Seminar Hasil Penelitian Sejarah Sunan Muria

Sarkub Share:
Share

Rabu, 27/05. Siang tadi di Kanzus Shalawat diadakan Seminar “Penelitian Ke-2 Sejarah Sunan Muria”. Acara yang terselenggara atas kerjasama Yayasan Masjid dan Makam Sunan Muria dan LP2M (Lembaga penelitian dan pengabdian kepada Masyarakat)  UIN Walisongo Semarang.

Acara ini dihadiri oleh peneliti, pemerhati sejarah, dan Profesor sejarah di lingkungan PTAIN/ UIN, UGM dan pengurus yayasan walisongo dari Kudus (Sunan Kudus), Demak, Gersik, Cirebon, Muria, Bonang, dll. Hadir diantaranya Prof. Dr H Solihan MA, Prof. Dr. Musa Asy’ari, Ahwan Fanani (peneliti-presentator) dan Maulana Habib Muhammad Luthfi bin Yahya selaku Pembina Persatuan Pengurus Walisongo.

Dalam pemaparannya, Habib Luthfi menekankan pentingnya kegiatan seminar serupa, upaya pelestarian dan konservasi situs dan data sejarah Walisongo penting sekali, untuk generasi mendatang, agar kita bisa menunjukan tokoh-tokoh pendahulu melalui situs yang ada, seperti umat Budha bisa menunjukan dimana lahir dan tempat bertapa Sidarta Gautama, demikian juga agama lain. Tapi umat Islam semakin lama semakin kehilangan situs dan bukti sejarah.

Habib Luthfi menghimbau agar ada pemetaan seluruh situs di setiap kota kedalam wilayah Walisongo, misalnya Demak, bukan saja menjaga situs makam Raden Patah dan Masjid Demak tetapi juga menjaga, melestarikan dan menginventarisir data makam-makam lain selain Walisongo, tokoh ulama yang sejaman dengan Walisongo maupun setelahnya.

Pada kesempatan itu juga Habib Luthfi menjelaskan pentingnya menggunakan berbagai pendekatan dalam meneliti sebuah situs, baik antropologi, sosiologi, filologis, dendrokronologi, paleoekologiarkeologi, dan penanggalan karbon. Habib Luthfi mengatakan, “usia batu, pohon, nisan, tidak bisa digunakan secara tunggal untuk menentukan sejarah situs makam bersejarah, nisan juga tidak menunjukan kebudayaan asli yang wafat karena yang memasang nisan pasti orang yang hidup bukan yang mati. Sedangkan orang hidup suka-suka mereka membuat nisan; ukiran maupun tulisannya sesuai  kecenderungannya. Sekarang, di Jakarta kita menemukan rumah bergaya Spanyol, dan sama sekali kita tidak bisa mengatakan bahwa pemilik rumah atau yang membangun rumah adalah orang Spanyol”. Demikian beliau menjelaskan panjang lebar.

Dalam uraiannya Habib Luthfi juga menunjukan banyak terjadi kesalahan dalam penentuan tahun, terutama dalam menyikapi tahun terpaut antara tahun hijriah dan masehi yang mempunyai selisih 3 tahun setiap abad. Menurut Habib Luthfi tahun terpaut yang harus dihitung adalah tahun terjadinya sejarah bukan pada abad-abad setelahnya, jika tidak maka akan banyak peristiwa sejarah yang berubah tahunnya. Kalau setiap abad dihitung tahun terpautnya, boleh jadi 200 tahun mendatang kemedekaan Indonesia bukan pada tahun 1945 tapi 1951 demikian Habib Luthfi menjelaskan.

Habib Luthfi juga menyoroti pentingnya melakukan komparasi sejarah untuk mengukur satu peristiwa di satu kelompok sejarah dengan mata rantai peristiwa dan tokoh-tokohnya di peristiwa sejarah yang lain, menurut beliau metode ini dapat mengukur akurasi tahun lahir, wafat dan masa kehidupan pelaku sejarah. Misalkan Walisongo di Indonesia di sejajarkan dengan kehidupan tokoh sejarah semasa yang ada di Yaman, selain keduanya satu rumpun juga bisa melihat secara akurat tahun lahir dan wafat serta kemungkinan lainnya.

“Hasil penelitian itu harus jujur, kalau Arab katakana Arab, kalau Jawa katakana orang Jawa, jangan kepentingan pribadi mempengaruhi hasil penelitian”, Habib Luthfi menambahkan.

Menanggapi Wahabi yang tidak mempercayai Walisongo karena tidak ada karya tulis mereka, Habib Lutfhi menjelaskan, bahwa karya tulis bukan satu-satunya alat ukur ada  tidaknya pelaku sejarah.  Sebab Abu Bakar, Sayidina Umar dan sahabat lain juga tidak meninggalkan karya tulis. Yang meninggalkan karya tulis malah ulama setelahnya seperti Ibnu Majah, Abu Dawud, Tirmidzi dll. Apakah karena tidak ada Sunan Abu Bakar, Sunan Umar dan yang ada Sunan (kumpulan hadis) Ibn Majah, Sunan Abu Dawud, Sunan Tirmidzi, apakah berarti Abu Bakar mitos, Umar mitos dan Ibn Majah faktual?

Habib Luthfi juga mengingatkan, jangan sampai terjebak jika ada yang mengatakan Walisongo adalah Syi’ah karena beliau semua adalah para Sayid, tujuannya untuk membenturkan Suni dan Syiah dan kemudian membenturkan Sayid dan NU; Suni dan Suni.

Habib Luthfi juga menyebutkan berbagai literatur yang mungkin digunakan dalam komparasi sejarah. Pada saat ditanya kapan Sunan Muria lahir wafat dan siapa orang tuanya. Habib Luthfi belum bisa memastikan, beliau menyebutkan tahun lahir dan wafat sunan Muria berdasarkan catatan KH. Abdullah bin Nuh Bogor (ulama besar Jawa Barat) yang mempunyai catatan mengenai itu. Akan tetapi beliau menegaskan, “tapi harus ditelaah terlebih dahulu, dan saya minta waktu beberapa bulan kedepan untuk menelusuri lebih seksama data yang ada”.

Pada penutup, Habib Luthfi menyampaikan, sengaja saya lontarkan ini agar penelitian berikutnya lebih mendekati kebenaran. (Tsi).

Sumber : http://habiblutfi.net/index.php/berita/item/455-simposius-hasil-penelitian-walisongo-di-kanzus-shalawat

 

Subscribe

Thanks for read our article for update information please subscriber our newslatter below

No Responses

Tinggalkan Balasan