hampir tiga tahun setelah diresmikan pada Ahad (08/03/ 2009). Tak tanggung-tanggung, peresmian dilakukan langsung oleh Presiden Republik Indonesia Susilo Bambang Yudhoyono (SBY). Kala itu, Any Yudhoyono juga turut hadir mendampingi Presiden. Tampak juga para menteri Kabinet Indonesia Bersatu Jilid I. Antara lain Menteri Agama, Menteri Kesehatan, Menteri Kominfo, Mensesneg dan beberapa menteri lainnya. Hadir juga Ketua MPR RI Dr Hidayat Nur Wahid, Gubernur Jawa Tengah, Walikota dan Muspida Kota Solo serta ribuan warga Solo dan sekitarnya.

 

“Kemunduran bangsa ini, terutama umat Islam di negara kita ini, bukan karena bangsa lain tetapi karena semakin jauhnya umat Is­lam ini dari sumber hukumnya sendiri yaitu Al-Quran dan As- Sunnah. Keyakinan umat sekarang ini sudah mulai tercampur dengan khurafat, tahayul, gugon tuhon dan syirik. Terbukti dengan kejadian akhir-akhir ini bahwa umat kita lebih percaya kepada dukun cilik Ponari dari Jombang daripada dokter, bahkan kotoran bekas mandi-nya Ponari yang berupa lumpur lebih diyakini daripada obat yang diberikan oleh para dokter. Karena itu umat ini tidak akan bisa kembali jaya sebagaimana umat pada masa Rasulullah apabila tidak mau kembali kepada tuntunan yang sebenarnya yaitu Al-Quran dan As-Sunnah, karena memang hanya itulah yang diwariskan oleh Rasul agar kita tidak sesat,” demikian sambutan Ke­tua Umum MTA Ustadz Drs Ahmad Sukina di hadapan presiden sebagai­mana dilansir mta-online.

 

Nama lengkap lembaga ini adalah “Yayasan Majlis Tafsir Al-Quran”. Didirikan pada tahun 1972 oleh (Alm.) Ustadz Abdullah Thufail Saputra dengan misi sebagai lembaga pendidikan dan dakwah Islamiyah. Setelah pendiri wafat, Ustadz Su­kina (dalam logat Jawa diucapkan Sukino) melanjutkan estafet kepemimpinannya hingga sekarang.

 

Menurut Sekretaris Umum MTA, Yoyok Mugiyatno, MTA menekankan dakwah pada pengamalan Al-Quran dan Sunnah secara murni, sehingga jamaah atau siswa MTA diharuskan menjauhi amalan-amalan yang tidak ada dasarnya dalam kedua sumber Islam tersebut. Jika ada suatu amalan yang kualitas hadisnya dhaif, maka MTA juga menyerukan agar amalan itu ditinggalkan.

 

“Banyak amal lain yang oleh gerakan kembali ke Al-Quran dan As-Sunnah dipandang sebagai laisa minal Islam, takhayul, bid’ah, dan khurafat ditinggalkan,” demi­kian tulis Yoyok Mugiyatno dalam artikelnya “Beda Boleh, Putus Silaturahmi Jangan” yang dimuat Jawa Pos pada pertengahan April 2011 silam.

 

Senada dengan itu, dalam situs resmi MTA dijelaskan, didirikannya MTA adalah dengan tujuan untuk mengajak umat Islam kembali ke Al-Qur’an. Sesuai dengan nama dan tujuannya, pengkajian Al-Qur’an dengan tekanan pada pemahaman, penghayatan, dan pengamalan Al- Qur’an menjadi kegiatan utama MTA.

