Kupas Tuntas: Ngalab Berkah/Tabarukan (Bag.1)

Sarkub Share:
Share

Apakah Mengambil Berkah (Tabarruk) itu Perbuatan Syirik/Bid’ah? 

Sebuah Pengantar.

Ternyata kumpulan ulama Wahhabi itu ingin menyatukan antara fatwa tokoh-tokoh ulama mereka yang sebagian menyatakan bahwa “tabarruk” merupakan perbuatan bid’ah sedang yang lain menyatakan itu merupakan perbuatan syirik, dengan menfatwakan bahwa “Pencarian berkah (tabarruk) masuk kategori bid’ah dan bagian dari bentuk syirik”. Poin inilah yang harus kita garis bawahi dan kita ingat-ingat untuk bekal pembahasan kita nantinya.
.

Salah satu dari kejelasan ajaran agama (Dharuriyaat ad-Diin) yang menjadi kesepakatan segenap kelompok muslim adalah berkaitan dengan pengkhususan peribadatan kepada Allah swt. Hal ini termasuk dari asas-asas dasar agama. Islam tidak memperkenankan pengikutnya untuk menyembah selain Allah swt. Ini adalah esensi dasar (ushuluddin) ajaran agama para nabi dan rasul terdahulu, terkhusus agama Muhammad saw yang bernama Islam. Islam tidak mengizinkan penyembahan terhadap Malaikat, nabi ataupun rasul, apalagi berhala. Islam akan menghukumi pelaku peribadatan selain Allah swt tersebut sebagai kafir yang musyrik. Ini tiada seorangpun dari kaum muslimin yang memahami Islam yang meragukannya. Bagaimana tidak, sedang ia setiap sehari mengulang-ngulang kata: “Hanya kepada-Mu kami menyembah dan hanya kepada-Mu kami memohon pertolongan” (Iyyaka Na’budu wa Iyyaka Nasta’in).

Salah satu hal yang dinyatakan syirik oleh kelompok dan aliran Wahaby (salafy) adalah pengambilan berkah (tabarruk) dari sesuatu yang dianggap sakral. Dengan tuduhan itu mereka dengan seenaknya lantas menyerang kaum muslim sebagai pelaku bid’ah ataupun syirik. Dalam berbagai kesempatan ulama mereka mengeluarkan fatwa-fatwa yang menyebutkan seperti apa yang telah disebutkan tadi, vonis ahli bid’ah dan syirik. Pada kesempatan ini, kita akan lihat beberapa contoh fatwa mereka:

1- Bin Baz (Abdul Aziz) dalam kitab “al-Fatawa al-Islamiyah” jilid 4 halaman 29 menatakan: “Meletakkan al-Quran dalam kendaraan (mobil) untuk mencari berkah (tabarruk) merupakan sesuatu yang tidak berasas (tidak ada asalnya) dalam syariat Islam”. Dengan kata lain, Abdul Aziz bin Baz menyatakan bahwa perbatan semacam itu (mencari berkah) merupakan perbuatan bid’ah.

2- Ibn Utsaimin dalam kitab “Majmu’at al-Fatawa li Ibni Utsaimin” fatwa nomer 366 menyatakan: “Mengambil berkah dari kisa’ (kain yang melingkari .red) Ka’bah dan mengusap-usapnya merupakan perbuatan bid’ah, karena Nabi tidak pernah mengajarkannya”. Dalam kasus yang sama (tabarruk) juga ia sebutkan dalam kitab “Dalil al-Akhtha‟” halaman 107 disebutkan: “Sebagian penziarah mengusapkan tangannya ke mihrab, mimbar dan tembok-tembok masjid. Semua prilaku itu masuk kategori bid’ah”.

Inilah fatwa syeikh (Utsaimin) yang namanya selalu dicantumkan dalam situs dan blog-blog kaum Wahaby, selain Bin Baz di atas tadi.

3- Ibn Fauzan dalam kitab “al-Bid’ah” halaman 28-29 menyatakan: “Tabarruk mempunyai arti mencari berkah, penetapan kebaikan, meminta kebaikan dan meminta tambahan dari hal-hal tadi. Permintaan ini harus diminta dari sesuatu yang pemiliknya adalah yang memiliki kemampuan. Ini tidak lain hanyalah Allah semata. Hanya Ia Yang mampu menurunkan dan menetapkannya. Tiada satu makhlukpun yang mampu memberi ampunan, memberi berkah ataupun mengadakan dan menetapkan hal-hal tadi. Atas dasar itu, tidak diperbolehkan mengambil berkah dari tempat-tempat, peninggalan-peninggalan ataupun seseorang, baik yang masih hidup maupun yang telah mati. Karena hal itu bisa masuk kategori syirik”.

