Jangan Mudah Mengkafirkan

Sarkub Share:
Share

Banymenuduh-kafirak orang yang salah—semoga Allah Swt. memperbaiki dan menunjuki mereka jalan yang benar—dalam memahami sebab-sebab yang mengakibatkan kemurtadan dan kekafiran. Mereka tampak begitu mudah mengalirkan atau menganggap kafir saudaranya sesama Muslim hanya karena beberapa hal yang tidak sejalan dengan pendapatnya. Kami memandang mereka yang mempunyai kebiasaan seperti itu dengan baik sangka (husnuzhzhan). Mereka sebenarnya mempunyai niat yang sangat baik. Paling tidak, mereka bermaksud mengupayakan kemurnian ajaran Islam dari perbuatan syirik, dan memperbaiki kesalahan-kesalahan lainnya melalui amar ma'ruf dan nahyi munkar. Namun, mereka tampaknya tidak menyadari bahwa pelaksanaan amar ma'ruf dan nahyi munkar itu sama sekali tidak dapat dilepaskan dari sikap bijaksana. Dan jika ada yang perlu diperdebatkan pun, harus melalui diskusi yang paling baik dengan motivasi mencari kebenaran, bukan untuk mencari kemenangan. Hal itu diisyaratkan Allah Swt. dalam Al-Quran Al-Karim:

 

ادْعُ إِلَىٰ سَبِيلِ رَبِّكَ بِالْحِكْمَةِ وَالْمَوْعِظَةِ الْحَسَنَةِ ۖ وَجَادِلْهُمْ بِالَّتِي هِيَ أَحْسَنُ ۚ إِنَّ رَبَّكَ هُوَ أَعْلَمُ بِمَنْ ضَلَّ عَنْ سَبِيلِهِ ۖ وَهُوَ أَعْلَمُ بِالْمُهْتَدِينَ

"Ajaklah manusia ke jalan Tuhanmu dengan hikmat (ilmu dan kebijaksanaan), dengan nasihat yang bagus, dan debatlah mereka dengan cara yang lebih baik; sesungguhnya Tuhanmu, Dia lebih mengetahui siapa yang telah sesat dari jalan-Nya, dan Dia lebih mengetahui siapa yang menuruti jalan yang benar." (QS Al-Nahl [16]: 125).

Cara yang bijaksana itu sangat mudah diterima dan sangat memudahkan untuk mencapai tujuan kita, selain tidak akan menjerumuskan kita ke jurang perpecahan dan pertengkaran.


Jika seorang Muslim atau Muslimat mau mendirikan shalat, melaksanakan yang difardhukan oleh Allah Swt., menjauhi segala yang diharamkannya, bahkan menyebarluaskan dakwah Islam, rajin memakmurkan masjid, giat meramaikan pendidikan dan kebudayaan (syiar Islam), tetapi kita melihatnya melakukan sesuatu yang menurut kita salah, tetapi menurutnya benar —artinya, dia tidak sejalan dengan pendapat kita—dan para ulama pun belum sepakat sejak dahulu sampai sekarang, lalu kita mengucapnya "kafir", maka sebenarnya kita sendiri yang telah melakukan perbuatan yang sangat berbahaya di tengah-tengah umat Islam; suatu perbuatan yang dilarang keras oleh Allah Swt. dan Rasul-Nya. Maka kita harus segera memperhatikan kode etik berdakwah atau mengajak orang ke jalan yang diridhai oleh Allah Swt.
Al-'Allamah Imam Sayyid Ahmad Manshur Haddad mengatakan, "Sesungguhnya telah ditetapkan adanya ijmak (kesepakatan ulama) mengenai larangan mengaturkan orang yang suka (beribadah) menghadap kiblat, kecuali jika dia mengingkari Al-Shanf (Sang Pencipta, Allah Swt.), atau melakukan perbuatan syirik dengan terang-terangan, atau, mengingkari kenabian Nabi Muhammad Saw., atau mengingkari sesuatu yang pasti benarnya dan mudah dipahami dalam ajaran Islam, atau mengingkari suatu masalah atau hadis mutawatir (yang pasti kesahihannya), atau tidak mengakui sesuatu yang telah disepakati para ulama".