 

Lebih lanjut dijelaskan, pendirian MTA dilatarbelakangi oleh kondisi umat Islam pada akhir dekade 60 dan awal dekade 70. Sampai pada waktu itu, umat Is­lam yang telah berjuang sejak zaman Belanda untuk melakukan emansipasi, baik secara politik, ekonomi, maupun kultural, justru semakin terpinggirkan. Kala itu, Ustadz Abdullah Thufail Saputra, seorang mubaligh yang karena profesinya sebagai pedagang mendapat kesemptan untuk berkeliling hampir ke seluruh In­donesia, kecuali Irian Jaya, melihat kondisi umat Islam di Indonesia yang semacam itu disebabkan karena umat Islam di Indonesia kurang memahami Al-Quran. Oleh karena itu, sesuai dengan sabda Nabi SAW bahwa umat Islam tidak akan bisa menjadi baik kecuali dengan apa yang telah menjadikan umat Islam baik pada awalnya, yaitu Al-Quran.

 

“Ustadz Abdullah Thufail Saputra yakin bahwa umat Islam In­donesia hanya akan dapat melakukan emansipasi apabila umat Islam mau kembali ke Al-Quran. Demikianlah, maka Ustadz Abdullah Thufail Saputra pun mendirikan MTA sebagai rintisan untuk mengajak umat Islam kembali ke Al-Quran,” demikian tulis situs tersebut.

 

Sejak saat itulah, MTA memulai gerakan dakwah dan pendidikannya yang berpusat di Solo. Namun perlahan-lahan MTA berkembang di berbagai daerah, terutama di Jawa Tengah. Banyak orang yang mengikuti pengajian di forum-forum MTA.

 

Kegiatan utama MTA adalah pe­ngajian. MTA membaginya dalam khusus. Dimaksud pengajian umum karena dibuka untuk umum, jamaahnya (biasa disebut peserta MTA) tidak terdaftar dan tidak diabsen. Materi pengajian lebih ditekankan pada hal-hal yang diperlukan da­lam pengamalan agama sehari-hari. Pengajian umum ini hanya diselenggarakan oleh MTA Pusat selama satu minggu sekali pada hari Ahad pagi yang menjadi “produk” andalan MTA.

 

Sedangkan pengajian khusus adalah pengajian yang pesertanya terdaftar dan ada standar kurikulum yang diberikan secara berkala. Pengajian ini dilaksanakan seminggu sekali, baik di pusat maupun di perwakilan-perwakilan dan cabang-cabang, dengan guru pengajar yang dikirim dari pusat atau yang disetujui oleh pusat.

 

Selain itu, MTA juga mendirikan beberapa lembaga pendidikan for­mal. Yang sudah berdiri antara lain; TK, SMP dan SMA. Di samping memperoleh pengetahuan umum berdasar kurikulum nasional yang dikeluarkan oleh Kemendiknas, siswa SMP dan SMA MTA juga memperoleh pelajaraan diniyah seputar bimbingan beribadah dan bermu’amalah. Mereka diwajibkan tinggal di asrama yang disediakan oleh sekolah.

 

Dari Katering Sampai Radio

Tak hanya itu, MTA juga mengadakan beberapa kegiatan sosial, kesehatan dan penguatan ekonomi pesertanya. Menurut salah seorang sumber di PCNU Solo, salah satu keunggulan MTA sehingga pesertanya meningkat tajam adalah karena menggunakan strategi pengu­atan ekonomi. Banyak orang-orang yang awalnya berpenghasilan rendah, bahkan pengangguran, berubah menjadi berpenghasilan tinggi setelah difasilitasi oleh MTA.

 

“Kalau ada pameran buku-buku Islam di Solo, 90 persen peserta pameran adalah peserta MTA. Saya yakin itu semua diorganisir secara rapi oleh MTA mulai dari nol hingga bisa mandiri seperti itu,” katanya.

 

Selain bisnis penjualan buku, para peserta MTA juga mendominasi bisnis katering di Solo. Mereka biasa melayani pesanan makanan mulai dari katering di kantor-kantor hingga katering untuk acara-acara besar seperti pesta pernikahan dan sebagainya.

 

“Bahkan saya pernah bongkaran rumah kemudian menggunakan jasa transportasi dan beberapa kuli bangunan. Saya tidak menyangka, ternyata para kuli bangunan itu diorganisir oleh MTA juga. Saya rasa itulah salah satu cara yang membuat orang-orang bisa solid dan banyak yang bergabung dengan MTA,” lanjutnya.