Jika  tadi  Bin  Baz  dan  Bin  Utsaimin  menyebutnya  sebagai  perbuatan  bid‟ah  maka  sekarang  Bin Fauzan lebih berani dari kedua orang ulama Wahaby sebelumnya tadi. Ia telah berani menyatakan bahwa “Pencari Berkah Tergolong Musyrik”. Mari kita lanjutkan penelitian dari kajian kita ke contoh terakhir dari fatwa mereka (kaum Wahabi yang berkedok Salafi).

4- Gerombolan ulama Wahhaby yang terhimpun dalam “al-Lajnah ad-Da’imah li al-Buhuts al-Ilmiyah wa al-Ifta’” (Tim Tetap Pengkaji dan Pemberi Fatwa) dalam fatwanya nomer 3019 menyatakan: “…perhatian masyarakat terhadap masjid ini dengan mengusap-usap tembok dan mihrab untuk mencari berkah merupakan pekerjaan bid’ah dan juga masuk dari salah satu jenis syirik. Perbuatan ini sama dengan perbuatan kaum kafir pada zaman jahiliyah”.

Ternyata kumpulan ulama Wahhabi itu ingin menyatukan antara fatwa tokoh-tokoh ulama mereka yang sebagian menyatakan bahwa “tabarruk” merupakan perbuatan bid’ah sedang yang lain menyatakan itu merupakan perbuatan syirik, dengan menfatwakan bahwa “Pencarian berkah (tabarruk) masuk kategori bid’ah dan bagian dari bentuk syirik”. Poin inilah yang harus kita garis bawahi dan kita ingat-ingat untuk bekal pembahasan kita nantinya.

 Definisi Tabarruk:

Dari sisi bahasa, kata “tabarruk” berarti “mencari berkah/ngalab berkah” (lihat: kitab Lisan al-Arab jilid 10 halaman 390, kitab Shihah al-Lughah jilid 4 halaman 1075 dan kitab an-Nihayah jilid 1 halaman 120). Dengan begitu, sewaktu dikatakan bahwa “mencari berkah terhadap sesuatu” berarti “keinginan mengambil berkah dari sesuatu tadi”. Atas dasar itulah maka definisi tabarruk dari sisi istilah adalah; “Mengharap berkah dari sesuatu ataupun hal-hal lain yang Allah swt telah memberikan keistimewaan dan kedudukan khusus kepadanya”.

Dalam kamus besar bahasa indonesia, makna berkah adalah karunia Tuhan yg mendatangkan kebaikan bagi kehidupan manusia.

Bersambung Bag.2….

Subscribe

Thanks for read our article for update information please subscriber our newslatter below

3 Responses

  1. ABU FIDA12/05/2012 at 08:25Reply

    GAK ADA PAHAM WAHABI ITU MAH KEBECIAN KEPADA MUHAMMAD BIN ABDUL WAHAB SAJA YANG SUKA MELARANG KESENANGAN AHLI BID’AH DAN KEMUSYRIKAN DALAM URUSAN AGAMA YANG SUKA DITAMBAH-TAMBAH DAN BERDALIH SEENAK PERUTNYA

    • Author

      Wong Tegal12/05/2012 at 18:26Reply

      jadi wahabi kok gak pede sih?? payah.. :p

  2. ihsan16/11/2013 at 11:30Reply

    Ketahuilah wahai saudaraku bahwa sesungguhnya tabarruk atau yang biasa disebut dengan ngalap berkah ada dua macam:

    1. Tabarruk masyru’, yaitu tabarruk dengan hal-hal yang disyariatkan. Seperti Alquran, air zam-zam, bulan Ramadhan dan sebagainya. Akan tetapi tidak boleh ber-tabarruk dengan hal-hal tersebut kecuali sesuai syariat dan dengan niat bahwa hal itu hanyalah sebab, sedangkan yang memberikan barokah adalah Allah Subhanahu wa Ta’ala. Sebagaimana sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam: “Barokah itu (bersumber) dari Allah Subhanahu wa Ta’ala.”
    2. Tabarruk Mammu’, yaitu tabarruk dengan hal-hal yang tidak disyariatkan.

    Hakumnya tidak boleh, seperti tabarruk dengan pohon, ‘batu ajaib’, kuburan, dzat kyai, dan lain sebagainya.