Dalam ajaran Islam, masalah yang dapat diketahui secara pasti (kebenarannya) seperti masalah tauhid (mengakui ke-Mahaesa-an Allah Swt.), masalah kenabian, telah ditutupnya risalah dengan diutusnya Nabi Muhammad Saw., kiamat, hisab/perhitungan, pembalasan di hari kiamat (al-jaza), surga, dan neraka.


Jika seseorang mengingkari hal-hal seperti itu, ia dapat dinilai sebagai orang kafir. Setiap Muslim tidak boleh berhalangan untuk mengetahui hal-hal pokok seperti itu, kecuali bagi orang- orang yang baru masuk Islam. Orang yang baru masuk Islam boleh—untuk sementara—berhalangan; untuk selanjutnya dia harus mempelajarinya juga, dan tidak boleh banyak alasan untuk tidak mengetahui dan memercayai atau meyakininya.


Adapun hadist mutawatir adalah hadis yang diriwayatkan oleh sejumlah rawi yang tidak mungkin melakukan kebohongan, (diterima) dari sejumlah orang yang seperti mereka, baik dari segi isnad yaitu rangkaian sejumlah orang yang meriwayatkannya —seperti hadist: "Siapa saja yang berbohong atas-Ku, hendaklah menyiapkan tempat duduknya di dalam neraka"—maupun dari segi thabaqat atau tingkatannya, seperti mutawatirnya Al- Quran Al-Karim karena Al-Quran itu mutawatir, baik di Barat maupun di Timur, baik dalam hal mempelajari, membaca, maupun mempelajarinya, dan diterima sejak dahulu sampai sekarang dari sekelompok yang banyak, dari kelompok yang banyak pula, dan dari thabagat-thabagat lainnya sehingga tidak lagi memerlukan isnad.


Kadang-kadang yang mutawatir itu dalam bentuk perbuatan yang secara turun-temurun, sejak masa hidup Nabi Muhammad Saw. sampai sekarang, diamalkan dan dipraktikkan serta tidak ada orang yang mengingkarinya (khususnya dari kalangan para ulama). Bisa juga mutawatir dari segi ilmu (tawatur 'ilm/diketahui bersama), seperti kemutawatirannya segala mukjizat Nabi Muhammad Saw. Meskipun sebagiannya ada yang diriwayatkan secara ahad (individual), ada yang shahih, hasan, dan ada yang dha'if, dapat dinilai mutawatir dengan ilmu pengetahuan setiap insan Muslim.


Jadi, jika hal-hal yang telah disebutkan di atas diingkari oleh seseorang—atau hanya salah satunya saja—maka orang itu boleh dinilai kafir atau murtad. Sedangkan terhadap orang- orang yang tidak mengingkari salah satu dari hal-hal pokok tersebut, siapa pun tidak boleh menilainya sebagai orang kafir. Dalam sebuah hadis, Rasulullah Saw. menegaskan:


إِذَا قَالَ الرَّجُلُ لِأَخِيهِ يَا كَافِرُ فَقَدْ بَاءَ بِهِ أَحَدُهُمَا


Jika seseorang berkata kepada saudaranya, "Hai Kafir", maka kekafiran akan kembali (menimpa) kepada salah seorang di antara keduanya. (H.R. Imam Bukhari dari Abu Hurairah r.a.)


Sebetulnya, menilai kafir atau mukmin itu hanyalah hak orang yang memang—dengan sinar Ilahi dan cahaya syariat Islam mengetahui sisi (substansi) perbuatan yang menimbulkan kekafiran, juga mengetahui secara pasti batas yang jelas antara keimanan dan kekafiran ditinjau dari syariat Islam yang mulia dan sempurna.