 

Dari mana dananya? Dalam si­tus resminya, MTA membantah bahwa lembaganya memperoleh bantuan dana dari luar negeri atau partai politik tertentu. MTA menegaskan, semua pendanaan MTA dilakukan secara swadaya bersama para pesertanya.

 

“MTA membiayai seluruh kegiatannya sendiri karena warga MTA yang ingin berpartisipasi dalam setiap kegiatan harus berani berjihad bukan hanya bil anfus, akan tetapi juga bil amwal, karena memang demikianlah yang dicontohkan oleh Nabi dan para sahabatnya,” tulis situs itu.

 

MTA juga mengelola beberapa media komunikasi untuk berdak­wah. MTA telah memiliki majalah bulanan yang sudah terbit sejak tahun 1974 dan menerbitkan bebe­rapa buku keagamaan. Bahkan, MTA memiliki radio komunitas yang bersiaran di frekwensi fin dan radio swasta di Kabupaten Sragen. Keduanya terbilang efektif untuk menyuarakan visi dan misi MTA.

 

Menurut H. Slamet Effendy Yusuf, mantan Ketua Umum PP GP Ansor itu, ia menduga sepertinya memang ada sponsor dari negara lain sehingga mereka bisa berbuat seperti itu: memiliki uang, mendirikan masjid-masjid dan mendirikan radio-radio. Tujuannya adalah menggelar apa yang mereka katakan sebagai pemurnian islam. ”Mereka lupa bahwa aspek budaya dan tradisi yang hidup di masyarakat tidak dengan sendirinya ditindas, tapi diakomodasi, disesuaikan dengan ajaran-ajaran Islam. Bukan seperti yang dilakukan oleh teman-teman (MTA) itu,” jelasnya.

 

Siaran Jihad Pagi yang diasuh oleh Ustadz Sukina adalah acara favorit para pendengar radio itu. Materi acara bersumber dari Penga­jian Ahad Pagi di gedung MTA Pusat, kemudian disiarkan secara live oleh radio dan disiarkan secara streaming melalui website. Di forum itu, Ustadz Sukina berceramah dan menjawab berbagai pertanyaan peserta seputar akidah dan syariah, termasuk amaliah-amaliah yang biasaj dipraktikkan oleh warga NU.

 

(Disadur dari Majalah AULA Edisi Juni 2011 dengan sedikit perubahan seperlunya tanpa merubah maksud dan tujuan dari isi berita)

 

www.sarkub.com

Subscribe

Thanks for read our article for update information please subscriber our newslatter below

17 Responses

  1. jarwo05/06/2012 at 19:58Reply

    ahhh…slamet effendi yusuf…hanya berburuk sangka…..

    • kromo07/06/2013 at 12:46Reply

      iya…..MTA ga punya masjid ko…..ngawur dia…

  2. Gak Ngerti Bro23/10/2012 at 17:55Reply

    Kenapa H.Slamet Efendi Yusuf harus menduga, ditanyakan langsung sj ke MTA bagaimana caranya mengurus Dana u/pembangunan Gedung MTA atau mencairkan Dana scr cepat ? Seandainya benar, beruntung pemerintah tidak menggunakan APBN nya u/ mendanai tempat menggodok umat yg biasanya agak tiadak cocok bila dihubungkan dg politik, krn akan sia2(terlanjur dibantu,ternyata ga milih waktu pemilu,ah…tapi seandainya tdk dibantupun kalo warga MTA pasti mendukung siapapun kalo mau berbuat baik(mis:dlm Pemilu,dsb)

  3. Abu Yazid25/05/2013 at 14:11Reply

    MTA lebih muda dari NU, jika pendanaan MTA dari warga MTA dan usaha mandiri MTA benar adanya, bisa dicontoh semangatnya MTA, kalo tentang beda pendapat, ndak perlu ampe brantem argumen ato adu pisik, yang diyakini itu benar menuru NU ya silahkan dilanjutkan apa yang menurut MTA benar ya silahkan saja, asal masi sholat wajib,puasa wajib, zakat dan dakwah untuk islam ndak perlu di ributin, di sayangkan kejadian anarkis di kudus, blora yang seharusnya tidak terjadi(memalukan islam vs islam)

