Pembantaian Muslim Rohingya, Aung San Suu Kyi Membisu

Sarkub Share:
Share

 Aneka etnis tinggal di Myanmar. Pemerintah mengakui ada 135 etnis minoritas, tapi etnis Rohingya tidak masuk dalam daftar “ras nasional” yang diakui pemerintahan jenderal Ne Win pada 1982.

Berbagai perlakuan brutal dilakukan terhadap suku-suku minoritas oleh militer yang lebih dari setengah abad mengenggam keuasaan di Myanmar. Front pertempuran terbuka meletus di utara, timur dan barat laut Myanmar. Etnis Shan, Karen, Mon, Chin dan Kachin memiliki pasukan bersenjata mereka sendiri, selama beberapa dasa warsa. Yang ketakutan ya warga negara biasa yang bukan gerilyawan anti pemerintahan militer.

Gencatan senjata telah dilakukan dengan berbagai suku tadi. Namun pertempuran masih berlanjut di Myanmar timur laut, sampai suku Kachin menyetujui transaksi kontroversial dengan menjual gas dan minyak Shwe serta pembangunan bendung raksasa Myisone dengan China.

Pemerintah militer sudah sedikit berubah menuju transformasi menjadikan Myanmar sebagai negara demokrasi. Sistem politik dan ekonomi semakin terbuka. Pembatasan penulisan di media sudah makin longgar. Hanya etnis Rohingya yang tidak merasakan perubahan dari keterbukaan Myanmar kini. Rohingya masih tetap terpinggir, melarat dan terlunta-lunta.

Komisi Tinggi PBB untuk Pengungsi pekan lalu untuk memukimkan para penyusup di Bangladesh. Rezim Thein Sein mengklaim etnis Rohingya adalah pendatang haram di Myanmar, meskipun sejarah mencatat etnis “Rooyinga” sudah masuk Burma sejak 1799.

Bentrok Budha Arakan–Muslim Rohingya meletus pada 1942, sesaat setelah Inggris minggir dari Myanmar dan Jepang mulai masuk Arakan. Rakhine sebagai negara bagian belum dikenal. Bentrok membagi wilayah Arakan dengan pengelompokan etnis. Arakan selatan Budha, Arakan Utara etnis Rohingya Muslim.

Pada 1978 Ne Win melancarkan Operasi Naga Min (Raja Naga) dengan memeriksa kartu tanda penduduk sepanjang perbatasan untuk membersihkan penduduk haram. Sebanyak 250.000 orang Rohingya kabur ke Bangladesh. PBB segera turun tangan membantu para pengungsi Rohingya kembali ke Myanmar.

Hantaman lain buat orang Rohingya pada 1982, ketika pemerintah Ne Win memberlakukan UU Kewarganegaraan. Sekitar 800.000 orang Rohingya ditolak permohonan kewarganegaraannya oleh pemerintah Myanmar, sehingga sejak saat itu mereka terombang-ambing tanpa kewarganegaraan.

Pada 1991 dan 1992, 250 ribu gelombang pengungsi Rohingya membanjiri Bangladesh menyusul tindakan kekerasan di Myanmar. Pemerintah Bangladesh hanya memberikan semacam KTP menetap sementara kepada mereka meskipun sudah tinggal selama lebih dari satu dasawarsa di sana.

Di Bangladesh, mereka jadi obyek pemerasan, kekerasan atau kerja paksa. Bahkan mereka dilarang menikah secara resmi, memiliki tanah, melakukan perjalanan ke luar desa atau mendaftarkan anaknya di pendidikan formal.

Terhimpit oleh keadaan yang memilukan, gelombang manusia perahu Rohingya malah berlayar ke Laut Andaman menuju Malaysia atau negara-negara ASEAN lain untuk mencari penghidupan yang lebih baik.

Di Provinsi Ranong, Thailand, tiga tahun silam, pemerintah malah mendorong perahu orang-orang Rohingya agar meninggalkan kerajaan dan kembali ke laut. Sungguh mengenaskan.

Petugas PBB Tomas Quintana telah bertemu orang Rohingya di Rakhine dan mendengar kisah pilu mereka. “Muslim Rohingya pasti dari Myanmar. Mereka telah tinggal di Myanmar dengan kelompok etnis lain selama berabad-abad,” tulis Quintana. “Pemerintah baru menghadapi banyak masalah dan kompleks, tapi penyebab diinjak-injaknya etnis Rohingya harus menjadi prioritas.”

Etnis Rohingya adalah etnis minoritas di Myanmar, jumlahnya sekitar 2 hingga 3 juta orang. Sebenarnya warga etnis Rohingya sudah lama mengalami tindak kekerasan dan diskriminasi dalam segala hal. Mereka dianggap orang asing atau kaum imigran ilegal dari Bengali (Bangladesh), meskipun mereka sudah turun temurun selama berabad-abad tinggal di Myanmar. Mereka tidak diakui sebagai warganegara Myanmar (stateless), itu karena warna kulit mereka berbeda dengan orang Myanmar umumnya. Etnis Rohingya berwarna kulit gelap dan secara fisik mirip seperti orang Bangladesh. Sebagian besar dari mereka tinggal di negara bagian Arakan yang berbataan langsung dengan Bangladesh.

Warna kulit mungkin salah satu alasan mereka dianggap orang asing, alasan lain mungkin juga karena agama mereka Islam, yang berbeda dengan agama orang Myanmar umumnya, Budha. Karena agamanya itu, warga Myanmar menyamakan orang Rohingya sebagai teroris seperti organisasi Al-Qaidah dan Taliban.

Malangnya nasib orang Rohingya, tidak ada satupun pihak yang mau membela mereka, termasuk Aung San Suu Kyi sekalipun. Penerima nobel perdamaian itu diam membisu. Dia sama sekali tidak pernah berbicara tentang pembantaian etnis Rohingya, malah Aung San memilih sibuk berkeliling Eropa bagaikan selebriti. Hal ini sangat berbeda sikapnya ketika dia mengunjungi pengungsi suku Karen di perbatasan Thailand setelah kebebasannya. Suku Karen adalah sukunya Aung San Su Kyi, suku ini beragama Kristen, sama dengan agama Aung San. Kepada pengungsi suku Karen dia berjanji akan memperjuangkan nasib mereka. Namun, Aung San sama sekali tidak pernah mengunjungi pengungsi etnis Rohingya di perbatasan Bangladesh.

Pemerintah Indonesia harus berperan aktif mengusut pembantaian umat Islam Rohingya di Myanmar. Indonesia sebagai bagian dari ASEAN tidak boleh diam menyaksikan tragedi kemanusiaan di Myanmar. (berbagai sumber)

Subscribe

Thanks for read our article for update information please subscriber our newslatter below

4 Responses

  1. dyah alydya28/07/2012 at 18:53Reply

    🙁

  2. jefriship30/07/2012 at 21:33Reply

    aung san suu kyi kan boneka amerika.kayak gak tahu aja.siapa yg nyokong selama ini? Amerika !

  3. takul31/07/2012 at 09:34Reply

    pembantaian ini hanya HOAK belaka alias palsu tolong jangan gampang terprovokasi leh berita ,. kepada admin carilah berita yang lebih akhurat lagi terima kasih

    • Abu Nawfal19/07/2013 at 23:25Reply

      PALSU???

      Coba tanyakan pada pengungsi Rohingya di Rudenim Medan, apakah pembantaian itu tidak benar2 terjadi…

      Kalau palsu, kenapa ribuan orang Rohingya sampai meninggalkan kampung halaman mereka dan mengungsi ke negara2 lain?

Tinggalkan Balasan