Bermazhab Atau Mengamalkan Satu Mazhab?

Sarkub Share:
Share

Hukum Mengamalkan Satu Mazhab

Para ulama umumnya sepakat bahwa jika seseorang berpindah mazhab secara totalitas, maka hal ini mutlak dibolehkan. Sebab, terhitung telah banyak ulama yang berpindah-pindah mazhab dalam sejarah.

Seperti berpindahnya imam Abu Ja’far ath-Thahawi dari mazhab Syafi’i ke mazhab Hanafi, imam Ibnu asy-Syahnah dari mazhab Hanafi ke mazhab Maliki, al-Qadhi Abu Ya’la dari Hanafi ke Hanbali, al-Khathib al-Baghdadi dari Hanbali ke Syafi’i, Saifuddin al-Amidi dari Hanbali ke Syafi’i, imam al-Munziri dari Hanbali ke Syafi’i, dan lainnya.

Sedangkan jika perpindahan itu bersifat parsial atau terkait beberapa masalah, seperti dalam masalah shalat dengan mengikuti mazhab Syafi’i dan dalam masalah puasa berpindah ke mazhab Hanafi, dalam hal ini para ulama berbeda pendapat.

Kalangan minoritas ulama seperti Ilkiya al-Hirasi asy-Syafi’i (w. 504 H), Abu al-Ma’ali al-Juwaini (w. 478 H), dan as-Safaraini al-Hanbali (w. 1188 H) berpendapat bahwa wajib bagi seorang muqallid untuk konsisten pada satu mazhab tertentu dalam ia mengamalkan ajaran agamanya.

Sedangkan mayoritas ulama seperti Abu Ya’la al-Hanbali (w. 456 H), an-Nawawi asy-Syafi’i (w. 676), Ibnu Taimiyyah al-Hanbali (w. 728 H), al-Kamal Ibnu al-Humam al-Hanafi (w. 861 H), Ibnu Abdin al-Hanafi (w. 1252 H) dan lainnya berpendapat bahwa hukumnya tidak wajib. Sebab perintah untuk bertanya kepada ulama dalam al-Qur’an bersifat umum dan tidak diharuskan untuk bertanya kepada ulama tertentu.

Itu sebabnya   shahabat Nabi saw tidak pernah mengingkari siapapun untuk bertanya kepada siapa saja yang mereka kehendaki dari para shahabat yang terkenal sebagai pemberi fatwa (Asy-Syaukani, Irsyad al-Fuhul, hlm. 2/252, Abu Ya’la, al-‘Uddah fi Ushul al-Fiqih, hlm. 4/1226).

Disamping itu pendapat yang menyatakan harus komitmen dengan satu mazhab akan menyebabkan kesulitan dan kerepotan, padahal mazhab-mazhab yang ada adalah nikmat dan rahmat bagi umat (Wahbah az-Zuhaili, al-Fiqh al-Islami wa Adillatuhu, hlm. 1/94).

Hanya saja, mereka juga sepakat bahwa jika perpindahan itu dilandaskan kepada hawa nafsu dalam rangka mengambil kemudahan-kemudahannya saja (tattabbu’ rukhash), maka hal ini tidak dibolehkan. Itu sebabnya mereka menetapkan syarat bolehnya berpindah mazhab agar terhindar dari efek negatif memperturutkan hawa nafsu. Syarat-syarat tersebut sebagaimana berikut (Syihabuddin al-Qarafi, Syarah Tanqih al-Fushul, hlm. 432):

Pertama: Tidak berakibat terjadinya percampuran antar pendapat mazhab yang bertentangan dengan ijma’ (talfiq mazmum).

Seperti seorang yang menikah tanpa mahar, tanpa wali, dan saksi dengan menggabungkan mazhab Maliki dan Hanafi. Dalam praktek berpindah mazhab seperti ini, hukumnya adalah haram.

Kedua: Mayakini keutamaan mazhab yang ia berpindah kepadanya. Dengan demikian ia mengikutinya atas dasar ilmu dan bukan kebodohan dan ikut-ikutan semata.

Ketiga: Tidak dalam rangka tatabbu’ rukhash, yaitu berpindah-pindah mazhab dalam rangka mencari-cari kemudahan untuk memperturutkan hawa nafsu.

Imam Yahya bin Syaraf an-Nawawi berkata dalam kitabnya Raudhah ath-Thalibin wa ‘Umdah al-Muftin, (hlm. 11/117):

وَالَّذِي يَقْتَضِيهِ الدَّلِيلُ أَنَّهُ لَا يَلْزَمُهُ التَّمَذْهُبُ بِمَذْهَبٍ، بَلْ يَسْتَفْتِي مَنْ شَاءَ، أَوْ مَنِ اتَّفَقَ، لَكِنْ مِنْ غَيْرِ تَلَقُّطٍ لِلرُّخَصِ.

“Berdasarkan dalil, sesungguhnya tidaklah wajib bermazhab dengan mazhab tertentu, namun boleh saja seseorang meminta fatwa kepada siapa saja yang dikehendaki. Namun dengan syarat bukan dalam rangka mencari-cari kemudahan.”

Wallahu a’lam (Fahmi Ali NH/Tim Sarkub)

Disadur dari tulisan : Ust Dr. Isnan Ansory, MA

Subscribe

Thanks for read our article for update information please subscriber our newslatter below

No Responses

Tinggalkan Balasan