  4. pram11/06/2013 at 22:46Reply

    mas salah iku kantor MTA iku di depan pura mangkunegaran , kalo nulis post yang bener donk, karena depan belakang’e kraton solo itu alon alon lor depane alon alon lor pun jl salmet riyadi,,,,, koreksi aja ya

    • samingan26/10/2013 at 21:42Reply

      ketahuan kalau lebih percaya “jare – jare” yo mas…..

  5. Pencariilmu16/09/2013 at 19:45Reply

    Yang jelas MTA Pusat telah meresmikan perwakilannya di seluruh wilayah yang ada di Indonesia lebih dari 127 cabang… di adakan di Gedung ISTORA Senayan Jakarta, semakin luas Dakwah yang akan disampaikan tentang pemahaman terhadapal Qur’an dan Assunnah…semoga semua umat Islam dapat menerima Islam secara benar dan lurus melalui kajian yang disampaikan oleh majlis MTA ini.

  6. agus sunaryo28/10/2013 at 13:40Reply

    mohon semua pihak bersabar dengan pikiran yg jernih
    pengalaman saya, selama mendengarkan kajian mta semua berdasar dari quran dan sunnah. bahkan dengan rutin mendengarkan radio, yg dulu iman saya bisa dikatan labil sekarang jadi lebih baik. jadi tolong sesama muslim itu saudara jangan saling mencari kebenaran sepihak mari selesaikan dengan obyektif. mohon pahami dengan baik surat al ahzab 36. semoga Alloh memberi jalan yg terbaik. Amin

  7. helmi03/11/2013 at 22:28Reply

    السَّلاَمُ عَلَيْكُمْ وَرَحْمَةُ اللهِ وَبَرَكَاته
    Semoga اللّه masih berkenan membagi hidayahNya kepada saudara2 dan membuka mata hati serta melembutkan hati saudara2 sekalian sehingga bisa membedakan yang haq adalah haq, dan yang bathil adalah bathil.
    Sekedar wacana singkat, budaya indonesia, terutama jawa berdasar dari agama hindu. Walisongo masih mentolelir beberapa istiadat agar Islam bisa masuk dengan metode asimilasi, pelan2 menghilangkan peradaban yang menyembah kepada selain اللّه. Namun sangat disayangkan bahwa para penerus walisongo tidak mengemban amanah dengan baik sehingga proses eliminasi budaya awal sehingga Islam benar2 tersebar secara kaaffah gagal dan ajaran Islam yang suci tercampur baur dengan budaya asal masyarakat jawa dan membuahkan ritual2 peribadatan yang tidak pernah dicontohkan pelaksanaannya oleh Rasul محمد صل اللّه عليه وسلم.
    Jika dinalaogikan, budaya asal diibaratkan sebagai khamr (miras) dan Islam adalah susu. Karena kebiasaan asal adalah meminum khamr, maka walisongo tidak bisa dengan serta merta memberantas kebiasaan itu karena justru akan menggagalkan dakwah untuk membiasakan minum susu, tapi dengan mencampur susu dengan miras yang semakin hari kadar mirasnya semakin dikecilkan sehingga lama kelamaan hilang sama sekali. Namun sayang, sebelum proses penghilangan kebiasaan minum miras itu hilang sama sekali, para pendakwah itu dipanggil oleh sang khaliq. Celakanya, para penerus dakwah beliau2 itu entah kurang memahami visi dan misi walisongo atau memang tidak amanah, justru kebiasaan minum susu yang masih dicampur dengan miras itu justru dilestarikan dan malah ditambah2i dengan miras2 jenis baru yang sebagian adalah miras impor. Demikian analoginya. اِنْ شَآ ءَ اللّهُ hanya dapat dimengerti secara obyektif bagi kaum yang mau menggunakan akal untuk memikirkan ayat2 اللّه sebagai landasan kehidupannya. Wa-Llaahu a’lam, afwan