Jadi, tidak boleh sembarang orang memasuki medan seperti ini untuk menuduh kafir terhadap saudaranya yang Muslim hanya didasarkan pada sesuatu yang tidak pasti (waham) dan prasangka (zhan), tanpa menggunakan ukuran yang pasti dan meyakinkan, tanpa ilmu pengetahuan yang jelas dan ukuran yang konkret. Jika tidak hati-hati dan banyak sembarang orang memasuki medan ini, maka dapat diduga kuat, tak ada seorang Muslim pun yang selamat dari tikamannya; mereka pasti akan dicap "kafir terutama ketika tidak sejalan dengan pikiran dan pendapat atau—mungkin—mazhabnya.


Demikian pula, tidak boleh siapa pun mengafirkan orang lain hanya karena melihatnya melakukan kemaksiatan (banyak atau sedikit), padahal dia masih mempunyai keimanan dan mengikrarkan dua kalimat syahadat. Dalam hubungan ini, Rasulullah Saw.—dalam hadis yang diterima Anas bin Malik- bersabda:


ثَلَاثٌ مِنْ أَصْلِ الْإِيمَانِ الْكَفُّ عَمَّنْ قَالَ لَا إِلَهَ إِلَّا اللَّهُ وَلَا نُكَفِّرُهُ بِذَنْبٍ وَلَا نُخْرِجُهُ مِنْ الْإِسْلَامِ بِعَمَلٍ وَالْجِهَادُ مَاضٍ مُنْذُ بَعَثَنِي اللَّهُ إِلَى أَنْ يُقَاتِلَ آخِرُ أُمَّتِي الدَّجَّالَ لَا يُبْطِلُهُ جَوْرُ جَائِرٍ وَلَا عَدْلُ عَادِلٍ وَالْإِيمَانُ بِالْأَقْدَارِ


Tiga hal yang merupakan inti (asal) keimanan: Berhenti (dari mengafirkan) dari orang yang mengucapkan La ilaha illa Allah; tidak mengafirkan orang yang mengucapkan dua kalimat syahadat tersebut karena dia berbuat dosa. Tidak mengeluarkannya dari (kelompok) Islam hanya karena perbuatan (maksiat)—dan jihad pun tetap berlaku sejak aku diutus menjadi Nabi sampai umatku yang paling akhir (yang) memerangi Dajjal: jihad tidak akan dibatalkan/dihapus karena kezalinian orang yang zalim ataupun karena keadilan orang yang adil. Dan (yang ketiga) keimanan kepada qadar (H.R. Abu Dawud r.a).


Imam Haramain berkata: "Jika dikatakan kepada kita: "Pisahkan—secara terperinci—ungkapan atau perilaku yang mengandung kekafiran dan yang tidak begitu", kami pasti akan menjawab: "Ini suatu keinginan yang bukan pada tempatnya karena (hak) mengafirkan orang lain termasuk yang sangat jauh jangkauannya dan sangat dalam wawasannya, yang harus dikaji dari asal-usul (pokok-pokok) tauhid". Siapa saja yang tidak mengetahui sesuatu sampai pada hakikat (pokok)nya, tidak mungkin mengetahui cara membuktikan data kekafiran seseorang secara pasti berdasarkan data dan dalil'."


Oleh karena itu, kami menyarankan supaya setiap Muslim berhati-hati untuk mengecap orang lain dengan cap "Kafir", terlebih dalam masalah-masalah di luar apa yang telah disebutkan dan dijelaskan di atas, karena pekerjaan seperti itu mengandung bahaya yang besar. Dan—sebetulnya—hanya Allah-lah yang dapat menunjukkan seseorang ke jalan yang lurus, dan hanya kepadaNya-lah kita semua akan dikembalikan. Wallahu aaam (hanya Allah yang lebih mengetahui yang paling benar).

 

Sumber: dikutip Tim Sarkub dari terjemah MAFAHIM YAJIB AN TUSHOHHAH karangan Prof. Dr. Sayyid Muhammad bin Alawi Al Maliki.

Subscribe

Thanks for read our article for update information please subscriber our newslatter below

3 Responses

Tinggalkan Balasan