    Yakinlah bahwa tidak ada yang bisa mendatangkan manfaat dan menolak madharat kecuali hanya Allah Subhanahu wa Ta’ala semata. Simaklah ucapan Amirul mukminin Umar bin Khaththab radhiallahu ‘anhu tatkala berkata ketika mencium hajar aswad:

    “Saya tahu bahwa engkau adalah batu yang tidak bisa memberikan bahaya atau manfaat. Seandainya saya tidak melihat Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam menciummu maka saya tidak menciummu.”

    Imam Ibnul Mulaqqin berkata tentang atsar di atas, “Ucapan ini merupakan pokok dan landasan yang sangat agung dalam masalah ittiba (mengikuti) kepada Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam sekalipun tidak mengetahui alasannya, serta meninggalkan ajaran jahiliyyah berupa pengagungan terhadap patung dan batu. Karena memang tidak ada yang dapat memberikan manfaat dan menolak bahaya kecuali Allah Subhanahu wa Ta’ala semata. Sedangkan batu tidak bisa memberikan manfaat, lain halnya dengan keyakinan kaum jahiliyyah terhadap patung-patung mereka. Maka Umar radhiallahu ‘anhu ingin memberantas anggapan keliru tersebut yang masih melekat dalam benak manusia.”

    Jenis tabarruk ini telah diingkari secara keras oleh para ulama Syafi’iyyah. Menarik sekali dalam masalah ini apa yang telah dikisahkan bahwa tatkala ada berita kepada Imam Syafi’i, bahwa sebagian orang ada yang ber-tabarruk dengan peci Imam Malik, maka serta-merta beliau mengingkari perbuatan itu.

    Imam Nawawi berkata, “Barangsiapa yang terbesit dalam hatinya, bahwa mengusap-usap dengan tangan dan semisalnya lebih mendatangkan barokah, maka hal itu menunjukkan kejahilannya dan kelalaiannya. Karena barokah itu hanyalah yang sesuai dengan syariat. Bagaimanakah mencari keutamaan dengan menyelisihi kebenaran?!”

    Al-Ghozali juga berkata, “Sesungguhnya mengusap-usap dan menciumi kuburan merupakan adat istiadat kaum Yahudi dan Nasrani.”

    Demikianlah ketegasan para ulama Syafi’iyyah. Bandingkanlah hal ini dengan fakta yang ada pada kaum muslimin sekarang!! Berikut ini dua kisah nyata tentang fakta di lapangan sekarang, kemudian saya serahkan komentar dan hukumnya kepada para pembaca sekalian.

    Pertama: Kisah yang dibawakan oleh Ustadz Abdullah Zaen. Beliau pernah bercerita, “Ketika penulis diberi kesempatan ke Kota Martapura, sebagian kaum muslimin di sana dengan penuh keprihatinan bercerita, ‘Kira-kira 1 bulan setelah guru Ijay dimakamkan, nisan di atas kuburannya hampir ambruk. Pasalnya setiap hari puluhan atau ratusan orang berziarah berebut menciumi dan mengusap-usap nisan tersebut!!” Hanya kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala kita mengadu kejahilan sebagian kau muslimin tersebut.

    Kedua: Kisah yang dibawakan oleh Ustadz Muhammad Arifin Badri, “Saya pernah mendengar penuturan salah seorang kawan saya sendiri dan kisah ini adalah kisah yang ia alami secara langsung. Kawan saya berasal dari salah satu pondok pesantren di kota Jombang, Jawa Timur. Pada suatu hari ia diajak oleh bibinya berkunjung ke daerah Nganjuk –Jawa Timur- untuk mengunjungi seorang wali. Setibanya di rumah wali itu, dia dipersilahkan masuk ke ruang tamu laki-laki, sedangkan bibinya dipersilahkan masuk ke ruang tamu wanita.

    Sepulang dari rumah wali itu, bibinya berkata, ‘Wah, tadi di ruang wanita, saya menyaksikan beberapa wali, di antaranya ada wali laki-laki yang keluar menemui kita dengan telanjang bulat dan tidak sehelai benang pun menempel di badannya. Setelah berada di tengah-tengah ruangan, wali telanjang itu disodori sebatang rokok oleh sebagian pelayannya. Ia pun mulai mengisap rokok, dan baru beberapa isapan rokoknya dicampakkan ke lantai.

    Melihat puntung rokok tergeletak di lantai itu, ibu-ibu yang sedang berada di ruang tamu berebut memungutnya. Setelah seorang ibu berhasil mendapatkannya ia langsung memerintahkan anaknya yang masih kecil untuk ganti mengisap puntung rokok tersebut. Alasannya agar mendapatkan keberkahan sang wali dan menjadi anak pandai’.” Hanya kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala kita mengadu kejahilan sebagian kaum muslimin tersebut.

Tinggalkan Balasan