  8. agnes10/11/2013 at 13:31Reply

    wong ki yen iri dengki senenge ngelek2 (sarkub).
    sing wis cetho elek malah mripate merem, pura2 tidak tahu.

    wong ki yen atine kotor, kebaikan sebesar apapun tidak dapat terlihat.
    onone mung ngelek2 barang apik.
    barang apik mbok elek2 nganti dobolen ki yo tetep apik.

    UNDERSTAND!!!!!!!!!……

  9. ahmad16/11/2013 at 09:15Reply

    MTA sungguh sebuah prestasi oarng modern yang mendewakan akal yamg mungkin volumenya juga gak seberapa,yang penting bekali dengan prasyarat sebagai mufassir yang saya yakin juga kita oarang gak mumpuni ,utk itu salafussolih yang berani tiraka memiliki amalan yang juga tidak menyimpang dari syariat ,kita jangan jadi pahlawan kesiangan lahhhhh…………..ok

  10. Anonim04/01/2014 at 22:25Reply

    JK MAU KEMBALI PD QUR'AN DN SUNNAH' TENTU PUNYA STANDART ULAMA2 JAMAN DL YG JD PANUTAN,JK MENGESAMPINGKAN PARA ULAMA,PAK SUKINA ITU GURUNYA SIAPA??/KOK AMALIAHNYA BEDA?APA ULAMA2 JAMAN DL KURANG ALIM DAN WIRA;I HINGGA KTA TINGGLKN???APA CUKUP DGN QUR;AN DN HADTS KTA BSA SOLAT DGN BENAR,BGMN BSA TAKBIRATUL IHRAM TANPA BIMBINGAN ULAMA JMN DL???

  11. Ammar Khan30/01/2014 at 13:19Reply

    bagasfizul iki pie to, Sholat yang benar itu ya ngikuti petunjuk/tuntunan Rasulullah saw, bukan ngikuti ulama. kalau amaliah ulama dah tak sesuai dengan tuntunan rasulullah saw (hadits) harusnya ulama itu jangan diikuti. kayaknya fizul ini tidak tahu apakah hadits itu?

  12. Ammar Khan30/01/2014 at 20:31Reply

    anonymous jg belum paham apa itu hadits? ulama jaman dulu pastinya ngikuti apa yang dicontohkan Nabi saw, beda dengan yang dijuluki ulama sekarang ini.

  13. Mas Nur13/04/2014 at 01:32Reply

    Orang yg tidak suka sbenarnya hatinya susah,,mending ikut duduk jihad pagi,,ambil mik,tanya langsung ustad,,jgn d belakang kya gni,,{Allah SWT berfirman: "Hai orang-orang yang beriman, jika datang kepadamu orang Fasik membawa suatu berita, Maka periksalah dengan teliti agar kamu tidak menimpakan suatu musibah kepada suatu kaum tanpa mengetahui keadaannya yang menyebabkan kamu menyesal atas perbuatanmu itu.(QS. Al Hujurat 6)}

  14. Nano S01/05/2015 at 03:31Reply

    Petunjuk Rosulullah itu memang nya langsung turun padamu, apa kamu liat sendiri sholatnya Rosulullah? Tentu tidak kan,? Ada tau sholat dari siapa? Tau hadis dari siapa? Tentu dari ulama, dan tentu ulama berpendapat berdasarkan hadist, bukan karangan sendiri. Memang dalam berpendapat, para ulama salaf punya perbedaan, tapi bukan berarti tidak berdasarkan hadist. Jadi slogan kembali pada Quran dan Sunnah perlu dipertanyakan. pahamkah anda?

  15. Farah Ghina23/10/2017 at 20:34Reply

    makasiih, izin cops dikit untuk tugas yaa, sumber dicantumkan

Tinggalkan Balasan